Semilir angin membuat seseorang sedikit memejamkan matanya. Lelaki itu menatap makam di bawahnya lalu berjongkok di sebelah batu nisan bertuliskan nama seseorang yang dengan cepat telah mengambil hatinya. Namun, dia telah pergi sebelum lelaki itu mengutarakan perasaannya, miris sekali.
Lelaki itu menaruh setangkai bunga mawar. Ini adalah hari pertamanya mengunjungi makam seseorang karena dirinya sendiri tidak sanggup untuk melihat acara pemakaman yang berjalan dengan penuh duka apalagi kematian gadis itu secara mendadak.
Dengan pakaian serba hitam menandakan duka ini belum selesai. Lelaki itu melepas kaca mata hitamnya lalu mengelus batu nisan itu dengan gerakan pelan, air matanya luruh karena dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.
Sejak meninggalnya Vega Aurora, lelaki itu sangat merasakan kehilangan. Ia menyesal karena belum mengatakan jika dirinya mencintai gadis itu.
"Saya masih gak percaya kamu pergi secepat ini," lirihnya sembari mengusap satu bulir air mata yang jatuh membasahi pipi kirinya.
"Bagi saya kamu tidak benar-benar pergi. Tapi kamu akan tetap di sini." Lelaki itu menunjuk dadanya sendiri. "Di hati saya."
Dia Arkan, seorang psikiater yang baru saja muncul dari kehidupan Vega. Bertemu Vega hanya beberapa menit sudah bisa membuat Arkan jatuh hati pada gadis itu. Secara tidak langsung Arkan belajar banyak hal dari Vega, tentang bagaimana cara ikhlas dan bersabar dalam menjalani hidup.
"Maaf karena saya tidak hadir dalam pemakaman kamu, Ara. Alasannya karena saya tidak sanggup melihat kamu yang sudah dibungkus dengan kain kafan." Arkan bersusah payah mengucap kalimat itu. Ia benar-benar tidak rela Vega pergi secepat ini.
"Saya sangat menyayangi kamu, Ara."
Katakanlah Arkan pengecut karena mengutarakan perasaannya saat orang itu sudah tidak lagi hidup. Arkan tidak melakukan itu karena ia harus menjalin hubungan yang profesional antara pasien dan dokter. Tapi di balik itu semua, Arkan selalu memantau Vega dari jauh.
Seseorang akan sangat berarti jika orang itu sudah pergi, keadaan yang menggambarkan orang terdekat Vega saat ini. Tuhan tidak adil karena mengambil Vega terlalu cepat, padahal gadis itu belum merasakan apa itu arti bahagia. Tapi Tuhan tahu cara apa yang tepat untuk membuat ciptaan-Nya bahagia.
Sekarang ini yang harus dilakukan Arkan adalah mencoba ikhlas. Lelaki itu tidak akan pernah melupakan Vega walaupun gadis itu baru saja hadir dalam hidupnya.
"Saya harus pergi. Saya harap kamu bahagia di sana, kamu akan tetap di hati saya sampai kapanpun."
Sepeninggalan Arkan, beberapa sahabat Vega, sahabat Archer dan juga Aldo datang sembari membawa bunga. Mereka semua berjongkok dan menatap dengan sendu seseorang yang sangat berarti.
Seperti tidak terima dengan takdir, Alesta mencengkram jaket yang dikenakan Abim dengan kuat sembari memeluk lelaki itu. Dari sekian orang yang datang di sini, hanya Alesta lah yang menangis sembari terisak sangat keras. Bagaimanapun juga Vega sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.
Tangan Abim terulur untuk menenangkan kekasihnya itu. Jujur, ia sendiri sangat kehilangan sosok Vega yang pernah sangat disayanginya.
"Gue benci lo, Vega!" tangis Alesta semakin pecah saat ia menaburkan bunga di atas gundukan tanah.
"Lo bilang ke kita bertiga kalau lo mau pindah ke Bogor! Tapi kenapa lo mau pindah kehidupan?!" ujar Alsesta diiringi isakannya yang terdengar pilu.
Abim tidak tega melihat keadaan Alesta, lantas lelaki itu mengeratkan pelukannya kali ini dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Bagaimanapun juga Abim hanyalah seorang manusia, ia juga tidak sanggup melihat keadaan Alesta yang sepertinya sangat terpukul atas kepergian sahabat terdekat gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M LONELY (REVISI)
JugendliteraturIni adalah kisah Vega Aurora. Namanya indah namun tak seindah kehidupannya. Vega tidak pernah dianggap, ia selalu terbuang. Vega ingin bahagia, tapi mereka tidak pernah peduli. Salahkah ia berharap keluarganya berubah? Mungkin itu hanya semu, nyatan...