Perlahan matanya terbuka, seketika bau obat-obatan menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya. Vega melihat sekeliling ruangan bercat putih, ia mendengus kesal lantaran jarum infus yang tersenggol badannya. Vega bodoh, harusnya tadi ia menahan diri agar tidak menggores urat nadinya. Mungkin sekarang, keluarganya akan salah paham karena pasti mereka semua menganggapnya ingin bunuh diri.
Tenggorokannya terasa kering, susah payah ia mengambil segelas air minum yang ada di sebelah brangkarnya.
Seorang lelaki dan perempuan paruh baya masuk ke dalam ruangan Vega dengan tatapan dingin. Mereka berdua berjalan ke arah Vega sembari membawa sebuah kertas yang Vega tidak tahu apa isinya.
"Bosan hidup kamu?" tanya Reno dingin, suaranya ia kecilkan tetapi terdengar tajam bagi Vega.
Vega menggeleng takut, ia takut melihat kedua orang tuanya yang tengah menatapnya seakan-akan ingin membunuhnya.
Dalam hati ia berdo'a agar orang tuanya tidak memarahinya karena jujur, Vega benar-benar lelah hari ini."Enggak, Yah. Vega gak mau bunuh diri," kata Vega sambil menggenggam selimutnya kuat, ia takut.
"Halah, kamu gak usah banyak drama. Kenapa gak sekalian mati aja tadi?" ujar Riska sambil menatap nyalang Vega.
Jelas Vega menatap bundanya tak percaya, dua kali Riska mengatakan hal itu pada Vega. Vega sadar sekarang, ia memang tidak pantas untuk hidup, ia tidak pantas mendapat kasih sayang, dan ia juga tidak pantas untuk melihat keindahan dunia.
Jika Vega bisa memilih, maka ia akan memilih untuk tidak pernah hadir di dunia. Dunia terlalu kejam untuk dia yang rapuh, dunia terlalu besar untuk dia yang tak pernah dianggap sedikitpun keberadaannya.
"Stop, Bun. Vega capek, Bunda selalu ngomong gitu ke Vega. Bunda gak pernah ngertiin perasaan Vega," keluhnya disertai air mata yang mulai mengalir di kedua pipinya.
"KEHADIRAN KAMU ITU CUMA BEBAN, BAHKAN SAYA SENDIRI HERAN KENAPA BISA MELAHIRKAN ANAK SEPERTIMU!" bentak Riska.
Plak
Lihatlah, di saat Vega sakit pun Riska masih suka berperilaku kasar kepadanya. Bodohnya Vega masih berharap jika bundanya itu masih memiliki rasa kasih sayang sedikit untuknya.
Tamparan yang diberikan Riska membuat kepalanya seketika berdenyut, luka kepala yang tadi siang diberikan Riska bahkan belum sembuh. Hal itu semakin membuat kepalanya sakit.
Vega memegang kepalanya, ia menatap kedua orang tuanya tak percaya.
"Ayah, Bunda ... kepala Vega sakit," lirih Vega sembari memegang kepalanya yang sangat sakit.
"Mas, cepat kasih dia. Aku gak mau lagi lama-lama di sini," ucap Riska kepada Reno sambil melirik sebuah kertas yang dibawa lelaki itu.
"Semua tagihan rumah sakit sudah kami bayar, tapi kamu harus mengembalikannya, saya tidak mau uang saya berkurang karenamu," ucap Reno tegas kepada Vega.
Apalagi ini Tuhan? Dalam hal seperti ini bisa-bisanya Vega masih bisa tersenyum. Ia mengambil kertas yang diberikan Reno padanya, saat pertama kali melihat Vega sempat terkejut karena tagihan rumah sakit sebesar lima juta. Mencari uang di mana agar ia bisa mendapatkan uang sebesar lima juta, bahkan tabungannya saja hanya tersisa tiga juta, belum lagi kebutuhan untuk sekolahnya.
Setelah mengatakan hal itu, kedua orang tua Vega meninggalkan gadis itu sendirian. Bahkan Vega saja belum sempat protes.
"Aku masih anggap kalian sayang sama Vega," lirihnya sambil tersenyum sendu.
******Kepulangan Vega tanpa disambut dengan hangat, tiga hari lamanya ia berada di rumah sakit tanpa sepengetahuan sahabat-sahabatnya, mungkin akan lebih baik seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M LONELY (REVISI)
JugendliteraturIni adalah kisah Vega Aurora. Namanya indah namun tak seindah kehidupannya. Vega tidak pernah dianggap, ia selalu terbuang. Vega ingin bahagia, tapi mereka tidak pernah peduli. Salahkah ia berharap keluarganya berubah? Mungkin itu hanya semu, nyatan...