Pagi ini, Clara terbangun karena ponselnya tiba-tiba berdering. Clara melihat layar ponsel yang menampilkan nama dari si penelfon. Tak lama kemudian, Clara pun segera menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinganya.
"Hallo, kenapa, Dar?" tanya Clara setelah telfon tersambung.
"Lo sekolah kan hari ini?"
"Gak."
"Apa-apaan sih lo, Ra? Kenapa nggak sekolah? Apa cuma gara-gara Arvan? Ngapain sih lo bela-belain nggak berangkat cuma gara-gara cowok itu? Sekarang lo jadi pengecut ya?"
Clara terkejut dengan ucapan Adara yang baru saja dilontarkan padanya. Pasalnya, baru kali ini Clara merasa apa yang diucapkan Adara benar adanya, ucapan Adara juga terdengar cukup serius. Kata-kata "pengecut" itu sangat menyanyat hati Clara.
"Jemput gue di rumah." ujar Clara, lalu ia mematikan sambungan telfonnya dan segera bersiap dengan seragam sekolahnya. Benar kata Adara, ia tak boleh jadi seorang yang pengecut karena itu bukanlah seorang Clara.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk Clara bersiap dan saat ini Adara dan Clara sudah sampai di sekolah. Sebenarnya alasan Clara ingin membolos hari ini bukan karena untuk menghindar dari Arvan, namun pikiran Clara masih dihantui oleh kata-kata Bianca yang berkata bahwa Clara lebih pantas mati daripada hidup dengan banyak muka. Clara tahu bahwa apa yang diucapkan Bianca perihal banyak muka itu bukan sifatnya, namun Clara sedikit terhenyak dengan perkataan Bianca yang mengatainya lebih pantas mati. Jika saja daridulu niat bunuh diri Clara berjalan mulus, Clara sudah mati sejak lama. Namun, selalu saja ada yang menggagalkan niatnya itu. Entah itu kakaknya, Adara, dan yang terakhir adalah Arvan.
"Ra, kok lo diam aja sih? Kenapa?" tanya Adara yang heran dengan sikap Clara hari ini.
"Hah? Enggak kok, gue nggak papa." kilah Clara.
"Clara!!!" teriak seseorang dibelakang Adara dan Clara dan membuat keduanya menoleh ke sumber suara. Terlihat Arvan yang tengah berlari menghampiri kedua gadis itu.
Clara memutar bola matanya malas. Lalu, ia berniat untuk pergi meninggalkan Arvan. Namun terlambat, tangan Clara sudah ditahan oleh Arvan terlebih dahulu yang akhirnya Clara terpaksa untuk menghadapi cowok itu sepagi ini.
"Kenapa sih?!" tanya Clara ketus.
"Kenapa lo kemarin ninggalin gue gitu aja? Lo kan berangkatnya sama gue, harusnya pulang sama gue." ujar Arvan dengan raut khawatirnya.
"Nggak usah sok peduli deh lo. Suka-suka gue mau bareng sama siapa. Lagian gue juga bareng sama Adara. Salahnya dimana?"
"Emang nggak salah. Tapi ada apa sama lo? Kenapa sikap lo berubah kaya gini?" tanya Arvan. "Apa ini ada hubungannya sama kehadiran Rafa kemarin? Lo kenal sama kakak gue?"
"Gue gak pernah berubah." jawab Clara singkat.
"Bilang ke gue, ada apa sebenernya sama lo dan Rafa?" tanya Arvan ingin tahu.
"Dar, ayo pergi." ajak Clara pada Adara sambil menggandeng tangan gadis itu dan menariknya untuk menjauhi Arvan. Kini, Clara tidak memperdulikan Arvan yang tengah meneriaki namanya.
*****
Adara Anastasya : Kak, bisa ketemu gue nanti di cafe di deket SMA Victoria di jam pulang sekolah?
Seseorang terkejut melihat layar ponselnya saat melihat chat dari Adara yang masuk ke ponselnya. Sudah lama mereka berdua tak berhubungan sejak kepulangan ke Jakarta kembali.
Dia cukup senang karena Adara menghubunginya kembali. Setidaknya, ia mempunyai celah sedikit untuk menembus hati Clara agar mereka bisa berbaikan kembali. Tanpa berpikir panjang ia langsung membalas "Ok".
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA
Teen FictionSetelah bertemu kamu, luka terasa lebih ringan - Clara Silviana Dirgantara Clara Silviana Dirgantara, gadis yang awalnya sangat ceria, humble dan nyaris tak pernah melanggar peraturan kini berubah 180°. Itu semua disebabkan oleh kondisi keluarganya...