Cafe Osteria menjadi pilihan Arvan untuk mendinginkan pikirannya sebentar agar ia bisa berpikir lagi untuk langkah yang akan ia ambil selanjutnya. Kali ini, ia tak sendirian, Arvan meminta Iqbal dan Calvin untuk menemaninya. Syukurlah Iqbal dan Calvin mau menerima permintaan itu. Jarang-jarang Calvin mengiyakan ajakan temannya untuk berkumpul di cafe. Biasanya Calvin lebih memilih menyibukkan dirinya dengan soal dan buku-bukunya.
"Ada apa lo tiba-tiba ngajak kita kumpul disini?" tanya Iqbal yang baru saja datang bersama Calvin. Iqbal memilih tempat yang berhadapan langsung dengan Arvan, sementara Calvin berada di samping kanan Arvan.
"Nggak ada apa-apa. Gabut aja gue." alibi Arvan.
"Bilang aja ada masalah." sahut Calvin yang membuat Arvan menatapnya.
"Nyamber aja lo kaya petir!" ujar Iqbal.
"Kelihatan dari mukanya." balas Calvin tak mau kalah.
Iqbal pun beralih menatap ke arah Arvan. Kali ini, Iqbal setuju dengan pendapat Calvin. Wajah Arvan sedikit muram daripada biasanya.
"Bener juga kata Calvin. Ada apa sama lo, Ar?" tanya Iqbal.
"Clara." Hanya itu yang mampu Arvan jawab dari pertanyaan Iqbal.
Iqbal mengerutkan keningnya bingung, "Clara? Emang kenapa sama Clara?"
Arvan menghela napasnya panjang, lalu ia menatap ke arah Iqbal dan Calvin secara bergantian. "Clara tiba-tiba menghindar dari gue sejak olimpiade."
"Bukannya waktu itu lo masih biasa aja sama dia?" tanya Iqbal.
Arvan mengangkat kedua bahunya. "Lo tau nggak kalau kakak gue mantannya si Bianca?"
"Tau." balas Calvin.
"Satu sekolah juga tau kali kalau Bianca mantannya Rafa. Yang gue baru tau tuh ternyata Rafa kakak lo!" ujar Iqbal.
"Waktu kakak gue datang, gue lihat raut wajah Clara tuh berubah, kaya gelisah gitu. Terus besoknya dia diemin gue. Gue kan bingung sebenernya tuh ada apa sama dia?"
"Lo tanya lah sama dia." ujar Calvin.
"Gue udah tanya kali, Cal. Tapi dianya nggak mau jawab. Udah ada ratusan kali gue nanya, tetep aja kaga ada jawaban. Capek gue!" ujar Arvan. "Lo berdua nggak tau sesuatu gitu? Misal ada apa sebenernya waktu kakak gue dan Bianca pacaran? Apa ada hubungannya sama Clara juga?" tanyanya lagi.
"Gue sebenernya tau sih, Ar. Tapi ini masih tebakan gue aja," ujar Iqbal.
Arvan beralih menatap ke Iqbal dengan serius. Arvan tahu jika Iqbal ini tukang gosip. Inilah yang bisa ia manfaatkan dari seorang Iqbal. Cowok itu pasti tahu tentang gosip-gosip setahun atau bahkan dua tahun yang lalu.
"Jadi, ada apa sebenernya diantara mereka?" tanya Arvan pada Iqbal.
"Eitss, kagak gratis gue ngasih nih berita!" ujar Iqbal.
"Bangsat! Mau berapa sih lo?"
"Gue nggak mau uang kok Ar. Tapi contekin gue di ulangan fisika besok ya? Biar gue kagak remed lagi! Masa nilai gue kemarin cuma 4 sedangkan lo berdua dapet 9, gue jadi insecure!" ujar Iqbal dengan wajah memelas.
"Makanya belajar!" sahut Calvin menohok. "Kalau mau dapet nilai bagus ya belajar bukan jadiin bahan dari gosip yang lo beri. Belum tentu juga nanti yang lo kasih tau ke Arvan itu bener!" peringat Calvin lagi.
"Enak aja lu, Cal. Gue kalau dapat gosip tuh dari sumber yang terpercaya, jadi nggak mungkin salah deh!" ujar Iqbal, namun Calvin hanya diam dan tak menjawab lagi karena malas berdebat dengan Iqbal.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA
Teen FictionSetelah bertemu kamu, luka terasa lebih ringan - Clara Silviana Dirgantara Clara Silviana Dirgantara, gadis yang awalnya sangat ceria, humble dan nyaris tak pernah melanggar peraturan kini berubah 180°. Itu semua disebabkan oleh kondisi keluarganya...