Sinar matahari pagi yang terpancar di balik kaca jendela kamar Clara membuat gadis itu terusik dari tidurnya. Tanpa sadar, Clara tertidur di meja belajarnya karena semalaman mencurahkan seluruh isi hatinya di dalam buku diary pemberian mamanya dulu. Gadis itu bercerita tentang semua masalah yang terjadi padanya di hari-hari terakhir ini sampai Sherly yang datang menemuinya dan berjanji untuk ikut andil dalam penyelesaian masalahnya.
Clara masih tak bisa menerima Sherly lagi seperti dahulu, namun Clara hanya membiarkan kakaknya itu berlaku sesukanya. Jika kakaknya ingin ikut menyelesaikan masalahnya, maka Clara akan membiarkannya. Clara hanya tak ingin berdebat lagi.
Jam weker di sebelah kanannya sudah menunjukkan pukul 6. Clara segera bergegas untuk mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah agar tak telat lagi. Entahlah, sejak ia mengenal Arvan, hidupnya sedikit berubah menjadi ke arah yang lebih baik. Clara kagum dengan Arvan, dari cover nya saja ia berandalan, namun otaknya begitu encer. Clara malu sebagai perempuan. Ia merasa perempuan tak pantas jika berlaku berandalan terus menerus. Setidaknya, jika ia tak mempunyai otak yang encer, tetapi ia berlaku sopan dan taat peraturan itu sudah lebih baik.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk Clara bersiap-siap. Clara turun dari kamarnya untuk menuju ke ruang makan dan menyantap sarapannya. Biasanya, Bi Inah sudah menyiapkan sarapan walau hanya roti dengan selai. Tak apalah, itu sudah cukup untuk mengganjal perut Clara sebelum jam makan siang tiba.
Clara berjalan menuruni tangga, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang tak asing duduk di meja makan sambil berbincang dengan papanya.
"Ngapain lo disini?" tanya Clara saat sudah berada disamping meja makan.
"Eh, baru siap ya? Duduk dulu, makan." suruh Arvan.
Clara terkejut dengan pernyataan Arvan. Bukannya menjawab pertanyaannya malah membahas yang lain. Tunggu, ini kan rumah Clara, kenapa dia yang disuruh sarapan?
Bodo amat lah sama Arvan. Clara pun memutuskan untuk duduk disamping papanya dan mengambil selembar roti tawar yang kemudian ia olesi dengan selai strawberry.
"Dia kesini mau jemput kamu Clara. Baik ya dia, mau antar jemput loh!" seru Angga, papa Clara. Nada suaranya terdengar sangat gembira.
"Biasa aja." sahut Clara.
Arvan yang berada diseberang Clara pun hanya tersenyum melihat gadis itu jutek. Arvan sangat suka ekspresi Clara jika seperti itu. Terlihat menggemaskan.
*****
Koridor sekolah tampak ramai karena banyak siswa yang masih berlalu lalang di sekitarnya. Bel akan berbunyi 5 menit lagi, untung saja Clara dan Arvan sudah tiba di sekolah.
"Nanti pulangnya tunggu gue. Gue antar." ujar Arvan pada Clara.
"Gak perl--"
"Gue nggak butuh persetujuan karena gue selalu anggap setuju." potong Arvan cepat. Clara merungut kesal karenanya, Arvan sangat gemas dengan ekspresi Clara itu, lalu Arvan mengacak gemas rambut Clara.
"Berantakan goblok!" sentak Clara.
"Attitude nya, mbak!" peringat Arvan.
"Bodo!"
Arvan terkekeh geli, "Sana masuk kelas!" suruhnya.
"Gue bukan anak kecil yang masuk kelas aja pake diingetin!"
"Iya iya Clara besar!"
Clara semakin kesal dibuatnya. Lalu, ia memilih untuk segera pergi sebelum darah tingginya kambuh hanya karena cowok menyebalkan itu.
*****
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Clara dan Adara masih sibuk mencatat catatan yang baru saja diberikan oleh Pak Bambang. Catatan itu akan berguna karena minggu depan akan diadakan ulangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARA
Teen FictionSetelah bertemu kamu, luka terasa lebih ringan - Clara Silviana Dirgantara Clara Silviana Dirgantara, gadis yang awalnya sangat ceria, humble dan nyaris tak pernah melanggar peraturan kini berubah 180°. Itu semua disebabkan oleh kondisi keluarganya...