-PROLOG-

1K 59 22
                                    

Dentingan piring dan kaca pecah mengiang di telinga gadis kecil polos itu. Ia tengah menatap kedua orangtuanya yang sedang saling beradu argumen. Ia tidak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan. Ia ketakutan ketika melihat kilatan amarah dari kedua kelopak mata ayahnya yang dulu selalu ia banggakan, itu dulu. Sekarang, kedua bola mata itu menyeramkan seperti singa yang akan memangsa mangsanya.

Gadis kecil itu hanya terduduk di sudut ruangan sembari memeluk boneka Teddy Bear berwarna coklat berukuran sedang, hadiah dari ayahnya ketika ayahnya pulang dari Singapura. Ia menangis tersedu-sedu tidak kuat ketika melihat ibunya yang sudah beberapa kali terkena pukulan dari sang ayah.

"Pa-pah Ja-jangan pukulin mamah lagi! Kasian mamah!" serunya lantang cukup menarik perhatian ayahnya yang sedang emosi. Kini kedua mata ayahnya menyorot ke arahnya.

"Apa?! Kamu jangan ikut-ikutan ini masalah orang dewasa! Kamu gak tau apa-apa, dasar anak sialan!" balas ayahnya dan hampir saja dia akan melayangkan tamparan kepada anak semata wayangnya itu. Tetapi beruntung ditahan oleh istrinya.

"Mas, kamu apa-apaan sih?! Dia itu masih kecil, jangan libatin dia dengan masalah kita!"

"Dia itu kurang ajar! Oh, pasti ini didikan kamu selama ini, iya 'kan? Supaya dia ngelawan aku, iya?!" marah sang suami. Lalu ia pergi ke dalam dapur dan membawa benda tajam yaitu pisau. "Mati aja anak gak tau diuntung!" teriaknya sembari melayangkan pisau ke arah sang anak.

Sedetik lagi benda tajam itu akan mengenai kepala gadis kecil belia yang tidak tahu apa-apa. Darah mengalir diatas keramik berwarna putih. Namun, bukan. Bukan gadis kecil itu yang terkena sambatan pisau, melainkan ibunya.

"Pergi sayang, pergi ke tempat yang jauh! Cepat berlarilah yang jauh sayang cepat ... !" Itulah pesan sang ibu sebelum akhirnya ia tidak sadarkan diri.

Sedangkan sang ayah, ia prustasi dengan apa yang udah dia perbuat kepada istrinya. Keluarganya kini telah hancur karena perbuatan tangan kejinya. Tanpa mau meninggalkan jejak atau bahkan bertanggung jawab atas apa perbuatannya, ia pergi dari rumah.

Ditengah malam yang gelap dengan hujan yang deras, gadis kecil itu terus berlari sesuai dengan pesan ibunya. Namun, dia terlalu kecil untuk berlari sejauh itu. Kakinya pegal, ia merasa capek. Lalu ia duduk menekuk lutut di pinggir jalan di bawah pohon rindang yang tertiup angin memberikan kedinginan yang amat luar biasa padanya.

"Hiks ... Hiks ... Dingin ... Mamah ... Papah ... Tolong ..." rintihnya di gelapnya malam.

Tidak lama kemudian, datang seorang wanita muda yang turun dari mobilnya sambil membawa payung. Ia menghampiri gadis kecil malang yang sedang menangis di sana. Dirangkulnya pundak gadis kecil tersebut.

"Aduh ... Kamu kenapa malam-malam di sini sendirian? Dimana orang tua kamu?" Tanyanya.

"A-A-Aku ... Aku pelgi dali lumah ... Hiks ... Mamah nyuluh a-aku lali. Ta-Tapi ... Tapi aku capek ... Hiks ... Aku ... Aku kedinginan ... Aku mau pulang ...." ujar gadis kecil itu. Kemudian ia pingsan tidak sadarkan diri.

Wanita yang berumur sekitar 25 tahun-an itu bingung, entah apa yang harus ia lakukan. Oleh karena itu, tanpa pikir panjang lagi ia membopong gadis kecil yang ia temui di pinggir jalan itu dan dia bawa ke rumahnya.

Jangan lupa meninggalkan jejak❤️

Rain Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang