RevanoAku sedang berada di Mall. Tepatnya di salah satu restoran yang ada di dalam Mall mewah ini. Setelah merayakan ulang tahun keponakanku pagi tadi, kami langsung pergi kemari. Mencari tempat dingin setelah berpanas-panasan di jalan macet khas kota ini.
"Daddy!" Suara bocah kecil di pangkuan Ravina mengambil atensiku.
Geovano adalah putra Ravina dan Mas Adi, suaminya. Tapi dari kecil, dia begitu menempel kepadaku. Jadi, Vina lebih sering menjulukinya sebagai anakku daripada keponakanku. Tentu saja aku tidak keberatan, aku malah mengajarinya untuk memanggilku dengan sebutan Daddy, sejak dia belum bisa berbicara.
Aku segera mengambilnya dari pangkuan ibunya, mengangkat anak itu tinggi-tinggi. Perlakuan yang selalu bisa membuatnya tertawa.
Terima kasih untuk kakak dan kakak ipar yang menghasilkan anak selucu ini. Dia adalah salah satu pengalihan terbaik saat aku sedang galau.
Tidak lama setelah Ravina menikah, hubunganku dengan Indira diterpa badai. Badai itu tidak hanya memporak-porandakan hubungan kami, tapi juga menghancurkannya. Kemudian membawa Indira pergi entah kemana.
Waktu itu, dia masih kuliah di sana, di kampus yang sempat menjadi saksi indahnya hubungan kami. Entah bagaimana cara gadis itu bersembunyi, setiap kali aku pulang ke Indonesia dan berusaha menemuinya, kami tidak pernah berjumpa.
Nomor, Instagram, Facebook, semua yang berkemungkinan menjadi jalan untukku menghubunginya, diblokir begitu saja. Termasuk teman dekatnya, mereka semua bisu saat kutanya. Tidak peduli seberapa banyak hal yang bisa kuberi sebagai sogokan, mereka tetap saja diam.
Aku nyaris gila saat itu. Demi Tuhan, aku sangat mencintainya. Aku bahkan sempat bilang kepada ayah untuk kembali kuliah di Indonesia saja. Agar bisa leluasa mencari dan menemukan Indira.
Sayangnya, ayah tidak menyetujui permintaanku. Dia terus meyakinkan bahwa suatu hari nanti, kami pasti akan kembali bertemu. Di waktu yang tepat tentu saja.
Akhirnya aku menyetujui perintah ayahku. Menetap di Amerika untuk melanjutkan kuliahku yang sempat keteteran. Untung saja, aku tidak bodoh. Hanya malas saja, sedikit. Sehingga aku mudah menyusul ketertinggalanku.
"Suatu hari, aku dan Indira akan bertemu kembali. Saat itu kami sudah menjadi dua orang yang sama-sama dewasa, sehingga bisa berpikiran terbuka. Kemudian kami akan saling memaafkan dan kembali menjalin hubungan. Lalu seperti impianku sejak lama, aku akan menikahinya. Secepat yang aku bisa." Itu adalah doa, harapan dan keyakinan yang kupegang kuat-kuat. Satu-satunya yang membuatku mampu bertahan, tanpa kabar dan raganya disisiku.
Sampai akhirnya, 2 hari lalu kami kembali berjumpa. Dan jujur saja, perjumpaan waktu itu meruntuhkan kepercayaan yang sudah ku tanam kuat-kuat dalam hatiku. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku hanya akan memberinya waktu untuk menenangkan pikiran saja, kemudian aku akan mengajaknya berbicara.
"Daddy!" Suara pekikan Geo mengagetkanku. Membuat fokusku sepenuhnya teralih padanya. "What's wrong buddy?" Tanyaku dengan ekspresi kaget yang ku buat-buat.
Balita itu hanya tertawa sambil menyuapkan roti yang ada di genggaman tangannya kepadaku. Aku segera membuka mulutku dan menerima suapan bocah itu.
"Masih mikirin yang kemarin?" Aku hanya mengedikkan bahu menanggapi ucapan Ravina. Malas jika harus membahas ini di depan keluargaku.
Untung saja tidak ada mama, bisa panjang urusannya jika beliau tau aku menyembunyikan sesuatu darinya. Mama tadi pamit ke kamar mandi, entah apa yang terjadi hingga lama sekali beliau tidak kunjung kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...