3. Tangis dan Luka

9.4K 764 12
                                    


Indira

Aku sedang berada disalah satu Mall besar di Surabaya. Berkeliling mengitari bangunan luas ini, tanpa ada sedikitpun niat untuk membeli.

Tujuanku kemari adalah untuk berbicara dengan mas Reyhan. Aneh sekali rasanya, padahal tadi kami ada di tempat yang sama. Tapi dia malah mengajakku kemari untuk berbicara.

Sayangnya, kita tidak bisa berangkat bersama. Dia harus memimpin rapat dewan sekolah bersama para donatur, yang katanya baru akan selesai jam 12 siang nanti.

Ini baru jam setengah sepuluh. Jadi, aku akan sendirian di sini selama beberapa jam ke depan. Duh, kayak jomblo saja keliling Mall sendirian.

Hari ini sekolah pulang lebih awal. Ada rapat pimpinan sehubungan dengan kebijakan baru yang akan segera dilaksanakan. Aku tentu saja tidak masuk hitungan, rakyat jelata mana paham diajak ngomongin begituan.

Ngomong-ngomong soal sekolah, aku adalah guru akuntansi di SMA Harapan Bangsa. Baru mengajar sekitar enam bulan ini.

Sejatinya aku tidak memiliki gelar sarjana pendidikan. Aku bisa berada di sini tentu saja karena kekuasaan orang dalam. Siapa lagi kalau bukan Mas Reyhan.

Almarhum ayahnya adalah ketua yayasan sekaligus pemilik sekolah tempatku mengajar. Jadi sebagai anak laki-laki satu-satunya, jabatan sang ayah secara otomatis turun ke atas pundak cowok itu.

Aku lulusan Akuntansi murni di salah satu Universitas swasta ternama di Jakarta. Kampus yang sama sekali tidak pernah masuk ke dalam teritorial buku mimpiku.

Cita-citaku dari kecil ingin menjadi guru, seperti bapak dan ibuku. Lalu saat duduk dibangku SMA, cita-cita itu berkembang menjadi lebih tinggi. Aku ingin menjadi dosen.

Tapi aku sadar diri, aku bukan dari keluarga mampu. Bapak dan ibu adalah guru sukuan yang gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Belum lagi mereka harus menyekolahkan adikku yang saat itu akan segera masuk SMP.

Namun Tuhan adalah Maha adil. Dibalik kekurangan ekonomi keluarga, aku diberi otak yang kata orang-orang sangat luar biasa. Buktinya, tidak pernah ada yang bisa menggeser posisiku dari gelar peringkat satu, mulai jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.

Berbekal hal itu, ditambah piagam kejuaraan yang menumpuk di lemari, kampus-kampus bergengsi berlomba menjadikanku bagian dari mereka. Setidaknya ada 3 kampus yang siap menerimaku tanpa tes apa pun.

Bahkan, kampus impianku yang berada di Malang turut membuka pintu lebar-lebar untukku, ditambah iming-iming beasiswa penuh, jika aku sanggup mempertahankan IPK sesuai target yang mereka berikan.

Saat itu, hidupku terasa begitu sempurna, semua orang bangga kepadaku. Orang tua, bapak ibu guru, teman-teman, semua orang yang mengenalku begitu memuji keberuntunganku. Termasuk.. ah sudahlah, jangan membahas orang itu.

Sayangnya waktu itu aku terlalu naif, bahkan banyak yang mengatakan bahwa aku bodoh. Aku mengambil keputusan yang tidak hanya merugikan, tapi juga menjungkir balikkan kehidupanku.

Satu persatu orang yang sebelumnya menggaungkan rasa bangga, berputar balik mengecamku. Tidak hanya orang-orang di sekitar, guru-guru bahkan bapak ibuku terang-terangan menunjukkan rasa kecewanya padaku.

Aku benar-benar bodoh. Tidak, mungkin aku kehilangan otak waktu itu.

Bisa-bisanya aku mengecewakan orang-orang yang tulus kepadaku hanya demi satu orang.

Orang yang pada akhirnya memilih meninggalkanku, demi mengejar impiannya. Setelah membuatku kehilangan mimpi-mimpiku.

Drrtt.. drrtt..

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang