15. Kesempatan

4.3K 334 1
                                    

Revan

Aku melangkah gontai menuju mejaku. Sampai jam ke dua berakhir, tak kunjung ada tanda-tanda Indira akan datang ke sekolah.

Reyhan juga tidak ada di meja depan sana. Tapi bisa saja laki-laki itu sedang berada di ruang pribadinya, kan? Kemungkinan lain, mereka sedang menghabiskan waktu berdua.

Ah, sial!

Tapi mungkin juga, Indira memilih mengundurkan diri karena tidak ingin ada di tempat yang sama denganku. Damn!

Atau jangan-jangan, dia sedang sakit? Jangan-jangan-- 

Belum sempat menyelesaikan terkaan yang berputar di kepala, tiba-tiba mataku menangkap sosok Reyhan yang sedang berjalan penuh wibawa ke mejanya.

Aku memanjangkan leher, berharap menemukan Indira di belakang laki-laki itu. Meskipun sakit seandainya benar-benar mendapati mereka terlambat berdua, tapi itu lebih baik. Dari pada harus menerima kenyataan bahwa Indira memilih mundur dari sekolah ini karena ada aku. Atau parahnya, jika gadis itu sakit setelah kejadian kemarin.

Sayangnya, tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Laki-laki itu sendirian. Tubuhku lunglai di sandaran kursi. Indira benar-benar tidak masuk hari ini.

Saat aku kembali mendongak ke arah Reyhan berdiri, mata kami bertemu. Dia tersenyum miring, seakan tau apa yang kucari. Aku mungkin terlihat sangat menyedihkan, dan aku tidak peduli.

Ingin sekali aku menghampiri laki-laki yang sudah tampak sibuk dengan laptopnya di depan sana. Menanyakan di mana sebenarnya Indira berada. Tapi aku tidak bisa, meskipun ruangan ini lumayan sepi, masih ada setidaknya tujuh guru yang akan mendengarkan obrolan kami.

Beberapa saat kemudian, aku melihat dia berdiri, memegang ponsel yang sudah menempel di telinganya. Dia berjalan keluar dari ruangan.

Aku baru akan menyusul Reyhan saat ponselku ikut-ikutan berdering, nama sekretarisku terpampang jelas di sana. 

Sial! Mau tidak mau aku harus mengangkat telponnya.

***

Butuh setengah jam lebih untuk menyelesaikan pekerjaan yang kata Rina harus ku selesaikan hari ini. Aku segera berlari keluar begitu selesai mengirim dokumen yang baru saja kukerjakan.

Aku memandang kiri kanan, tapi Reyhan tidak tampak di mana pun. Saat aku hendak berjalan ke ruang kepala yayasan, tiba-tiba mataku menangkap figure laki-laki itu berada di atas motornya, keluar dari tempat parkir guru.

Tanpa pikir panjang, aku segera berjalan cepat ke sana. Dia tampak mengurungkan niat untuk melajukan kendaraannya, begitu menemukan keberadaanku.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Ujarnya.

Aku menghela napas, berusaha tidak terpancing emosi di saat seperti ini. "Indira kemana?" Tembakku tanpa basa-basi.

Dia tersenyum kecil, "Untuk apa Bapak menanyakan keberadaan pacar saya?"

Sekali lagi aku menghela napas dalam, tidak mau memancing keributan di sekolahan. "Dia sakit?" Tanyaku balik, berusaha mengabaikan pertanyaannya.

Dia tersenyum lagi, "urusan bapak apa?"

"Rey, please! Gue tau lo--" ucapanku belum selesai saat dia lebih dulu menyela. "Sepertinya saya salah memberi kesempatan kepada Anda," aku tergagap mendengar pernyataan itu.

"Bukannya senang, Indira malah tertekan dengan kehadiran Anda. Jadi, saya akan memikirkan ulang keputusan saya untuk mempertahankan Anda di sini." Katanya lagi.

Perkataannya sukses membuatku menelan ludah dengan alot. Jika sampai dia berubah pikiran, artinya aku benar-benar akan kehilangan kesempatan.

"Rey--" belum sempat mengucapkan apa yang sedang kupikirkan, sepeda motor Reyhan sudah melaju meninggalkan parkiran.

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang