11. Teka-teki

5.5K 466 25
                                        


Revan

Baru satu minggu sejak kepergian Andri ke Surabaya, dan aku sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menyusulnya.

Tidak. Jangan kira aku merindukan bajingan menyebalkan itu. Alasanku ingin pergi ke sana, tentu saja karena Indira.

Apalagi Andri baru saja memberi kabar, bahwa jarak restorannya hanya sekitar 300 meter dari toko tempat Indira bekerja. Jackpot!

Karena bukan orang yang pandai menahan diri, akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar terbang ke sana.

Meminta Rina, sekretarisku untuk mengirim semua pekerjaan lewat email. Juga membungkam mulutnya agar tidak mengatakan apa pun, terutama pada mama.

Selama berada di Surabaya, aku lebih memilih untuk tinggal di kamar pribadi Andri di Wijaya Utama Restaurant, daripada tinggal di apartemennya, atau pun menyewa kamar hotel sendiri.

Dua Minggu di sini, aku mendapat banyak sekali informasi tentang Indira. Ya, selain menyelesaikan apa pun yang Rina kirimkan lewat email, pekerjaanku di sini hanyalah menguntit ke mana pun Indira pergi.

Dan Indira tidak akan pergi ke mana pun sendirian. Laki-laki itu, -orang yang kutau bernama Reyhan- selalu siap siaga, kapan pun Indira membutuhkan.

Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah. Menampakkan diri di depan Indira, dan berhenti menjadi pengecut yang hanya bisa mengawasinya dalam diam.

Aku sudah pernah bilang bukan? Jodoh tidak akan ke mana. Dan Indira adalah jodohku, terbukti dari usahaku yang tidak pernah dipertemukan dengan jalan buntu.

Satu minggu lalu, saat menjalani rutinitas sebagai penguntit, akhirnya aku mendapat jalan di luar dugaan. Ada selebaran menempel di pos satpam SMA Harapan Bangsa.

Selebaran itu menuliskan bahwa sekolah tempat Indira bekerja, membutuhkan seorang guru sejarah. Semua persyaratan tentu saja dengan mudah bisa kupenuhi. Kecuali satu hal; Ijazah S1 Pendidikan Sejarah.

Tapi, jangankan jalan yang benar, jalan sesat saja akan kutempuh demi mendapatkan Indira kembali. Dan membuat ijazah palsu adalah jalan sesat yang kupilih.

***

Hari ini adalah hari pertamaku mengajar. Ya, setelah beberapa hari mengirim surat lamaran, akhirnya dua hari lalu aku dapat panggilan. Dengan dalih sedang berada di luar kota, tes wawancara yang diminta pihak sekolah bisa dilakukan secara online.

Dan di sinilah aku sekarang. Duduk manis di ruang guru SMA Harapan Bangsa, dengan di kelilingi guru-guru senior. Ah, rupanya pesonaku masih belum luntur.

Aku duduk di bangku paling belakang, deret ke dua dari sisi kanan. Agak mengherankan sebenarnya, karena yang menyerbuku bukan hanya guru perempuan, ada beberapa guru laki-laki yang turut berdiri di sini. Apa pesonaku sekuat itu?

"Akhirnya, pak Reyhan punya saingan juga!" Aku hanya memutar bola mata mendengar hal itu.

Dari tempat dudukku yang terasa pengap karena terlalu banyak orang yang berkerumun, aku mendengar banyak bisik-bisik yang cukup jelas di telinga.

"Kayaknya Harapan Bangsa punya kriteria baru buat jadi guru di sini. Harus good looking! Kemarin Bu Indi, yang cantiknya nggak ketulungan. Sekarang ini, ganteng banget lagi. Siapa sih namanya?"

Ooo.. Jadi Indira juga baru mengajar di sini? Lalu, bagaimana dia bisa masuk jika tidak memiliki title sarjana pendidikan? Dia.. tidak mungkin memalsukan ijazah juga, kan?

"Gila.. Husband materials banget!"

"Semoga nggak kecantol Bu Indi juga. Cukup Pak Reyhan saja, yang ini jangan!!" Senyumku tersungging pedih, mendengar pernyataan itu

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang