Setahun lalu, pelukannya adalah milikku. Hak eksklusif untukku. Tapi sekarang, saat tanganku baru saja akan melingkari punggungnya, suara perempuan tiba-tiba menginterupsi, dan seketika itu, tubuh Mas Reyhan membeku."Rey?" Suara itu terdengar halus dan hati-hati.
Dari balik bahu Mas Reyhan, mataku yang berkaca-kaca menangkap sosoknya. Perempuan itu tinggi, berambut hitam lurus sepinggang. Dia memakai kemeja putih yang di lapisi blazer abu-abu senada dengan roknya. Dan wajahnya.. aku tau dia. Cekung di pipi kanan saat bibirnya memanggil nama Mas Reyhan itu terlihat nggak asing. Dia.. perempuan itu. Perempuan yang berdiri di samping Mas Reyhan dengan cincin berlian di tangannya setahun yang lalu.
Aku melepaskan diri saat perempuan itu melangkah mendekat. Mas Reyhan kelihatan gusar tapi nggak mau melepaskan tangannya dari pinggangku, seperti takut aku akan hilang atau kabur lagi.
"Mas." Aku bergerak nggak nyaman, berusaha melepaskan tangan Mas Reyhan dari tubuhku. Bagaimanapun kami adalah mantan, dan calon istrinya berdiri di hadapanku. Eh, apa sudah jadi istri, ya?
Hatiku berjengit ngilu saat pikiran itu muncul di otakku.
Perempuan itu berdiri bingung di hadapan kami. Karena nggak ingin membuatnya salah paham, aku segera memasang senyum dan mengusahakan agar nggak kelihatan palsu. Dengan tegang aku mengulurkan tangan padanya. "Halo, Mbak. Saya Indira, temannya--"
"Indira.. Indira yang itu?" Dia menyela ucapanku dengan ekspresi kaget sekaligus bertanya-tanya.
Perempuan itu menatapku lama, lalu matanya beralih pada Mas Reyhan, mungkin meminta penjelasan. Mas Reyhan terdengar menghela napas dalam, kemudian kepalanya mengangguk.
Sepertinya.. dia tau aku.
Aku baru akan menarik tangan saat perempuan itu tiba-tiba menjabatnya. Aku berani bersumpah sempat melihat kilat kaget di mata perempuan itu, tapi yang kulihat sekarang justru senyuman lebar yang kelihatan sangat tulus dan nggak dibuat-buat.
"Hai, Indira. Sorry banget, tadi aku.. agak.. kaget," dia meringis sungkan, "Aku Nana." Ujarnya.
Aku tersenyum kikuk, benar-benar merasa nggak enak sekaligus bingung harus bagaimana.
"Na." Nana menatap Mas Reyhan, tangannya yang dari tadi masih menggenggam tanganku kini terkulai di samping tubuhnya. "Bisa kasih waktu kami untuk bicara?"
Nggak hanya Nana, sekarang aku juga menatap Mas Reyhan. Bisa-bisanya dia minta ijin seperti itu kepada pasangannya.
"Oh.. ya, ya.. Sure." Demi Tuhan aku bisa mendengar getar di suara perempuan itu meskipun dia berkata sambil tersenyum. "Aku tunggu di sini kalau gitu?"
"Kamu pulang bareng Pak Memet sama yang lain aja."
"Mas!" Kali ini aku nggak bisa menahan diri. Mas Reyhan nggak boleh sejahat itu sama pacarnya sendiri.
Tapi Mas Reyhan nggak menghiraukan aku, dia malah mencari tanganku dan menggenggamnya erat. "Nanti aku nyusul."
Nana sepertinya sudah nggak bisa menjaga ekspresinya lagi, wajahnya kelihatan pias dan pucat. "Oh, oke."
"Mas!" Aku menatapnya sengit, tanganku berusaha melepaskan genggamannya tapi sulit. Aku terus bergerak nggak nyaman sedangkan wajah Mas Reyhan tetap datar, menatap Nana seolah meminta pengertian.
Aku nggak bisa. Aku nggak mau menyakiti siapapun lagi. Aku nggak ingin jadi manusia egois yang rela melakukan apa pun untuk kebahagiaanku sendiri. Aku..
Nana kelihatan berjalan mendekat. Tubuhku seketika kaku, bersiap menerima tamparan atau jambakan di rambutku. Tapi yang kudapat justru sebuah elusan di bahu. "Ra, it's okay. Kalian memang harus bicara."
Aku membeku. Demi Tuhan perempuan ini nggak layak jadi sainganku. Aku adalah si egois yang kekanakan. Sedangkan dia adalah perempuan dewasa yang memiliki wajah sempurna dan hati seluas samudera.
Kami.. nggak sebanding.
****
"Mas, kamu nggak boleh gitu." Aku akhirnya membuka suara setelah hampir sepuluh menit kami duduk di sebuah kedai minuman dan hanya saling menatap. "Kamu bisa nyakitin dia kalau--"
"Dan kamu boleh melakukan apa pun sesukamu?" Aku menelan ludah, baru kali ini Mas Reyhan bicara dengan nada seperti itu padaku.
"Sampai kapan sih Ra, aku harus terus-terusan ngalah sama kamu? Sampai kapan kamu mau nggak peduli sama perasaanku?"
Dia menatapku nyalang. "Aku masih ingat obrolan kita hari itu. Aku ingat banget kalau kamu bilang nggak apa-apa, kamu mau aku aku sama dia, aku nggak boleh durhaka sama bunda, aku harus tatap lanjutin pertunangan itu. Aku ingat semuanya, Ra." Napas Mas Reyhan memburu.
"Aku juga ingat kamu minta maaf dan bilang kalau selama ini nggak bisa balas perasaanku, nggak bisa cinta sama aku, nggak bisa melupakan Revan dan mungkin akan kembali sama dia." Air mataku turun saat suara mas Reyhan mulai terdengar bergetar.
"Aku nggak ngerti. Apa aku salah paham atau gimana. Tapi kenapa, kenapa kamu pergi kalau-- kalau kamu nggak ada perasaan apa pun sama aku? Kenapa kamu nggak balik sama Revan kalau alasan kamu memintaku melanjutkan pertunangan itu adalah dia, karena kamu masih cinta dia dan ingin memperbaiki hubungan kalian lagi?" Nada suaranya melemah. "Kenapa, Ra?"
"Padahal kamu bisa menghentikan semuanya. Kamu bisa memintaku untuk nggak melanjutkan pertunangan itu. Kamu cuma perlu bilang kalau kamu mau aku tetap sama kamu dan jelas aku akan melakukan itu."
Wajah Mas Reyhan yang selalu penuh senyum saat menatapku sekarang nggak ada lagi. Dia hanya menatapku dengan ekspresi terluka dan sakit hati yang begitu kentara.
Hatiku jadi ikut nyeri.
Aku memang mengatakan itu semua. Aku sengaja menyakiti hatinya agar dia meninggalkanku, agar Mas Reyhan tau kalau aku bukan perempuan yang tepat untuknya. Agar dia mau melanjutkan pertunangan itu. Revan hanyalah alasan. Yang sebenarnya adalah aku ingin dia bahagia dengan pilihan ibunya. Karena aku tau, aku sadar betul kalau aku nggak layak untuk berdiri di sampingnya.
"Mas--"
"Kali ini tolong jujur, Ra. Tolong katakan yang sebenarnya. Ini.. mungkin kesempatan terakhir untuk kita." Dia berujar pelan.
"Kamu mau menikah?" Aku nggak tau diantara banyaknya kalimat yang memenuhi otakku, kenapa justru itu yang kutanyakan.
Mas Reyhan menatapku dengan mata merahnya. Dia mengangguk. "Kalau kamu nggak mau balik, bulan depan aku menikah."
Aku menggigit bibir, sebisa mungkin menahan tangis. Tapi saat Mas Reyhan meraih tanganku, usahaku gagal seketika. Aku akhirnya tersedu di hadapannya.
"Hiks, hiks"
Mas Reyhan berdiri, beralih ke kursi di sampingku. Dia lalu merengkuhku, dan aku balas memeluknya erat, menangis keras di pelukan yang sudah sangat lama ku rindukan.
"Sssttt.. jangan nangis, Ra.." Mas Reyhan terus berbisik di telingaku. Sesekali bibirnya mencium rambutku. Hangat dan menenangkan. "Kamu hanya perlu jujur, dan kita akan baik-baik saja."
Apa aku boleh jujur?
"Aku.. hiks"
"Aku.."
Aku nggak bisa menahan diri lagi. Mungkin benar. Ini adalah kesempatanku. Kesempatan terakhir yang kumiliki untuk bisa bersama dengannya. Dan kali ini, semoga selamanya.
"Aku minta maaf, hiks. Aku.."
Saat bibirku akan mengungkapkan semuanya, tentang perasaanku, tentang Revan, tentang alasan kenapa aku pergi, tentang betapa selama ini aku merindukan dia dan menyesali keputusanku, saat itulah mataku menangkap sesuatu.
Di sana, di balik tembok yang bersebrangan dengan meja kami, ada Nana. Sedang berdiri dengan menundukkan kepala, bahunya bergetar hebat, sama seperti yang sedang kulakukan. Bedanya.. Mas Reyhan, calon suaminya, justru memelukku sini.
***
Bersambuuuung
Terima kasih sudah mampiir :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...