Revan
Aku menoleh ke arah pintu, di mana tubuh Indira hampir luput dari penglihatanku. Aku bahkan tidak tau kapan Bu Rima melirik ke sana, sampai bisa tau bahwa di balik pintu itu ada Indira.
Entah apa saja yang gadis itu dengar, entah berapa lama dia berdiri di sana.
Perlahan, pintu itu terbuka, menampilkan sosok Indira yang tampak gugup. Gugup dan lega. Mungkin dia tidak menyangka akan ketahuan menguping, sekaligus lega melihat kondisi Bu Rima yang terlihat lebih baik dari sebelumnya.
"Ibu baik-baik saja? Ada yang sakit? Perlu Rara panggilkan dokter?" tanyanya begitu sampai di samping brankar ibunya.
Dia mengambil sisi lain yang berseberangan denganku.
Bu Rima terdiam, memperhatikan wajah Indira yang terlihat kikuk.
Hening, tidak ada lagi suara di antara kami. Bu Rima masih menatap Indira dengan tatapan yang sulit diartikan, sedangkan Indira memilih menunduk, mungkin dia takut akan dimarahi karena lancang menguping.
"Kapan kalian akan menikah?" pertanyaan itu meluncur dari bibir Bu Rima.
Aku refleks memandang ke arahnya. Sedetik kemudian, mataku beralih pada Indira yang juga menatapku dengan tak kalah kagetnya.
Lagi-lagi tatapan kami terputus saat dia dengan cepat memalingkan wajahnya. Beralih menatap ibunya dengan pandangan bertanya-tanya.
"M-maksud Ibu?" suara Indira terdengar bergetar, mungkin terlalu kaget dan tidak menyangka.
"Kapan kalian akan menikah?" ulang bu Rima sekali lagi.
"Bu, kami—" Indira menoleh ke arahku, tampak benar-benar bingung dengan pertanyaan ibunya. "kami sudah tidak ada hubungan apa-apa." Sambungnya dengan mata yang masih memaku mataku.
Aku menelan ludah getir, pandangannya tampak menegaskan bahwa aku benar-benar tidak memiliki kesempatan. Memadamkan harapan yang sempat terbit setelah mendengar pertanyaan Bu Rima.
"Semudah itu?" tanya bu Rima nyalang.
Hening,
"Semudah itu kamu mengakhiri hubungan setelah dulu lebih memilih dia dan meninggalkan mimpi yang sudah kamu bangun dari lama?" sambung Bu Rima dengan tajam.
Dahiku berkerut mendengar pertanyaan itu. Bukannya aku sudah menjelaskan bahwa alasan Indira ke Jakarta bukan sepenuhnya karena aku?
Wajah Indira berubah keruh, terlihat jelas tidak suka dengan pernyataan Ibunya.
"Bu, Rara minta maaf. Tapi kami benar-benar sudah selesai sekarang." Ucapnya pelan dan tegas, membuat dadaku berjengit ngilu.
"Lalu kenapa? Dia masih mencintai kamu. Dan ibu yakin, tidak akan sulit bagi kamu untuk kembali menumbuhkan rasa yang dulu sudah pernah ada." Balas Bu Rima cepat.
Indira lagi-lagi menatapku. Kali ini dengan pandangan muak dan penuh tuduhan.
"Rara sudah punya pacar, Bu." Tawa sinis Bu Rima menggema setelah mendengar ucapan mantap Indira.
"Lalu apa yang menjamin kamu tidak akan berakhir ditinggalkan seperti dulu?" ujarnya sinis. Membuatku menelan ludah alot. Kata-kata barusan benar-benar menamparku dengan telak.
Indira terkesip mendengar perkataan ibunya, matanya sudah tampak berkaca-kaca.
"Mas Reyhan laki-laki baik, Bu. Dia sangat mencintai Rara, dan Rara yakin dia tidak akan meninggalkan Rara dengan alasan apa pun," kalimat itu diucapkan dengan nada biasa, tapi entah kenapa terasa begitu menusuk ditelinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...