Indira
"Loh, Mas? Ngapain?" Aku berseru kaget, melihat mas Reyhan yang sudah ada di depan pintu kontrakanku.
Tadinya aku berencana berangkat ke sekolah menggunakan jasa transportasi online. Kupikir, manusia yang ada di depanku ini tidak akan berangkat mengajar karena kejadian kemarin.
"Kok ngapain, sih? Ya jemput kamu, lah!" Jawab cowok berseragam yayasan itu, dengan wajah tengil seperti biasa.
"Kamu kan masih sakit, Mas. Istirahat aja, ya?" Melihat lebam-lebam di wajahnya membuatku ngeri sendiri, tapi kenapa mas Reyhan tampak biasa saja? Setauku, dia bukan cowok berandal yang suka memberi atau mendapat luka seperti itu.
"Jangan lebay, Ra. Luka kayak gini, mah, nggak ada rasanya buat cowok jantan kayak aku." Aku memutar bola mata mendengar pernyataan narsisnya. Sungguh, kalau wajahnya tidak penuh luka begitu, sudah ku tabok muka yang sedang menampilkan ekspresi menjijikkan itu
"Udah, ah. Nih!" katanya sambil mengulurkan helm kepadaku. Aku hanya menatapnya tanpa berniat mengambil helm itu.
Dia menatapku heran, "Kenapa?"
"Kamu beneran mau ke sekolah? Rabu kan kamu nggak ada jam. Paling duduk-duduk aja di ruangan. Dari pada gitu, mending istirahat aja di rumah, ya?"
Aku benar-benar tidak setuju dia berangkat mengajar dalam kondisi seperti ini. Sekolah akan heboh kalau sampai melihat ketua yayasan favorit mereka bonyok begitu. Selain itu, aku tidak tega juga. Bagaimana pun, dia begini karena aku.
"Ra, I'm fine. Luka ini beneran nggak kerasa apa-apa buat aku. Kamu nggak usah ngerasa nggak enak gitu!" Katanya sambil memakaikan helm di kepalaku.
Aku mendongak menatap wajahnya. Meskipun penuh lebam, dia tetap sangat tampan. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah mas Reyhan tampak mengagumkan. Alis tebal, hidung mancung, dan bibirnya yang penuh benar-benar menjadikan wajah itu sedap dipandang.
"Woy!!" Aku berjengit kaget saat tangan cowok itu menampar pelan kaca helm yang sudah ditarik menutupi separuh mukaku.
Aku melirik sebal ke arah mas Reyhan yang sudah berlari sambil tertawa ke arah sepeda motor, "Baru sadar kalo muka gue cakep?" Sindirnya, saat aku hendak naik di belakangnya.
Aku diam saja, sedikit menyesal sudah mengkhawatirkan manusia jail seperti dia.
***
Ruang guru benar-benar heboh saat melihat penampakan wajah mas Reyhan. Guru-guru dengan seragam kebesaran Harapan Bangsa itu, langsung ricuh menyerbu kami dengan berbagai pertanyaan.
Aku tersenyum kikuk saat ditanya penyebab hancurnya wajah tampan yang mereka idolakan. Sedang yang jadi objek, malah tersenyum santai sambil melenggang ke arah mejanya.
Setelah mengatakan bahwa mas Reyhan terluka saat menyelamatkanku dari penjahat, decak kagum langsung bergema di dalam ruangan. Ah, jadi nyesel pakai alasan begitu. Makin besar nanti kepala orang itu.
Aku berjalan ke pojok ruangan, tempat mejaku berada. Melewati mas Reyhan yang berada di deretan paling depan, dengan menampilkan seringai jail karena berhasil membuatku mengarang alasan.
Meskipun menjabat sebagai ketua yayasan, cowok itu lebih sering berada di ruangan ini daripada ruang khusus yang disediakan untuknya.
Dia bilang, selain agar selalu bisa melihatku, dia juga lebih nyaman berbaur dengan para guru ketimbang mendekam di ruang besar itu sendirian.
Sekolah ini memiliki tiga ruangan khusus untuk guru tanpa jabatan tambahan sepertiku. Masing-masing ruangan memiliki dua puluh meja yang berjajar rapi: empat menyamping, lima ke belakang. Di depan sana ada loker besar, tempat para guru menyimpan segala sesuatu yang tidak perlu dibawa pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...