Indira
Tubuhku lemas melihat ayah yang terbujur kaku diranjang rumah sakit. Tubuhnya penuh dengan alat-alat medis. Kakiku gemetaran, sangat sulit untuk digerakkan.
"Maafkan Rara, Yah, maaf. Kalau Ayah nggak mau buka mata untuk Rara, Tolong lakukan demi ibu, demi Hana juga," Hanya kata-kata itu yang sedari tadi muncul dari bibirku. Aku sama sekali tidak tau harus berbuat apa agar ayah bersedia membuka mata.
karena tidak kuat berlama-lama melihat kondisi ayah, aku memutuskan untuk keluar. Membiarkan ayah istirahat tanpa gangguan.
Hatiku menghangat mendapati Mas Reyhan menungguku di depan pintu, merasa memiliki seseorang yang begitu siap menjaga dan melindungi setiap waktu.
Melihatnya membuka kedua tangan, aku segera berhambur ke dalam dekapan hangatnya, menumpahkan tangis yang sedari tadi memang tidak bisa ku tahan.
"Ayah, Mas." Ucapku disela tangis. Mas Reyhan tidak mengatakan apa pun, dia hanya semakin mengeratkan pelukannya dan mengelus lembut rambutku. Laki-laki ini selalu tau persis apa yang aku butuhkan.
Setelah aku mulai tenang, Mas Reyhan sedikit menjauhkan tubuh kami, tapi tangannya tetap bertengger dibahuku, membantu menjaga keseimbangan tubuhku yang sudah tidak bertenaga.
"Kamu mau pulang, atau di sini aja? Kalau kamu pulang, biar aku yang jaga di sini." Ujarnya lembut. Aku menatap dalam manik matanya yang tampak jelas memancarkan ketulusan.
Tangannya naik ke atas, menghapus sisa air mata yang mungkin begitu mengerikan diwajahku.
"Gimana?" tanyanya lagi.
Susah payah aku menggerakkan kedua sudut bibirku, berusaha menampakkan senyum di hadapan laki-laki baik hati yang begitu tulus mencintaiku.
"Aku di sini aja, Mas. Kamu pulang, ya." Jawabku. Aku baru sadar bahwa dia sedang dalam perjalanan kembali dari luar kota saat aku menelponnya tadi. Dia pasti belum sempat istirahat. Melihat dari penampilannya, dia pasti langsung kemari begitu mendengar kabar dariku.
"Aku nemenin kamu aja, ya. Biar kalau butuh apa-apa kamu nggak repot sendirian." Ujarnya penuh pengertian. Membuat hatiku semakin tidak karuan.
Dia sebaik ini kepadaku. Dia adalah laki-laki sempurna yang patut mendapatkan cinta dari wanita terbaik di dunia. Bukan malah bersamaku, perempuan tidak tau diri yang tidak bisa membalas perasaan kekasihnya sendiri.
Aku tau sudah keterlaluan. Aku selalu berlari ke arahnya saat masalah datang menerjangku. Aku selalu mencarinya saat dunia sedang berlaku tidak adil padaku. Bodohnya, namanya bahkan tidak pernah muncul saat aku sedang merancang masa depanku.
"Mas harus istirahat. Pasti capek banget baru balik langsung mampir ke sini. Pulang aja, ya. Aku janji bakalan gangguin kamu kalau butuh apa-apa nanti." Ujarku. Berusaha tampak setegar mungkin agar tidak membuatnya khawatir.
Bagaimana pun, dia butuh istirahat. Dia butuh jeda untuk mengurus dunianya. Dia tidak harus selalu bertanggung jawab atas masalah yang menimpaku. Dia punya hidup sendiri, dan aku tidak ingin egois dengan selalu menahannya di sini.
"Oke, aku pulang. Tapi jangan mikir macem-macem. Kamu harus nenangin pikiran biar nggak mikir kemana-mana. Okay?" balasnya sambil mengacak pelan rambutku. Ya, dia selalu tau jika sedang terjadi peperangan dalam otakku.
Aku tersenyum tipis, menarik tangannya dari kepalaku, lalu membawanya kedepan bibirku. Aku mencium punggung tangannya seperti yang biasa kami lakukan. Bedanya, aku melakukannya dengan khidmat kali ini, batinku berteriak, berharap bahwa apa pun yang terjadi nanti, laki-laki ini akan selalu bahagia meski tidak berakhir bersamaku.
Tangannya yang lain lagi-lagi mengelus lembut kepalaku, membiarkan aku tenggelam dalam pikiran liar yang sedang menguasai diriku.
Setelah ritual itu selesai, aku mendongakkan kepala, mendapati dia sedang tersenyum sendu, entah kenapa aku menemukan binar sakit di matanya.
Lalu tanpa aba-aba, dia kembali menarikku dalam pelukannya. Tidak lama, karena beberapa detik setelahnya, dia langsung melepaskan pelukan kami berdua, mengecup singkat puncak kepalaku, lalu berlalu meninggalkanku.
Aku ingin memanggilnya, bertanya apakah dia tau apa yang sedang mengganggu pikiranku. Tapi aku tidak sanggup, takut kalau dia memang mengerti bahwa kehadiran Revan hari ini sedikit menggoyahkan keputusan yang kubuat untuk tetap bersamanya.
***
Setelah benar-benar sudah bisa mengendalikan diri, aku memilih pergi ke ruang perawatan ibu. Berharap menemukan sesuatu yang bisa sedikit mengangkat beban berat setelah melihat kondisi ayah juga tanpa sengaja menyakiti hati Mas Reyhan.
Aku menghela napas dalam sebelum membuka pintu, memantapkan diri untuk tetap kuat apa pun yang akan kuhadapi nanti.
Jika boleh memilih, aku akan membuat pilihan yang sedikit jahat, aku ingin ibu masih tertidur karena pengaruh obat yang dokter berikan.
Aku ingin memeluknya, aku ingin menangis dalam dekapannya. Dan aku tidak akan mendapatkan itu jika ibu sedang membuka mata.
Tuhan, bisakah kali ini aku meminta hal itu? biarkan ibu tidur sedikit lebih lama, agar aku benar-benar bisa memeluknya.
Aku mendongakkan kepala, berusaha menghalau air mata yang lagi-lagi ingin tumpah. Setelah satu tarikan napas dalam, aku memantapkan hati untuk memutar handle pintu di depanku.
"Tolong maafkan Indira, Bu. Dia sudah menanggung beban berat selama ini. Saya tau ibu kecewa, tapi seperti yang kita tau, dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan. Dan kita juga sudah sama-sama tau kenapa Indira berbuat demikian."
Aku terpaku mendengar kalimat-kalimat itu. Siapa yang sedang berbicara dengan Ibu?
"Hidupnya sudah hancur setelah memutuskan untuk mengecewakan Ibu, dan kepergian Hana ke asrama itu membuat dia semakin merasa gagal. Bodohnya, saya menambahkan luka dihatinya dengan pergi meninggalkan dia dengan cara yang tidak baik."
Kalimat itu membuatku terlempar ke masa lalu. Masa-masa di mana aku begitu bodoh dalam mengambil keputusan.
Saat itu, aku mengira bahwa setelah kepergianku, ayah dan ibu akan membuat Hana tetap berada dekat dengan mereka. Membiarkan adikku sekolah di daerah yang tak jauh dari rumah.
Sayangnya, kepergianku malah membuat semua orang murka, dan Hanalah yang harus menanggung akibatnya. Dia bahkan tidak boleh pulang selama berbulan-bulan karena ibu tau akulah yang akan tersiksa jika Hana tidak merasa nyaman di tempat barunya.
Saat aku datang ke asrama tempat Hana tinggal, dia selalu menghindar, tidak pernah sekalipun menampakkan wajahnya di hadapanku. Dia juga marah kepadaku, kecewa dengan perbuatanku yang malah berimbas kepadanya.
Aku tidak pernah menceritakan itu kepada siapa pun, bahkan kepada Revan. Tapi sekarang, di dalam sana, dia sedang menjelaskan apa yang bahkan tidak pernah mampu bibirku ungkapkan, mengadukan beban yang kupendam dalam-dalam.
Seperti yang aku bilang, tidak ada yang bisa mataku sembunyikan dari penglihatan laki-laki itu. Sama dengan Mas Reyhan, dia selalu mengerti apa yang sedang membebani pikiranku.
Karena tidak ingin menambah kemelut yang sedang menerjang, aku memutuskan untuk pergi. Mencari tempat lain untuk bersembunyi.
Sayangnya, sebelum aku kembali menutup pintu yang kubuka diam-diam, suara tanpa nada dari ibu menginterupsi. Membuatku kaget setengah mati.
"Masuk, Ra!"
***
Bersambuuung..
![](https://img.wattpad.com/cover/251624444-288-k189226.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...