Indira
"Indira," Suara ini, betapa aku merindukan suara ini. Tuhan, kenapa kau baru mengabulkan permintaanku setelah sekian lama aku berhenti berharap? dan kenapa setelah sekian lama, kehadirannya masih menimbulkan desir dihatiku?
Tidak, dia hanya orang asing saat ini. Dia bukan lagi Revano kekasihku, dia bukan lagi orang yang kehadirannya harus kusambut dengan bahagia. Ya, meskipun tidak bisa kuelak, kehadirannya di hadapanku, mengobati rindu yang sekian lama berusaha kutolak keberadaannya.
Setelah bisa menguasai diri, akhirnya aku bisa mengeluarkan suara. "Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Ra, apa kabar? kamu ke mana aja selama ini?" tangannya terulur untuk menyentuh pundakku. Tapi secepat mungkin aku mundur. Siapa dia memangnya? datang-datang mau langsung pegang-pegang.
Dia mematung melihat reaksiku. Tentu saja aku akan mundur, dia kira aku akan bagaimana? berlari memeluknya? atau sebaiknya aku maju saja untuk menampar wajah tampannya? Ah, itu ide bagus sepertinya.
Setelah sekian lama tidak berumpa, banyak rasa yang muncul di pertemuan ini. Selain hatiku yang tiba-tiba jadi mellow, rasa kesal dan marah juga mendominasi hatiku. Setelah apa yang dilakukannya dulu, aku berhak marah, bukan? atau jangan-jangan, di sini aku yang salah?
"Ra-" Suaranya terpotong dengan gelegar suara yang entah berasal dari mana.
"Dira, cepat kesini, kasir lagi rame." Baru kali ini aku bersyukur mendengar nada otoriter dari bu Anisa. Terima kasih sudah menyelamatkanku dari situasi ini, Bu.
Aku segera beranjak, melewatinya begitu saja. Membawa detak jantung yang kian bertalu. Aku belum siap bertemu dengannya. Mungkin, tidak akan pernah siap. Aku tidak ingin tembok yang kubangun susah payah, runtuh begitu saja akibat pertemuan ini.
Baru satu langkah di belakangnya, pergelangan tanganku dicekal oleh laki-laki itu. Kepalaku refleks menoleh, mendapati dirinya yang sudah sepenuhnya menghadap ke arahku.
"Ra, kita harus bicara!"
Tiba-tiba kemarahan menguasaiku.
Bicara? setelah 5 tahun lalu, pergi begitu saja tanpa menghiraukan tangisanku, setelah membuat suram hari-hariku dengan kata-kata tajam yang dihadiahkan kepadaku. Sekarang dia mengajakku bicara? memangnya apa yang perlu dibicarakan?
Tanpa menoleh untuk melihat keadaan sekitar, tanganku melayang begitu saja menuju pipinya. Kepalanya terlempar ke samping setelah menerima hadiah dariku. Itu penyambutan yang tepat untuk mantan, bukan?
Tangannya yang sedari tadi menahan pergelangan tanganku terlepas begitu saja, beralih memegang pipinya yang tampak memerah.
Melihat wajah piasnya, aku mendadak merasa bersalah. Apakah aku begitu kejam ? kenapa dengan berani aku menampar seorang pria? Tadi aku sangat marah, dan tanganku seperti bergerak dengan sendirinya. Tapi itu tidak menjadi alasan aku boleh menampar orang sembarangan, kan ? Apalagi dari penampilannya, tampak sekali bahwa orang yang baru saja kutampar adalah seorang executive muda.
Ya ampun, ini di tempat kerja, bagaimana kalau ada yang melihat apa yang kulakukan tadi? atau yang lebih parahnya, bagaimana kalau ada merekam kejadian itu dan aku jadi viral? Tidak, tidak. Aku segera menoleh kanan kiri, melihat situasi di sekitar. Syukurlah, ternyata area ini sedang sepi.
Dia masih diam, tangannya sudah tidak memegang pipinya yang tadi kutampar. "Maaf!" Setelah mengucapkan kata itu, aku berlalu meninggalkannya. Menuju arah meja kasir dengan perasaan tak menentu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...