33. Selamat Tinggal Masa Lalu

3.7K 291 0
                                    

Revan

Sudah hampir setengah jam, tapi kami sama sekali belum mulai berbicara. Indira yang mencetuskan pertemuan ini justru lebih memilih menikmati makanannya, walaupun jika dilihat dari matanya, terlihat jelas dia hanya sedang menyalurkan kegelisahan.

Melihatnya begitu membuatku semakin takut, kira-kira apa yang akan gadis itu bicarakan?

Tadi, di kamar rawat Pak Handi, kami juga tidak banyak bicara, Indira yang memang belum sepenuhnya diterima kembali dalam keluarganya sendiri hanya berbincang sedikit mengenai kondisi ayahnya.

Sisanya hanya obrolan ringan antara aku dan Bu Rima yang sesekali ditimpali ayah Indira. Satu jam kemudian, saat kami berpamitan untuk pulang, Bu Rima sempat mencegatku, mengucapkan selamat karena tampaknya usahaku sudah mulai membuahkan hasil.

Tapi aku sama sekali tidak bisa menanggapi dengan baik, sebab pikiranku sudah diisi penuh dengan ketakutan-ketakutan tentang apapun yang akan Indira sampaikan.

Dan rupanya kegelisahan itu berumur panjang, sebab sampai sekarang, saat kita sudah duduk di salah satu kafe dekat rumah sakit, Indira belum juga mengutarakan apa yang ingin dia bicarakan.

Aku berdehem agak keras, mulai tidak tahan dengan keheningan ini. "Aku boleh ngomong duluan?"

Dia terperanjat kaget, lalu matanya mengerjap berulangkali, mungkin sejak tadi pikirannya juga sedang melayang tak tentu arah. "Kamu.. ada yang mau diomongin juga?"

Aku terkekeh mendengar responnya, perpaduan antara tidak menyangka dan sedikit sakit hati. Dia kira aku sudah menyerah selama ini?

Jelas akan ada banyak sekali yang ingin kuungkapkan demi menarik dia kepelukanku lagi. Dan aku selalu menunggu waktu yang tepat untuk itu. "Kamu jelas tau ada banyak yang ingin kubicarakan, Ra."

"Oh.. oke, go on." Ujarnya setelah tampak berpikir beberapa saat.

Aku menghela napas panjang, "Aku harus mulai dari mana, Ra? Minta maaf lagi?" Mataku memaku matanya. "Oke, then, i'am really really sorry, buat semua yang terjadi di hidupmu karena aku, buat apa pun yang udah aku katakan malam itu. Sumpah demi apa pun, aku nyesel setengah mati setelah ngucapin kata-kata sialan itu.

Kamu tau, Ra, waktu itu rasanya aku nggak punya muka lagi buat lihat wajah kamu, aku bahkan nggak berani natap mata kamu, makanya aku pikir, break adalah keputusan terbaik waktu itu, biar aku, dan kamu juga, punya waktu buat nenangin diri. Biar aku bisa membangun rasa percaya diri buat ngomong sama kamu lagi. Tapi sebenarnya, jauh di lubuk hatiku, aku tau itu cuma alesanku aja. Karena kenyataannya.. aku ketakutan waktu itu, aku takut kamu marah dan ninggalin aku,"

"Jadi kamu lebih milih ninggalin aku duluan?" Suara serak Indira menginterupsi, wajahnya merah menahan tangis, membuat mataku semakin panas.

Aku buru-buru menggeleng, "Enggak, Ra.. nggak ada sedikitpun pikiranku buat ninggalin kamu. Malam itu kita sama-sama emosi, kamu yang dari awal menganggap semua kesialan dalam hidupmu adalah salahku, dan aku yang egois karena nggak mau disalahin. Kita sama-sama panas malam itu, Ra.. kalau kita terusin, bukan nggak mungkin kamu bakalan semakin marah dan ngucapin kata putus. Aku nggak mau denger itu! Aku nggak mau pisah sama kamu, jadi aku memilih buat pergi secepatnya."

Indira menyela lagi, "Tapi nggak perlu ada kata break, kan?"

Aku mengangguk cepat, menyetujui ucapannya, "Itu adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan, Ra. Harusnya waktu itu aku langsung pergi. Harusnya aku nggak perlu turun dari mobil dan ngucapin kalimat sialan itu." Aku mendongak, mencegah air keluar dari mataku. "Harusnya--"

"Rev!" Indira menyentuh tanganku, pipinya basah. Dengan refleks tanganku mengusap air matanya, "Jangan nangis.." Ya Tuhan, sakit banget rasanya.

Dia menggeleng, meraih tanganku yang masih bertengger di pipinya. "Ayo kita lupakan semua itu." Indira menggenggam erat tanganku, matanya menatap dalam padaku, "ayo kita saling memaafkan dengan menutup kenangan buruk itu."

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang