27. Hati

3.4K 246 1
                                    


Mengorek informasi dari Mas Reyhan yang sedang dalam mode jail adalah hal paling menyusahkan, sebab aku akan sering tarik urat sementara dia hanya akan menanggapi dengan gurauan yang kelewat garing.

Tapi akhirnya aku berhasil mendapat informasi maha tidak penting yang sayangnya sangat ingin kuketahui, tentang bagaimana tiba-tiba aku bisa ada di rumahnya, kenapa dia ada di sini bersamaku dan bukannya di sekolah, juga bagaimana dia dan Revan bisa kelihatan sangat akrab.

Katanya, Dia baru sampai sekolah saat Reyhan menelpon, menggunakan handphone ku tentu saja, dia mengabari kalau aku pingsan di rumah sakit, jadi tanpa mempertimbangkan apa pun, dia segera kembali karena kelewat khawatir dengan kondisiku.

Alasan kenapa dia memilih membawaku pulang ke rumahnya dari pada membiarkanku istirahat di rumah sakit adalah demi kebaikanku, katanya aku tidak akan bisa istirahat dengan baik kalau tetap ada di sana, pikiranku pasti akan terbelah kemana-mana dan menghambat pemulihanku. Dan katanya lagi, ini adalah ide Revan, dia bilang aku butuh menjauh sejenak dari laki-laki itu, demi menjernihkan pikiranku.

Aku sempat terkejut mendengar hal itu, tapi, kupikir-pikir lagi, bajingan satu itu memang pantas merasa begitu, kalau tidak, berarti dia benar-benar sudah tidak memiliki hati.

Tentang bagaimana Mas Reyhan bisa terlihat begitu akrab dengan Revan, aku belum tau jawabannya. Saat kutanya, dia hanya tertawa renyah sambil berkata, "kamu juga harus berdamai dengan mantanmu itu, seperti aku."

Tadinya, aku hanya melengos jengah, enggan menanggapi saran tidak masuk akalnya. Sampai kemudian dia memelukku dan berbisik pelan di telingaku, "kamu harus berdamai dengan masa lalu, Ra. Jangan hanya karena satu kesalahan, kamu jadi menutup pintu rapat-rapat, sampai kamu sendiri kesusahan untuk keluar dari belenggu, dan kesulitan menemukan kebahagiaanmu."

Kata-kata itu terus berputar di kepalaku sampai mobil Mas Reyhan berlalu dari hadapanku. Laki-laki itu pergi setelah memastikan aku baik-baik saja dan bisa ditinggal sendiri di rumah sakit. Tadinya dia akan menemaniku berjaga di sini malam ini, tapi tiba-tiba Bu Anisa menelpon, meminta Mas Reyhan untuk pulang karena ada keperluan yang aku tidak tau apa itu.

Jadi, ya, aku sendiri lagi. Tidak sepenuhnya sendiri sebenarnya, karena seperti semalam, Revan juga akan tetap ada di sini malam ini. Dia sudah bilang begitu pada Mas Reyhan sejak memintanya membawaku pulang ke rumah. Dia juga yang berjaga di sini selagi aku menikmati healing singkat di rumah kekasihku tadi.

Kalau dipikir-pikir, Revan memang selalu sepengertian itu.

***

Revan sedang duduk di depan ruang rawat ibu saat aku sampai di sana. Duduk manis dengan mata lurus ke depan. Melihat dari pakaiannya, sepertinya dia sudah mandi atau sekedar ganti baju, penampilannya juga sudah lebih rapi dari tadi pagi.

Saat ini dia mengenakan kaos pendek berwarna putih dan celana jeans abu-abu panjang, ada jaket hitam yang dia letakkan di sandaran kursi. Sangat Revan sekali. Dari dulu, dia selalu nyaman dengan penampilan itu. Sama sepertiku, sejak dulu kemampuan fashionku tidak pernah berkembang, aku masih tetap nyaman dengan celana panjang yang agak longgar atau rok selutut yang selalu kupadukan dengan kaos-kaos pendek. Bedanya, aku begini karena terdesak ekonomi, sedangkan dia, meskipun sederhana begitu, uang puluhan juta pasti akan habis hanya untuk satu outfit saja.

Ah, kenapa jadi bahas masalah outfit, sih? Tapi aku juga bingung harus melakukan apa lagi. Apa aku harus menyapanya sebelum masuk ke ruangan ibu? Atau langsung lewat saja dan pura-pura tidak tahu?

Sial, kenapa jadi canggung begini? Kemana perginya kemarahanku tadi pagi?

"Hei, you okay?" Aku berjingkat kaget mendengar suara itu. Mataku refleks mencari Revan yang sudah tidak ada di tempat semula, dia sudah berdiri beberapa langkah di hadapanku.

Karena bingung harus bagaimana, aku hanya menganggukkan kepala beberapa kali sebagai jawaban dari pertanyaannya. Lalu hening, dia tidak lagi mengajukan pertanyaan, dan aku bingung bagaimana membuka pembicaraan. Untuk sesaat hanya mata kami yang saling beradu, tanpa ada satupun yang berusaha mengalihkan pandangan, termasuk aku.

Sumpah, kalau boleh memilih, aku akan memanggil amarah yang menguasaiku tadi pagi. Berdua dengan Revan dalam suasana canggung begini rasanya sangat aneh. Biasanya dia selalu menemukan cara untuk memancingku berbicara, meskipun harus dengan perang emosi.

"Ibu baru istirahat, kata dokter, kalau kondisi beliau terus membaik begini, dua atau tiga hari lagi ibu udah boleh pulang. Ayah juga stabil, kita hanya tinggal menunggu beliau sadar." Itu adalah kalimat yang telingaku tangkap, diucapkan dengan ringan dan tenang, tapi entah kenapa, mataku menemukan hal lain, matanya seolah ingin mengatakan sesuatu yang lain, bukan tentang kondisi ibu atau keadaan ayah, tapi tentang hubungan kita berdua, dan sumpah demi apa pun, aku ingin membicarakan hal itu juga.

"Makasih, Rev. Kamu pulang aja, biar aku yang jagain ibu sama ayah." Tapi lagi-lagi mulutku berkhianat, enggan menyuarakan apa yang ingin hatiku katakan.

Dia tersenyum, "kalau kamu nggak nyaman ada aku, biar aku nyari tempat lain. Tapi aku bakalan tetap ada di sekitar sini, jadi kalau ada apa-apa, tolong telpon aku, ya." Katanya sambil berjalan ke arahku, sesaat ku kira dia akan berhenti, ternyata Revan hanya menepuk singkat bahuku dan benar-benar berlalu meninggalkanku.

Dan lagi-lagi, Si bodoh ini hanya terdiam kaku di koridor rumah sakit dengan keheningan yang membeku.

***

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang