Indira
"Kamu yakin?" Itu adalah kalimat pertamanya setelah beberapa saat kami saling diam, diucapkan dengan sangat pelan.
"Kamu yakin sama Reyhan?" Sebelum aku menanyakan maksudnya, dia sudah lebih dahulu memperjelas ucapannya.
"Dia baik, dia juga selalu ada selama ini. Sama sekali nggak sulit buat yakin sama mas Reyhan," terangku apa adanya.
Melihat wajah pias Revan, jujur saja aku tidak rela. Entah untuk apa rasa itu, tapi yang jelas, setelah semua yang sudah kukatakan dan setelah melihat ekspresi kalahnya, rasa puas dan ikhlas yang kucari justru tidak kutemukan.
Aku malah ingin berlari dan memeluknya, mengatakan bahwa kita baik-baik saja.
Tapi aku tidak bisa. Aku harus berhenti menjadi perempuan labil yang menggantung dua hati sekaligus. Mereka berhak menemukan kejelasan, mereka berhak bahagia. Dengan, dan tanpa aku.
Jadi, seperti niat awalku, aku harus menutup buku dengan Revan, memberikan batasan yang jelas tentang hubungan kami. Agar aku bisa berdiri dengan yakin dan sepenuhnya membuka hati untuk mas Reyhan.
"Do you love him?" Hanya satu kalimat, tapi hampir membuat niat yang kukira sudah cukup kokoh, hancur berserakan begitu saja.
Pertanyaan yang dilempar dengan nada enggan itu membuatku ragu lagi, bingung lagi, dan tidak lagi ingin pergi.
Aku membuang napas kasar, "Itu bukan urusanmu, kan?" Kami saling menatap, "Aku cuma mau kita melupakan hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu, dan bersikap seperti selayaknya teman lama."
"Hal-hal buruk?" Selanya. "Tiga tahun kita pacaran dan kamu minta aku buat menganggap itu semua sebagai hal buruk yang harus dilupakan?" Dia menatapku tidak percaya, matanya masih merah, seperti menahan air mata.
"Bukan itu maksudku," aku bingung harus bagaimana menjelaskan, mulutku terbuka tapi sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. "Kamu.. kamu pasti ngerti," akhirnya hanya itu yang mampu kuucapkan.
Dia mengangguk, "Sorry, aku nggak maksud marah sama kamu."
"Tapi aku nggak bisa, Ra. Aku nggak bisa hanya berteman sama kamu." Dia menatapku lagi, kali ini lebih dalam, membuatku kesulitan bernapas dengan benar. "Jadi.. kalau menurutmu kita nggak bisa sama-sama lagi, aku akan pergi dari sini." Aku kesulitan menelan ludah. Apa maksudnya?
"Harusnya aku ikut senang kalau kamu senang, kan? Nyatanya aku nggak sekuat itu. Tetap di sini dan melihat kamu bahagia sama orang lain itu nyakitin." Dia menarik tanganku, menggenggam dengan kedua tangannya.
"Selamat tinggal, Ra. Semoga bahagia dengan pilihanmu." Ujarnya sebelum mencium tanganku dalam, lalu buru-buru berdiri dan berlalu dari sini. Meninggalkan aku yang masih terpaku, belum mampu meresapi kenyataan.
****
"Hei, tumben ngajak ketemu di luar?"
Aku masih ada di tempat yang sama, di kafe dekat rumah sakit. Bedanya, sekarang Mas Reyhan yang ada di hadapanku. Tampak santai dan tampan, seperti biasa.
"Kalau nggak gini kayaknya kita nggak bakal ketemu," keluhku. Mungkin, sudah saatnya aku bersikap seperti kekasih pada umumnya.
Dia terkekeh, "Tumben banget!"
Laki-laki dengan kaos rajut panjang berwarna hijau putih itu kemudian menatapku serius, "Are you okay?"
Aku buru-buru mengangguk, membuang kesempatan bagi hatiku sendiri untuk merasa mellow. Yang kulakukan sudah benar, aku nggak boleh menyesali apa pun.
Satu jam setelah kepergian Revan, setelah aku benar-benar puas meratapi nasib dan memantapkan pilihan, tiba-tiba aku kangen Mas Reyhan, jadi aku mencoba menghubunginya. Dan seperti yang kalian lihat, dia sudah berada di sini.
"Kamu.. masih mau ketemu bapak ibuku nggak, Mas?"
Sebelum menjadi sesibuk ini, Mas Reyhan selalu bertanya apa dia boleh menjenguk orang tuaku, tapi dengan kejam aku melarangnya. Mengarang seribu satu alasan untuk membuat laki-laki itu mengurungkan niatnya. Dan Mas Reyhan tidak pernah mendebat, selalu mengikuti apa saja mauku.
Sekarang, mungkin aku sudah tau apa yang kumau. Aku ingin dia bertemu ibu dan ayah, membuktikan sendiri sebaik apa kualitas dirinya.
Tapi kemudian aku melihat keraguan di matanya. Dia belum menjawab, tapi binar kaget dan ragu begitu jelas terpancar di kedua netra hitamnya.
"Aku.." dia seperti kebingungan, mulutnya terus bergerak tapi tidak ada suara yang dia keluarkan. "Aku-"
"Kalau kamu nggak bisa nggak apa kok, Mas. Aku nggak maksa, cuma nanya aja." Sahutku, mencoba menenangkan dia.
Dia lalu tersenyum kaku, tangannya menggapai tanganku, menggenggam erat seperti yang tadi Revan lakukan.
Astaga, Ra! Mikir apaan, sih?
"Makasih, ya." Ujarnya kemudian, tanpa kutau untuk apa ucapan terima kasih itu.
"Kamu mau balik ke rumah sakit, atau pulang aja?" Dia mulai mengubah topik pembicaraan.
"Pulang kayaknya, tadi habis dari sana." Terangku.
"Ke toko?" Tanyanya lagi.
"Enggak, aku minta Kinan ngisi shift-ku hari ini."
Dia tersenyum sedih, "Capek banget pasti. Sorry ya.. akhir-akhir ini nggak bisa nemenin," sesalnya.
Aku buru-buru menggeleng, "Hei, it's okay. Bukan salahmu. Kamu kan juga punya kesibukan, Mas."
Mas Reyhan menatapku lama, tangannya masih menggenggam tanganku. "Aku tau kamu habis nangis, aku nggak nanya biar kamu nggak sedih lagi. Tapi aku tetap mau bilang, kalau kamu butuh tempat cerita, kamu harus ingat kalau aku akan selalu ada."
Aku menelan ludah, mataku lagi-lagi menghangat.
Gimana aku bisa cerita kalau aku baru saja nangisin cowok lain. Gimana, Mas?
***
Terima kasih sudah mampiir :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...