"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano
"Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira
****
Antara cinta dan cita...
Ternyata asal ada target semua bisa dicapai, ya! Hehe, thankyouuuu.
Selamat menikmati <3
****
Indira
"Kenapa dulu pas di rumah sakit ibu minta aku balik sama Revan?"
Aku sedang duduk di depan cermin, sedangkan ibu berdiri di belakangku, menyisir rambut panjang bergelombang milikku.
"Karena ibu pikir dia adalah jodoh kamu?" Ibu balik bertanya dengan nada bercanda.
Aku tersenyum menanggapinya. "Dan kenapa ibu bisa punya pikiran begitu?"
Ibu menatap menatap cermin, tepat di mataku. "Feeling seorang ibu?"
Wanita dengan rambut di sanggul itu kemudian tersenyum lebar, membalas senyumku. "Ibu tau harusnya nggak mendesak kamu waktu itu. Dan lagi pula ibu juga tidak serius melakukannya. Apa pun pilihan kamu, ibu pasti dukung. Ibu hanya kesal karena kamu seperti menjaga jarak dan menganggap ibu penjahat. Jadi.. ibu berpikir untuk sekalian saja membuat kamu semakin takut sama ibu."
Itu fakta baru. Dan entah kenapa, aku justru merasa lucu dan tertawa keras, ibu mengusap rambutku lembut sebelum turut bergabung menertawakan masa-masa kelam itu.
Aku berbalik menyerukkan kepala di perut ibu. "Maafkan semua kesalahan Rara ya Bu. Maaf karena sudah berburuk sangka dan sempat membenci sikap ibu." Aku berseru lirih.
Ibu lalu mengangkat daguku, membuat aku menatapnya. "Semua sudah selesai kan, Ra. Kita sudah berhasil mengatasi kesalahpahaman dan memutuskan untuk mengubur masa lalu. Jadi, tolong jangan pikirkan apapun. Selama kamu bahagia, ibu juga pasti akan sangat bahagia." Tangan ibu yang mulai memiliki gurat-gurat keriput mengusap pipiku lembut, membersihkan air mata yang mulai mengalir di sana.
"Jangan nangis, dong, Sayang. Ibu kan sudah capek-capek dandanin kamu. Masa mau di ulang lagi?" Candanya.
Aku tertawa sambil menyusut air mata, lalu berdiri dan memeluk wanita di hadapanku. "Terima kasih, Bu. Rara sayang Ibu."
"Ibu tau. Tapi jelas nggak sebesar sayang kamu sama calon suamimu itu, kan?" Godanya.
Kami tertawa dengan perasaan haru dan bahagia bercampur jadi satu. Dan aku nggak bisa berhenti mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadaku.
Terima kasih untuk pelajaran hidup yang begitu berharga. Terima kasih sudah memberiku kesempatan kedua. Terima kasih, karena di antara jutaan laki-laki, takdir memilih dia untuk mendampingiku selamanya.
****
Revan
Satu tahun yang berat, tapi juga sangat berkesan berlalu dengan cepat.
Setelah hari di mana aku dan Indira sepakat untuk memulai semuanya dari awal, melakukan pendekatan ulang seperti pertama kali kenal, dan dengan semua usahaku untuk tetap bolak-balik Jakarta-Surabaya demi bisa melihat senyumnya hampir ditiap akhir pekan, akhirnya hari ini datang juga.
Hari di mana seluruh tubuhku seperti berguncang karena jantungku berdebar terlalu kencang. Tanganku bahkan gemetaran saat menjabat tangan laki-laki paruh baya yang mengenakan jas hitam sepaket dengan peci berwarna serupa.
Enggak, aku nggak takut. Aku hanya terlalu senang dan nggak menyangka akhirnya akan sampai di tahap ini.
Saat orang-orang di sekeliling menyerukan satu kata yang sama, saat tangan ayah Indira nggak lagi menjabat tanganku, saat Indira mengulurkan tangan untuk mencium tanganku, dan saat bibirku berlabuh di puncak kepalanya, akhirnya aku nggak bisa lagi menahan air mata.
She is officially my wife! God, aku nggak tau kebaikan apa yang sudah kulakukan, sampai diberikan hadiah seindah ini untuk menemaniku seumur hidup.
Aku bahkan masih nggak menyangka satu bulan lalu dia akan menerima lamaranku, dan sekarang dia justru berdiri di sampingku, menyalami ratusan tamu yang berbaris panjang di pelaminan bersamaku.
"Ini pelaminan, bukan jalan raya. Nggak usah gandengan terus kayak orang mau nyebrang gitu, deh!" Seseorang yang memiliki giliran untuk bersalaman dengan kami berseru heboh.
"Sirik aja, Jomblo!" Dengusku. Dia hanya memutar bola mata dan berjalan melewatiku begitu saja.
Aku sudah akan membiarkannya pergi saat melihat dia justru menghampiri Indira dan menariknya dalam pelukan panjang. "Happy wedding adek guee! Gue nggak tau apa yang bikin lo mau balik lagi sama cowok super bucin di sebelah, tapi selama lo bahagia, gue juga ikut bahagia."
"Woi! Ya jangan lama-lama juga dodol! Bini gue itu, bisa-bisanya lo tanpa rasa bersalah main peluk aja di depan suaminya." Omelku sembari menarik tubuh Andri agar melepaskan Indira.
"Posesif amat lo!" Celanya. Dia lalu menghadap Indira lagi. "Ra, kalau dia ngeselin gini mending tinggalin aja, gue selalu siap untuk jadi tempat pelarian lo."
"Heh! Amit-amit, ya! Turun sana, lo bikin macet antrean." Aku mengusirnya, dia menatapku sebal bercampur geli. Lalu berjalan meninggalkan pelaminan setelah mencuri pelukan singkat dari Indira sekali lagi.
Dasar sahabat laknat. Aku bahkan belum sempat memeluk Indira, tapi dia malah sudah melakukannya dua kali.
Indira tertawa melihat interaksi kami, membuatku mendapat kesempatan untuk menoleh ke arahnya yang sedari tadi sibuk menghindari tatapanku.
Apa aku sudah menjelaskan seberapa indahnya Indira hari ini?
Dia sangat cantik dengan kebaya sederhana berwarna putih, senada dengan pakaianku. Tanpa make up berlebihan atau aksesoris adat mana pun. Rambutnya di sanggul rapi, nggak terlalu tinggi ataupun besar. Semuanya dibuat sederhana dan nggak neko-neko, tapi sama sekali nggak membuat Indira kalah cantik dari pengantin mana pun di dunia. Dia justru kelihatan sangat menawan dengan caranya. Kalau boleh kukatakan, dia sempurna.
Aku menggenggam tangan Indira dan mengajaknya duduk saat melihat sudah nggak lagi ada antrean. Tangannya dingin, bahkan lebih dingin dari pada tadi. Wajahnya merona saat kubawa tangannya kebibirku, mencium lama di sana.
Kami saling bertatapan, tapi nggak ada kata yang mampu di ucapkan. Matanya berkaca-kaca, semoga karena sangat bahagia, seperti yang sedang kurasakan.
"You are so beautiful, Ra." Ujarku pelan.
Mata Indira bergerak mengalihkan pandangan, gestur khas yang sudah sangat ku hafal. Dia pasti sedang sangat gugup.
"Hei, i'm your husband now. Jangan malu-malu gitu. Look at me, please." Bujukku.
Dengan perlahan, bola matanya kembali bergerak, mencari mataku. Lalu seulas senyum terbit di bibirnya. Membuatku nggak bisa menahan senyum juga.
"I love you, wife." Bisikku.
Pipinya semakin tampak merona, mengalahkan pewarna yang ada di sana. Tapi kemudian bibirnya turut bergerak pelan.
"I love you, husband."
****
Huhu! Sampai juga kita diujung kisah ini. Sekali lagiii, terima kasih untuk kalian semua yang sudah baca, baik itu diam-diam ataupun terang-terangan, wkwk.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.