Aku nggak nyangka akhirnya akan berdiri di sini. Di sebuah gedung yang sudah di sulap dengan dekorasi super elegan, mengusung tema biru dan putih, warna kesukaanku.Sebuah panggung rendah di depan sana di hias dengan begitu teliti, dengan kursi lebar yang muat untuk dua orang tepat di tengah, di iringi dua kursi lainnya di samping kiri dan kanan. Di sana, tampak seperti tahta kerajaan jaman dahulu. Yang sekali lagi, sederhana tapi elegan.
Di setiap sudut ruangan, nama Mas Reyhan terpampang indah dan mewah. Menunjukkan bahwa ini adalah hari besarnya. Hari yang nantinya akan selalu terpatri dalam ingatan kami.
"Jangan nervous, Ra. Lo cantiiik banget sumpah!" Itu suara Kinan, yang dari tadi nggak berhenti berusaha membuatku tenang, pasalnya tubuhku nggak mau berhenti gemetaran.
Ini adalah hari besar. Hari yang akan mengubah seluruh hidupku di masa depan. Jadi, wajar kalau detak jantungku nggak mau berhenti berkejaran.
Satu langkah lagi, dan aku akan naik ke pelaminan. Amira yang berdiri di belakangku sedikit mendorongku untuk naik. Mungkin dia tau kalau kakiku tiba-tiba kaku.
Yang pertama harus ku hadapi adalah Bu Anisa, yang hari ini berdampingan dengan Kakak laki-lakinya, paman Mas Reyhan yang dulu menjadi orang pertama yang merestui hubungan kami.
"Bahagia selalu, Indira. Maaf karena sempat meragukan kamu. Sekarang saya tau kalau kamu wanita kuat, dan kamu pantas mendapatkan seluruh kebahagiaan di dunia ini."
Aku hampir nggak bisa menahan air mata saat Ibu Mas Reyhan berujar dengan begitu tulus, matanya yang biasa menatapku datar kini berembun, seperti turut merasakan degup jantungku.
Beralih kepada pria paruh baya dengan tubuh tinggi dan masih sangat gagah, laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa, hanya menarikku dalam pelukannya. "You doing great, Nak. Kamu akan selalu bahagia setelah semua ini." Om Indro, paman Mas Reyhan yang sudah menganggapku seperti anak sendiri berbisik di tengah pelukan kami.
Lalu pelukan itu terlepas, dan dia menatapku dengan penuh kasih sayang. Memberiku suntikan semangat dengan senyumnya. Bahuku di tepuk sebelum aku berjalan kearah kursi utama, mendapati Mas Reyhan yang sedang menatapku dengan senyum lebar di wajahnya.
Aku nggak bisa menahan diri, bibirku ikut tertarik di kedua sisi. Turut menampilkan senyum yang kuharap tidak menimbulkan bencana di hari bahagia ini.
Dia tampak sangat tampan, dengan baju adat berwarna biru muda dan celana senada, dia juga memakai blangkon bercorak batik di kepalanya. Sangat-sangat cocok dengan warna kulit dan bentuk wajahnya yang kokoh. Membuat Mas Reyhan terlihat seperti pangeran di jaman kerajaan.
"Hai, Mas. Akhirnya sah juga, ya." Kami saling bertatapan. "Ya, tulisan tangan takdir memang nggak pernah bisa di tebak." Jawabnya.
"Boleh peluk?"
Aku sudah hampir mengangguk, menanggapi permintaannya. Tapi, Mas Reyhan ternyata nggak sedang bertanya padaku. Dia.. meminta ijin pada seseorang di sebelahnya. Perempuan yang berdiri bersamanya di atas pelaminan.
Nana, Narindra Eka Gustina. Nama yang turut menemani tulisan Ardino Reyhan Saputra di tiap sudut ruangan. Nama yang juga telah di sebutnya di depan penghulu tadi siang.
Nana kelihatan mengangguk tenang, dan Mas Reyhan nggak menunggu waktu untuk menarikku dalam pelukan. "You deserve better, Ra. Kamu akan bahagia dengan siapa pun yang datang di hidupmu suatu hari nanti. Kamu.. akan bahagia." Suara Mas Reyhan terdengar serak, membuatku nggak bisa menahan diri untuk balas memeluk tubuhnya. "Apa pun yang terjadi ke depannya, jangan sungkan buat menghubungi aku, oke? Aku akan selalu jadi kakakmu, dan selamanya, kamu adalah adik kecilku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiction générale"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...