Indira
Aku tertegun mendapati Revan yang sedang duduk manis di kursi ruang tamu, dia tampak tampan dengan kemeja panjang berwarna biru, rambutnya ditarik rapi ke belakang, benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah seorang guru.
Mata teduhnya membiusku, membuatku tanpa sadar berjalan menghampirinya. Ah, siapa yang mau kubohongi, aku berjalan tentu saja dengan sadar. Entah dengan motif apa, yang jelas sekarang aku sudah duduk di hadapannya. Di antara kami hanya ada meja kecil berbentuk segi panjang.
"Are you okay?" tanyanya setelah beberapa saat hanya kami lewati dengan saling menatap.
"Tadinya iya, sekarang nggak lagi." Jawabku ketus.
Dia tersenyum tipis, tapi matanya tidak demikian. Entah kenapa aku menangkap pendar sakit di sana. "karena aku?"
"Bukannya jelas?" tanyaku balik.
Dia tersenyum lagi, dan binar sakit itu tampak semakin jelas. Aku tau sudah keterlaluan, tapi mulutku seperti tidak bisa dikendalikan.
"Sorry kalau gitu," katanya pelan, lalu hening, tidak ada yang membuka suara lagi.
Keheningan kami terpecah dengan kehadiran Kinan yang membawa masuk dua gelas white coffee dengan kepulan uap di atasnya, "Silahkan di minum, Pak!" ujarnya dengan mata berbinar menatap sosok tampan di hadapanku.
Reyhan tersenyum, lalu meminumnya. Kinan tersenyum lebar, kemudian berangsur mendekatiku, "lo nggak pernah bilang ada guru seganteng ini di sekolahan lo!" serunya ditelingaku.
Aku menjauhkan wajah, menatapnya dengan galak, Kinan semakin melebarkan senyumnya, matanya sekali lagi beralih pada objek yang pasti sangat disukai matanya.
"Saya permisi ke kamar, ya, Pak. Kalau butuh apa-apa langsung panggil Kinan aja." Aku memutar bola mata mendengar ucapan sok manis Kinan. Sedang Revan menanggapinya dengan senyum kalem, membuat cewek itu menjerit histeris sambil berlari meninggalkan ruang tamu.
Keadaan kembali hening sampai beberapa menit kemudian. Aku tidak tau harus berbicara apa, dan Revan tampak tidak akan memulai berbicara. Dia hanya menatapku tanpa sekali pun mengalihkan pandangan.
"Ngapain ke sini?" akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibirku.
Revan tersenyum, lalu berujar "kata Reyhan kamu sakit." Mataku membola mendengar jawabannya.
"Kamu nanya sama dia?" tanyaku cepat.
"Lebih dari nanya. Kami ngobrol banyak." Jawabnya tenang.
Dadaku langsung berdebar kencang, hal-hal buruk mulai menyerbu pikiran. Apa saja yang mereka bicarakan? Apa saja yang Revan katakan pada Mas Reyhan?
Yaaa.. aku tidak merasa menyembunyikan apa pun dari Mas Reyhan, hanya saja, membayangkan mereka berdua berbicara tentangku membuat hatiku was-was. Bagaimana kalau Revan mengarang sesuatu untuk menjatuhkanku?
"Kamu masih sama, selalu menyimpan pertanyaan di kepala. Padahal kalau kamu mau nanya, jawabannya bisa jadi nggak seburuk yang kamu kira." Perkataan Revan membuatku mendongak cepat menatap wajahnya. Dan kamu masih sama, selalu tau apa yang diam-diam aku pikirkan.
"Nggak usah sok tau, aku nggak mikirin apa-apa." Balasku, berbanding terbalik dengan apa yang ada di kepalaku.
"Terus kenapa panik banget gitu wajahnya," ujarnya sambil menunjuk wajahku.
Aku gelagapan, baru ingat kalau dia hafal betul berbagai ekspresi yang menyambangi raut mukaku.
"E—enggak, siapa yang panik." Jawabku ragu, menghindari tangannya yang masih mengarah kepadaku.
"Nggak panik tapi jadi gagap gitu," katanya dengan tersenyum jahil, telunjuknya semakin dekat dengan hidungku.
"Nggak usah resek deh, Rev!" Seruku keras, refleks menampik jarinya dengan kedua tangan.
Dia memundurkan tubuhnya, lalu tersenyum lebar, tampak senang dengan reaksiku. "Kangen banget sama suasana kayak gini." Ujarnya.
Aku jadi ingat, dia memang sering menggodaku seperti itu, dan entah kenapa, reaksiku persis seperti apa yang selalu kulakukan dulu.
"Pulang sana!" kataku, berusaha menghindari topik sensitif bertajuk masa lalu.
"Ngusir nih ceritanya?" dia bertanya dengan bibir yang masih menguarkan senyum seperti tadi, senyum yang jujur saja membuatku semakin terlempar dalam bayangan masa lalu.
"Jelas banget, kan?" tanyaku balik.
Dia tersenyum lagi, lalu berujar "kenapa? Takut flashback, ya?"
"Enggak, takut tambah muak. Nanti aku makin males berangkat ke sekolah." Jawabku, lagi-lagi tak sesuai dengan apa yang ada di pikiranku.
Senyum Revan hilang setelah aku berujar demikian, matanya menatapku dalam. Seolah mencari kebenaran dari apa yang aku ucapkan. Jadi aku balik menatapnya, berusaha menunjukkan bahwa yang kukatakan memang benar adanya.
Revan tersenyum kecut, lalu terdengar hela napas kasar dari bibirnya. "Aku mau ngomong dulu sebelum balik." Katanya kemudian.
Aku menaikkan alis mendapati keseriusan di wajahnya. Suasana dalam sekejap berubah menjadi tenang. Tenang yang tetap saja mendebarkan untukku.
"I love you, Ra. And always will be," Revan menjeda ucapannya, matanya memaku mataku, lalu tanpa ku sadari, tangannya menggapai milikku. Menggenggamnya erat.
"Tapi kalau perasaanku membebani kamu, aku bersedia mundur. Aku bersedia menjauh kalau memang hidupmu lebih baik tanpa aku," jeda lagi. Kami masih saling tatap, dan genggaman tangannya terasa semakin erat.
"Melihat kamu bahagia sama laki-laki lain benar-benar membuatku sakit hati. Tapi aku sadar, itu lebih baik dari pada melihat kamu sakit begini," Revan menghela napas dalam, seolah menghempaskan beban yang sejak lama dia tahan.
"Jadi, aku memutuskan untuk nggak ngejar kamu lagi. Aku memilih untuk melihatmu bahagia tanpa ikut campur sama sekali." Lanjutnya. Kemudian dia berdiri dengan tetap membawa tanganku dalam genggamannya. Membuatku refleks ikut melakukan hal yang sama.
"Aku pamit, jaga diri kamu baik-baik!" ujarnya lagi. Benar-benar tidak memberiku kesempatan untuk menanggapi ucapannya.
Dengan pelan, Revan melepaskan genggamannya. Lalu tangan itu beralih ke bahuku, mengelusnya lembut, membuatku kembali mendongak menatap matanya.
Kemudian, tanpa menunggu aku mengucapkan apa pun, dia berlalu begitu saja. Meninggalkan aku yang masih terpaku, meresapi rasa yang dia tinggalkan di bahu, juga di hatiku.
Jangan tanya apa yang aku rasakan! Karena aku juga tidak tau.
***
Bersambung..
Halo lagiii!!
Terima kasih sudah mampirrrrrr.. Terima kasih sudah vote..
Semoga betah, yaa <3
See you!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...