Revan
Keluargaku heboh saat aku pulang ke rumah Ravina dengan menggendong seorang gadis. Mereka semua yang kebetulan sedang berada di ruang tamu sontak berlari menghampiriku.
"Ya Allah, Revan. Kamu habis apain anak orang?!" Mama berseru dari kejauhan.
"Astaga, Indira! Ini Indira, Ma." Ravina yang pertama sampai di harapanku berseru kaget.
Aku nggak begitu memperhatikan pertanyaan yang mereka ajukan, karena yang aku inginkan adalah segera sampai di kamar dan memastikan Indira baik-baik saja.
"Ra, hei. Indira." Aku berulangkali menepuk pipinya setelah berhasil menidurkan dia di atas ranjangku.
"Ra, bangun dulu. Jangan begini.. Jangan bikin aku takut."
Aku nggak tau apa yang salah dengan Indira, tapi sejak dulu, fisiknya memang nggak terlalu kuat. Dia sangat mudah pingsan atau sekedar sakit kepala jika sedang banyak pikiran.
Aku nggak bisa membayangkan apa saja yang dia alami setelah aku pergi, karena baru beberapa kali kami bertemu lagi, dia bahkan sudah dua kali pingsan di hadapanku.
"Van, minum dulu ini. Biar mama sama Vina yang jagain Indira." Mama menepuk bahuku sambil mengangsurkan gelas minuman.
Mereka duduk di samping Indira, memintaku untuk nggak terlalu khawatir dan menjadikan suasana semakin panik.
"Ma--"
"Nak, kamu percaya sama mama, kan? Kamu diluar aja sama papa sama Mas mu. Kalau kamu di sini malah bikin panik kita jadinya." Mama memotong cepat, membuatku nggak bisa mengelak.
***
Aku nggak tau apa yang harusnya hatiku rasakan. Di satu sisi aku lega karena kehilangan satu-satunya pesaing, tapi di sisi lain, melihat Indira menangisi Reyhan sampai seperti itu membuatku pesimis bisa memiliki gadis itu lagi.
"Rev," suara nggak asing itu tiba-tiba terdengar.
Aku langsung kaget begitu melihat siapa yang sedang berjalan ke arahku. "Loh, Ra. Kok ke sini, sih? Udah enakan Emangnya?"
Aku datang menghampirinya, lalu membawa dia duduk di kursi samping kolam, tempatku melamun dari tadi.
"You okay? Kenapa malah kesini?"
Indira tersenyum tipis, tapi tidak mampu menutupi wajahnya yang pucat. "Sini, deh." Tangannya menarikku untuk ikut duduk di sebelahnya.
Dia menghadapku, "aku mau bilang makasih." Ujarnya. "Makasih karena udah nolongin aku tadi, makasih karena udah bawa aku kesini, dan makasih karena udah bikin aku ketemu sama mama kamu."
Aku terpaku, lebih terfokus menatap wajahnya yang masih begitu sembab. "Mama Reta cerita banyak, dia menyadarkan aku tentang banyak hal. Aku.. jadi lebih tenang sekarang."
Mama Reta. Betapa aku merindukan bibirnya menyerukan panggilan itu lagi.
Indira kelihatan berusaha sekuat tenaga untuk menarik kedua sisi bibirnya. Tapi matanya yang kosong sama sekali nggak bisa menipuku. Dia mungkin sudah lebih tenang, tapi hatinya nggak mungkin bisa langsung sembuh.
"Jangan gitu banget, dong, Rev, lihatnya. Aku nggak apa, kok. Sakit, sih. Tapi nanti juga sembuh sendiri. Jangan kasihan sama aku gitu." Indira berkata saat memergoki aku menatap dalam padanya.
"Ikut aku ke Jakarta yuk, Ra." Mulutku berujar tanpa berpikir.
Indira membeku, lalu tiba-tiba dia tertawa keras. "Astaga, Revan! Aku lagi patah hati bisa-bisanya kamu ajak ke Jakarta."
Aku ikut tersenyum. "Ya.. siapa tau kamu butuh healing."
Tawa Indira hilang, tapi enggak dengan senyumnya. "Aku emang gitu, ya, Rev? Suka lari dari masalah."
"Eh, Nggak gitu. Maksudku--"
"Enggak, aku tau, kok. Aku sadar banget kalau selama ini aku selalu kabur-kaburan pas lagi ada masalah. Aku milih ngehindarin masalah dari pada menghadapinya."
Indira menatapku, kali ini benar-benar fokus padaku. "Sekarang, aku mau menghadapi ini. Aku mau pulang. Minta maaf sama ayah dan ibu. Mencoba memperbaiki hubungan dengan mereka, dan berusaha jadi anak baik yang bisa nyenengin mereka."
"Mungkin.. aku harus mengambil jeda untuk sesuatu yang bernama cinta. Aku harus benar-benar sembuh dulu untuk bisa berpikir ke sana." Lanjutnya.
Tangan Indira menangkup tanganku. "Kalau kamu masih mau berjuang buat aku, tolong kasih aku waktu buat sembuh dulu, ta? Kalau memang kamu adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan mempersiapkan pertemuan terbaik untuk kita."
Bibirku kaku, banyak yang berkecamuk di kepala tapi nggak ada satupun yang bisa kuucapkan. "Sementara ini, jangan main ke rumahku, ya? Aku mau pulang, jadi aku pasti akan ada di sana. Tapi.. kalau suatu hari kita bertemu di tempat yang sama sekali nggak kita duga, aku akan anggap itu jalan Tuhan. Dan aku nggak akan mencoba mendorong kamu pergi lagi."
"Tapi kalau kita sama sekali nggak dipertemukan, artinya kita nggak ditakdirkan buat sama-sama."
Indira berdiri, membuatku refleks melakukan hal yang sama. Dia lalu memelukku erat, sedikit berjinjit untuk sampai ke telingaku. Lalu dia berbisik. "Good bye, Revan."
Kemudian dia berlalu. Sementara aku tetap diam di tempatku, sibuk mencerna keadaan.
Jadi.. aku harus menunggu lagi? Setelah satu tahun lebih kita nggak bertemu, akhirnya aku tetap harus melihatnya pergi?
****
Bersambuuuung
Terima kasih sudah mampiir :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiction générale"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...