32. Merelakan

3.5K 239 0
                                    

Indira

Memasak adalah hal yang paling tidak kusukai. Maksudnya, aku bisa masak, tapi entah kenapa sangat tidak suka melakukannya.

Sejak kecil aku senang membantu ibu di dapur, mulai dari mengupas bawang sampai menggoreng bumbu yang sudah ibu siapkan. Hal itu terus kulakukan sampai aku meninggalkan bangku SMA, sebelum dengan bodohnya aku memilih kuliah di Jakarta padahal sudah mengantongi kunci masuk gerbang universitas yang kuimpikan sejak lama.

Kebetulan kosku di Jakarta hanya menyediakan satu dapur untuk seluruh penghuninya. Jadi, karena malas mengantre, aku lebih memilih membeli jika ingin makan, toh makanan di daerah itu juga murah, tidak lebih mahal jika dibandingkan effort masak sendiri dan membeli bahan-bahannya.

Sejak saat itu masak bukan lagi bidangku, sampai kembali ke Surabaya dan tinggal di kontrakan ini bersama Kinan dan Amira, aku hampir tidak pernah menyentuh peralatan dapur, untuk memasak maksudnya, karena aku akan lebih memilih menjadi buruh cuci mereka dari pada harus masak. Se-anti itu aku dengan sesuatu yang harusnya jadi keahlian para wanita.

Aku tidak akan melakukannya jika tidak sangat dipaksa oleh keadaan, seperti sekarang ini, aku sedang berkutat dengan berbagai peralatan dapur karena request khusus dari ibu. Aku tidak mungkin dan tidak akan menolak permintaannya. Apalagi ibu bilang sudah lama tidak merasakan masakanku. Itu artinya ibu kangen dengan makanan buatan ku, kan?

Senyuman tidak bisa kutahan begitu pikiran itu muncul. Meskipun hubungan kami belum normal seperti dulu, setidaknya ibu tidak lagi bersikap ketus padaku.

Suara ketukan pintu membuatku terbangun dari angan, aku bergegas meninggalkan dapur bermaksud melihat siapa yang datang karena tau Amira tidak akan bangun dan dengan sukarela membuka pintu di jam sepagi ini jika sedang libur.

Tapi sepertinya aku salah, di ruang tengah aku berpapasan dengan gadis yang rambut sebahunya masih berantakan, berjalan lurus ke arah kamar dan langsung menutup pintu, sepertinya dia terbangun karena terganggu dengan suara ketukan itu.

Aku tetap melanjutkan langkah, penasaran siapa yang sudah mengganggu tidur Amira, mungkin kurir paket, atau tetangga sebelah yang..

"Revan?"

Yang kupanggil langsung berdiri tegak dan memandangku dengan.. sungkan? Astaga! Dia pasti baru saja mendapatkan ceramah gratis tentang pentingnya melihat jam saat akan bertamu dari Nyai Amira.

"Pagi, Ra." Sapanya canggung.

"Ngapain ke sini pagi-pagi?" Tanyaku sambil memintanya kembali duduk.

"Kan udah janji nganterin kamu ke rumah sakit tadi malem," jelasnya.

"Astaga, padahal nggak perlu repot-repot. Aku bisa sendiri. Ini juga masih pagi banget," aku berujar sambil melirik jam yang menempel di dinding ruang tamu, masih setengah tujuh.

Wajah Revan seketika berkerut tidak senang. Ah, laki-laki dengan egonya. "Nggak ngerepotin kok, Ra. Aku malah seneng kalau nggak diminta balik pulang lagi," cecarnya.

Aku merasakan kedua sisi bibirku tertarik. Ya! Aku tersenyum. Aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba melakukannya. "Ya udah, tunggu sebentar, ya. Masakannya udah jadi, tinggal packing aja." Kataku kemudian.

Saat akan meninggalkan laki-laki yang pagi ini mengenakan kaos coklat muda dengan jeans panjang itu di ruang tamu, lagi-lagi mulutku bergerak sendiri, "Kamu udah sarapan belum, Rev?"

Dia tampak kaget dengan ucapanku, begitu juga aku. Aku akan langsung kabur ke dapur dan pura-pura tidak pernah mengatakan apapun saat dia menjawab, "belum."

Berbekal kebaikan hati sekaligus rasa tidak enak karena sudah bertanya, akhirnya aku berbalik menghadapnya, "Mau sarapan di sini? Kebetulan aku masak banyak."

Dia sontak tersenyum lebar, "boleh?"

Aku langsung mengangguk kaku, sementara senyum di bibirnya semakin tidak terkontrol. Astagaaaa, bisa nggak sih, nggak usah tebar pesona begitu?

"Wah, mau dong! Udah lama juga nggak makan masakan kamu." Katanya antusias.

Sambil menahan debaran jantung yang bergerak tidak santai, aku berusaha berujar sebiasa mungkin, "Okay, aku ambilin dulu."

Kata siapa aku tidak pernah masak selama di Jakarta? Di satu tahun pertamaku hidup di kota itu, aku bahkan hampir tidak pernah absen mengacak-acak dapur mama- maksudku Tante Reta setiap hari Minggu.

***

Tidak banyak yang kami obrolkan semalam, setelah insiden Revan mendadak berbalik dan aku tidak sengaja menabraknya yang berakhir dengan adegan pelukan itu, kami langsung mencari outlet makan, dan makan dengan tenang.

Hanya sesekali kami bersuara, itupun dengan topik ringan tentang rasa nasi goreng yang kami makan sampai dengan kabar ayahnya di Jakarta.

Tidak ada satupun dari kami yang berusaha membahas masa lalu. Dan entah kenapa, aku tidak ingin merusak suasana semalam dengan obrolan tentang sesuatu yang mungkin sudah tidak penting lagi.

Tapi setelah kupikir-pikir, kita memang harus berbicara. Topik tentang masa lalu yang membuatku teramat membencinya itu sangat penting diangkat demi kedamaian hidup kami kedepannya.

Mungkin, setelah menyelesaikan hal-hal di masa lalu yang belum selesai itu, aku akan benar-benar bisa melupakannya. Merelakan dia pergi dari hatiku dan mulai menjalin hubungan dengan benar bersama Mas Reyhan.

Benar! Aku memang masih mencintai Revan. Setelah berjalan berdua dan ngobrol santai dengannya, aku tidak lagi bisa mengelak rasa itu. Aku seperti menemukan diriku di masa lalu yang hidup tanpa beban dan diperlakukan dengan begitu istimewa.

Bukannya Mas Reyhan tidak memperlakukanku begitu, hanya saja respon diri kita terhadap sesuatu yang kita sukai tentu saja akan berbeda, kan?

Tapi aku sadar ada hal-hal di dunia yang tidak bisa mendapat kesempatan ke dua. Bukan karena aku tidak bisa memaafkannya, tapi karena aku sudah punya seseorang yang harus kujaga hatinya.

Jadi mulai hari ini, aku harus menutup lembaran masa lalu dengan seseorang yang sedang mengemudi di sebelahku, dan bersiap untuk benar-benar membuka hatiku untuk Mas Reyhan, kekasihku.

Mobil sudah berhenti di pelataran rumah sakit, dan Revan baru akan membuka pintu di sebelahnya saat tanganku menahan lengannya, "Nanti.. habis dari sini, aku mau ngomong, ya?" Ujarku.

Laki-laki yang akan segera kulupakan itu menatapku dengan dahi berkerut, seperti sedang menebak apa yang akan aku bicarakan lewat ekspresi wajahku. Kemudian, seperti sudah mendengar apa yang akan kukatakan, dia menghela napas dalam sebelum tersenyum tipis dan mengangguk pelan.

***

Terima kasih sudah mampiiir :)

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang