Revan
Sudah satu minggu sejak kejadian di restoran waktu itu. Dan sekarang, di sinilah aku berada. Di ruangan besar yang sama sekali tidak menjanjikan kenyamanan. Membaca berbagai macam kontrak yang sedang menanti tanda tangan.
Ini adalah hari pertamaku kembali bekerja, setelah hampir dua minggu mengambil cuti ke Surabaya. Yang sebenarnya tidak sepenuhnya ku habiskan di sana.
Setelah kejadian itu, aku langsung terbang ke Jakarta. Bukan karena sudah menyerah, apalagi tidak ingin berjuang. Aku pergi karena tidak sanggup melihat binar kecewa di mata mama, dan tidak ingin mendengar kata-kata yang tidak pernah aku bayangkan akan keluar dari bibirnya.
"Nak, demi Tuhan, mama sangat menyukai Indira. Dari awal, saat kamu mengenalkannya di wisuda SMA kalian, mama sudah jatuh hati padanya. Tapi, untuk saat ini, bunda tidak ingin kamu mendekatinya lagi. Sudah cukup sakit hati yang dia rasakan karena dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Jangan ditambah patah hati karena harus kehilangan kekasih yang sudah bersedia menopang hidupnya setelah kamu pergi. Jadi, jangan ganggu hubungan mereka. Kamu harus melangkah maju, dan menemukan jodohmu yang sesungguhnya. Sama seperti yang dilakukan Indira."
Sial! Mengingatnya saja sudah membuat hatiku nyeri. Itu adalah kalimat yang bunda ucapkan di restoran waktu itu. Setelah aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hubunganku dengan Indira.
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menetralkan degup jantung yang menyakitkan.
Apa aku benar-benar tidak punya kesempatan, Ra?
Dengan mata terpejam, aku membangun imaji Indira yang sedang tertawa, menggenggam tanganku erat, sambil menunjuk bunga kesukaannya. Mawar merah. Sama seperti kebanyakan wanita.
"Rev, kalau kita udah nikah, aku mau dibuatin taman mawar di belakang rumah. Nggak usah disediain tukang kebun, deh. Aku aja yang jadi tukang kebunnya. Sekalian jadi tukang sapu juga nggak papa, yang penting rumahku ada kebun mawarnya."
Itu adalah perkataan Indira saat sedang duduk bersamaku, di taman samping Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang ada di Universitas Batavia.
Aku bahkan tidak pernah lupa, betapa indah pancaran matanya saat mengatakan hal itu. Mungkin, dia sedang membayangkan rumah sederhana yang dikelilingi kebun bunga kesukaannya. Mungkin juga, dia sedang membayangkan kehidupan rumah tangga yang manis bersamaku, di rumah penuh mawar itu.
Aku tidak pernah tau apa yang dia pikirkan. Tapi, itulah yang aku bayangkan, selalu, sampai hari ini. Hidup bahagia bersamanya, bersama anak-anak kami. Di rumah dengan halaman luas, yang ditumbuhi jutaan mawar merah.
"Widiih.. Ada yang lagi seneng, nih!"
Aku tersentak mendengar suara itu. Sial! Bayangan indah tentang aku dan Indira langsung musnah begitu saja.
Aku memandang kesal pada sosok yang baru saja menghancurkan lamunanku. Dan bajingan itu malah melenggang santai ke arah kursi di depanku.
"Santai dong, bro! Mukanya nggak usah dicakep-cakepin gitu." Selorohnya kelewat santai, sama sekali tak merasa bersalah dengan apa pun yang baru saja dilakukannya.
"Ngapain?" Tanyaku singkat.
"Wah, galak. Takuuuut.." Balasnya dengan menekuk kedua tangan di depan dada.
Dia cowok apa bencong, sih? Kenapa aku harus punya sohib model begini?
"Hahahah.. Lo ada masalah apa, sih, Van? Kemarin galau-galau nggak jelas, sekarang malah senyum-senyum sendiri. Otak lo pindah ke dengkul?"
"Gue nggak mood bercanda! Buruan, mau ngomongin apa?" Tanyaku tak sabaran, dia kira aku ada waktu meladeni manusia tidak jelas seperti dirinya?
"Kayak cewek aja lo, ngomongin mood." Aku hanya menatap datar, mendengar tanggapannya.
"Gue mau ke Surabaya, lo mau nitip sesuatu nggak, buat si Geo?" Sambungnya lagi.
Surabaya. Mendengarnya saja, membuat fokusku bukan lagi kepada Andri, melainkan beralih pada gadis cantik yang menjadi penghuni kota itu..
Dia masih suka mawar merah, nggak, ya?
"Mawar merah?"
Aku menegakkan tubuh cepat mendengar perkataannya barusan. "Mawar merah, apaan?" Tanyaku.
Dia menaikkan alis dengan pandangan aneh. "Seharusnya gue yang tanya gitu. Mawar merah apaan? Masa lo mau nitip mawar merah buat keponakan lo!" Ujarnya tak santai.
Jadi aku tidak sengaja mengatakannya keras-keras, sampai terdengar di telinga Andri?
"Gue ketemu sama dia." Akhirnya kuputuskan untuk bercerita. Toh, dia adalah satu-satunya sahabat dekat yang kupunya.
Dia mengenal Indira, sempat kukenalkan padanya, dan beberapa kali hangout bersama, saat kami masih bersama-sama di Batavia.
Andri lumayan dekat dengan gadis itu, saling menganggap kakak dan adik. Sialnya, dia juga termasuk orang yang kehilangan kontak dengan Indira saat hubungan kami memburuk dulu.
Pria sialan ini lebih tua dua tahun di atas kami. Dia adalah orang yang membuatku ikut tawuran tepat setelah UN SMP ku selesai. Lalu, sebagai hukuman, ayah mengirimku untuk melanjutkan SMA di Surabaya, dan tinggal bersama Oma.
Sesuatu yang paling aku benci saat itu. Tapi takdir memang penuh misteri, karena kebencian itu berubah menjadi hal yang paling aku syukuri. Di sanalah aku bertemu Indira.
"Gila!! savage banget adek gue sekarang. Sampai lo kena gampar dua kali, hahahaha.." aku sudah menduga, responnya pasti akan menyebalkan. Tidak mungkin pria berjas hitam itu mau menunjukkan empatinya padaku.
"Jadi, lo mau nitip mawar merah buat dia? Ogah, gue. Nanti cowoknya salah paham. Lagian, gue setuju sama Mama Reta." Sambungannya, setelah tawanya reda.
Aku meradang mendengar perkataannya. Jika tidak bisa menunjukkan empati, setidaknya sebagai sahabat, dia bisa memberi sedikit dukungan padaku.
"Kalau nggak ada kepentingan lagi, lo bisa keluar!" Kataku tajam.
Dia hanya tertawa merespon ucapanku. Pria gila ini memang tidak punya hati, dia tidak akan pernah tersinggung apa pun yang dikatakan orang-orang kepadanya. Itulah yang membuatku betah berteman dengan Andri, meskipun agak gila, dia adalah orang yang sangat pengertian.
"Gue bakalan lama di sana, ngawasin cabang baru yang besok mau ngadain grand opening. Bisa jadi alasan tuh, buat lo." Dia berkata sambil menarik turunkan alisnya.
Tunggu dulu, Dia benar!
Aku bisa sering-sering ke Surabaya dengan alasan menemui Andri. Dan aku bisa menggunakan kesempatan itu untuk kembali memenangkan hati Indira. Persetan dia memiliki pacar. Selagi janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan untuk menikung, kan?
"Daerah mana toko tempat Indira kerja?" Aku terdiam mendengar pertanyaannya, mengingat di mana letak toko besar itu berada. Begitu otakku menemukan tempatnya, aku segera memberitahu Andri.
"Sial, mujur banget nasib lo," alisku terangkat menanggapi pernyataan ambigu itu. "Restoran bokap yang besok mau buka, kalo nggak salah di daerah sana juga!" Dia memekik antusias.
Aku menyeringai mendengarnya. Jodoh memang nggak akan kemana!
***
Bersambung
Haiii, Jumpaa lagiii, hihihi.
Thankyouu sudah mampirrrrrr
SEMOGA BETAH!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...