23. Bimbang

3.8K 278 5
                                        

Indira

"Sayang, hei, are you okay?" Suara itu menyentak lamunanku, tampak mas Reyhan yang sudah rapi dengan kemeja batik panjangnya.

"Mas Rey?" Sapaku pelan.

"Kamu baik-baik aja? Ibu bapak nggak kenapa-kenapa kan?" Mungkin karena ekspresiku, pertanyaan itu memberondong keluar dari bibirnya.

Apa aku baik-baik saja? Tidak! Tidak akan ada yang baik-baik saja jika ditempatkan di posisiku. Tidak akan ada yang baik-baik saja jika diharuskan untuk menyakiti orang sebaik mas Reyhan.

"Kok bengong? Ada masalah?"

Ada mas. Kita.. kamu dalam masalah. Kamu..

"Sayang!"

Aku tergagap mendengar seruannya, kepalaku refleks menggeleng mengingat pertanyaan terakhirnya. "Aku.. aku nggak apa-apa."

"Kamu yakin? Mau cerita?" Tanyanya, jelas tidak percaya dengan jawabanku barusan.

Aku berusaha menarik bibir untuk meyakinkannya, "Aku okay kok mas. Bapak ibu juga Alhamdulillah sudah lebih baik. Aku cuma capek aja, ngantuk."

Mas Reyhan menatapku dalam, seolah mencari kebenaran dari apa yang aku katakan. Dia tampak ragu, tapi kemudian tersenyum dan membawaku dalam rengkuhannya.

Bagaimana aku bisa cerita mas?

"Capek banget pasti, ya? Maaf ya, aku nggak nemenin semalam" ujarnya dengan nada bersalah, tangannya membelai lembut rambutku.

Aku mengeratkan pelukanku, semakin dalam masuk ke dalam rengkuhan hangatnya.

Mengingat kejadian semalam membuatku semakin sedih. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.

Dan yang lebih menyakitkan, bagaimana caraku memberitahu manusia terbaik yang pernah kutemui ini? Bagaimana cara memberi tahu mas Reyhan tentang apa yang dikatakan ibu semalam?

Aku tidak ingin menyakitinya. Aku tidak ingin menjadi luka dalam hidupnya.

"Hei, kok nangis? Kenapa sayang?" Tanyanya lembut.

Aku tidak bisa lagi menahan air mata yang kutahan semalaman. Jadi yang kulakukan hanya semakin mengeratkan pelukan dan menangis lebih keras di dadanya. Berusaha menumpahkan sakit yang tidak bisa lagi kutanggung sendirian.

Mas Reyhan tidak lagi mengeluarkan suara, hanya tangannya yang terus-menerus mengelus lembut rambutku.

Sejenak aku merasa tenang. Tenang yang menyesakkan.

Dalam keadaan seperti ini harusnya aku merasa sesak karena takut tidak bisa lagi bersamanya. Tapi yang dirasakan wanita bodoh ini hanya sakit karena membayangkan luka yang akan mas Reyhan terima.

Kenapa cinta itu tidak juga muncul setelah semua yang laki-laki ini lakukan? Kenapa perasaan itu tidak pernah tumbuh setelah melihat ketulusan yang selalu terpancar dari matanya?Apa hatiku sekeras itu?

***

"Kamu beneran nggak papa?" Tanya mas Reyhan disela makannya.

Kami sedang berada di kantin rumah sakit. Karena kemari terlalu lagi, Mas Reyhan tidak bisa membawa makanan dari rumah, untungnya kantin di sini buka 24 jam.

Tadinya aku sama sekali tidak ingin sarapan. Makan adalah hal terakhir yang kuinginkan di saat-saat seperti ini. Tapi demi mengalihkan pikiran dari hal-hal yang terjadi semalam, akhirnya aku mengiyakan ajakan mas Reyhan.

"Nggak papa, kok. Cuma capek aja." Jawabku sambil menarik bibir, berusaha menampilkan senyum senatural mungkin.

Mas Reyhan seperti ingin mendebat, tapi kemudian dia hanya menghela napas dan menganggukkan kepala. Dia pasti tau kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu. Dan dia menghargai itu, tidak memaksaku membagi apa yang ingin kusimpan sendiri. Dia selalu begitu, menghargai privasiku.

"Udah izin guru piket kalau hari ini nggak masuk?" Tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, sama sekali tidak berpikir sampai sana.

"Biar aku aja yang izinin. Kamu nggak papa di sini sendiri?" Tanyanya lagi. Matanya menatapku dalam, kode bahwa dia ingin jawaban yang sebenarnya.

Kalau boleh jujur, aku ingin dia di sini, menemaniku menghadapi serangan yang mungkin akan dilakukan lagi oleh ibu. Tapi aku harus sadar diri. Urusan di hidupnya bukan hanya tentang aku. Jadi aku tersenyum, menggenggam tangannya yang ada di atas meja dan membawanya ke pipiku.

"Aku pengen kamu di sini. Tapi aku nggak mau bapak ketua yayasan yang terhormat ini bolos sekolah." Gurauku, berharap berpikir aku baik-baik saja.

Mas Reyhan menghela napas, ditatapnya aku dalam-dalam. "Aku bisa di sini kalau kamu mau." Katanya sungguh-sungguh. Kalau sudah begini, hilang sudah Mas Reyhan yang jail dan suka menggodaku.

Aku menggeleng, "aku mau kamu berangkat ke sekolah, dan kembali ke sini kalau urusan di sana sudah selesai."

Dia masih menatapku dalam, memprotes keinginanku dengan tatapannya. Tapi aku tidak boleh terpengaruh, aku tidak ingin dia melalaikan kewajibannya hanya karena aku. Jadi aku menampilkan mimik semelas mungkin. "please?"

Mas Reyhan memejamkan mata. Aku tau dia sudah kalah. "Okay, aku ke sekolah." Katanya kesal.

Aku tersenyum lebar, "Nah, gitu dong, Pak."

Mas Reyhan ikut tersenyum, dia menarik tangan yang masih aku genggam, dan turut membawa tanganku juga, mengecupnya pelan sambil berbisik, "i love you, Indira."

***

I love you too..

Harusnya tadi aku mengatakan itu. Membalas pernyataan yang entah sudah berapa kali dia ucapkan.

Sayangnya, bibirku sama sekali tidak bisa diajak kerja sama. Sama seperti hatiku, dia juga menjadi kelu saat aku hendak mengucapkan kata itu.

Cinta.

Dulu, cinta seolah begitu sederhana. Meskipun malu-malu, aku tidak pernah absen mengatakannya. Entah secara langsung, atau lewat sambungan telepon, jika berhubungan dengan Revan, bibirku seolah diprogram otomatis untuk mengatakannya.

Tapi dengan mas Reyhan, cinta mendadak menjadi sangat jauh, begitu sulit untuk kugapai, hampir seperti mustahil untuk dirasakan.

Jadi yang tadi kulakukan hanya tersenyum, membiarkan dia menyimpulkan sendiri perasaanku. Sampai akhirnya dia berpamitan untuk berangkat mengajar.

Aku tau sikapku itu menyakiti mas Reyhan. Terus-terusan bergantung padanya dengan memberi status tanpa kejelasan perasaan memang keterlaluan. Tapi aku harus bagaimana?

Haruskah aku melepaskannya? Membiarkan dia kecewa lebih cepat agar bisa segera menemukan obat?

Atau apakah aku harus tetap di sisinya? Bersikap seolah mencintainya demi menjaga perasaannya? Toh tidak akan sulit bersama dengan seseorang yang selalu mengutamakan kebahagiaan kita. Lagipula, dari awal memang itu rencanaku.

Tapi.. bagaimana dengan ibu? Bagaimana dengan maaf yang hanya bisa kutebus dengan menuruti permintaannya?

***

Bersambuuuung :)

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang