18. UGD

4.2K 333 7
                                    

Indira

Aku sedang berada di meja kasir saat ponselku berbunyi. Dadaku otomatis berdetak kencang mendapati siapa yang menelponku.

Ibu. Nama itulah yang muncul di layar ponselku.

Karena tidak ingin menangis di tempat kerja, aku memutuskan untuk tidak mengangkatnya.

Katakan aku durhaka, tapi memang berat mengendalikan tangis saat menghadapi nada kasar ibu. Jadi, mengabaikannya adalah jalan terbaik saat ini.

Nanti aku akan menelpon balik. Meminta maaf dan mengarang alasan yang tepat kenapa aku tidak bisa menerima panggilannya.

Rupanya ibu tidak menyerah, beliau masih menelpon 4 kali setelah pengabaian yang pertama. Jadi, aku memutuskan untuk mematikan data. Memohon maaf dalam hati atas tindakanku kali ini.

Satu jam setelahnya, aku masih sibuk di meja kasir. Tapi entah kenapa, rasa sesak tiba-tiba menghampiri dadaku. Aku tidak punya asma, dan kukira, asma juga tidak seperti ini rasanya.

Dadaku seperti berdetak lebih kencang daripada biasanya. Pikiran buruk langsung menyergap begitu saja.

Aku melirik jam di pojok bawah layar komputer di hadapanku. Masih setengah lima, berarti waktuku masih lama di sini.

Tapi kenapa aku merasakan dorongan kuat untuk pulang ke rumah? Tiba-tiba rasa rindu pada ayah dan ibu menyeruak hebat di hatiku.

Ah, mungkin karena aku baru saja menolak telpon ibu untuk pertama kali dalam hidup. Jadi rasa bersalah membuatku ingin segera menjumpai mereka.

Tidak tahan dengan rasa tidak enak yang terus mengganggu, akhirnya kuputuskan untuk membuka ponselku. Menyalakan data, lalu menunggu notifikasi masuk.

"Mbak," aku mendongak mendengar panggilan itu. Mendapati pelanggan yang sudah siap menyetorkan belanjaan.

Aku tersenyum sungkan, sadar sudah melakukan kesalahan karena membuka ponsel dan mengabaikan pelanggan.

Jam segini biasanya toko cenderung sepi, baru ramai lagi nanti setelah Maghrib.

Sambil menghitung belanjaan, aku memutar kepala mencari Kinan dan Mbak Sesil. Tapi tidak menemukan keduanya. Mungkin mereka sedang menata barang entah di bagian mana.

Setelah menyebutkan jumlah total belanjaan pembeli di depanku, aku menerima sejumlah uang dan memberikan kembaliannya. Setelahnya, pembeli itu berlalu. Meninggalkan aku dalam keheningan yang mencekam.

Aku melirik ponselku sekali lagi. Berharap ibu tidak memakiku lewat chat. Tapi harapanku sia-sia. Karena nama ibu tertera di notifikasi.

Mau tidak mau, aku harus membuka chatnya. Memberi bisikan pada diri sendiri untuk kuat seperti biasa.

Lalu aku menekan nama ibu, membuat pesannya langsung terpampang nyata.

Dan detik itu juga, jantungku seperti meninggalkan tempatnya.

Mohon maaf mbak, kami dari rumah sakit Setya Utama. Pemilik ponsel mengalami kecelakaan motor bersama laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya, korban sedang dalam penanganan dokter. Mohon segera datang ke rumah sakit atau menghubungi keluarganya.

15.41

Pasien dalam kondisi kritis, kami butuh persetujuan keluarga dengan segera untuk bisa melakukan tindakan. Sesuatu yang fatal bisa terjadi jika mereka tidak segera mendapat penanganan.

16.03

***

Aku berlari meninggalkan toko Kenanga setelah berseru keras memanggil Kinan dan menitipkan toko kepadanya.

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang