25. Ini Kamarku, Sayaang.

5.1K 303 1
                                    


Takdir seringkali tidak bisa ditebak. Ah, bukan seringkali, tapi selalu, setiap waktu. Kasarnya, takdir selalu penuh dengan kejutan.

Seperti yang saat ini terjadi. Aku baru saja membuka mata, dan mendapati sedang berada di tempat asing.

Oh, bukan. Ini jelas bukan kamar rumah sakit. Karena tidak ada satupun perlengkapan kesehatan di sini, dan tidak ada bau obat.

Hal terakhir yang bisa kuingat adalah Revan. Maksudku, aku sedang bertengkar dengan Revan di kantin rumah sakit. Lalu..

Sial! Jangan bilang aku ada di kamar bajingan itu.

Aku buru-buru bangkit dari ranjang, mengabaikan kepala yang berdenyut ngilu karena pergerakan tiba-tiba yang kulakukan.

Mataku menelusuri seisi kamar, berusaha mencari petunjuk siapa pemilik kamar ini.

Aku tidak mendapatkan clue apapun, kecuali bahwa kamar ini luas dan nyaris kosong. Selain rak tinggi yang penuh dengan buku di ujung ruangan, ranjang yang tadi kutempati, nakas, lemari, TV, meja, kursi, dan.. em, yaa.. masih banyak lagi. Ternyata bukan nyaris kosong, tapi terlalu luas, jadi meskipun dihuni perabot sebanyak itu, kamar ini tetap terlihat lengang.

Satu yang bisa kusimpulkan, pemilik kamar ini adalah laki-laki. Terlihat jelas dari pilihan warnanya, abu-abu.

Dan satu lagi kesimpulan yang bisa kuambil, ini jelas kamar Revan. Ada pigura yang kalau tidak salah berukuran 3 x 4 di atas nakas. Dan itu.. fotoku.

Bukannya kegeeran atau bagaimana, tapi, kalau dia benar-benar masih mencintaiku seperti yang dia umbar selama ini, masuk akal kalau dia memajang fotoku di kamarnya, kan?

Ah, bajingan itu! Kita tadi sudah berada di rumah sakit. Dari pada membawaku ke hotel atau apalah ini, bukannya lebih baik kalau dia menyewakanku satu kamar di sana? Toh, uangnya yang tidak berseri itu tidak akan habis hanya karena membayar biaya kamar rawatku selama beberapa jam saja.

Tapi, ya, siapa sih yang bisa menebak pikiran manusia satu itu? Kalaupun aku tanya, dia pasti bisa mengarang alasan semulus jalan tol, dan aku akan menjadi makhluk tolol karena dianggap tidak bisa memahaminya. Seperti yang sudah-sudah.

Suara pintu di buka membuatku segera mengalihkan pandangan, bermaksud menyambut seseorang yang sudah pasti menjadi pemilik kamar ini dengan emosi.

Tapi, semua emosi yang sudah kubangun luruh tak berjejak begitu mendapati sosok laki-laki yang melangkah masuk dengan ekspresi kaget sekaligus lega yang terlihat jelas di wajahnya.

"Udah bangun?" Pertanyaan itu masuk ke telingaku, maksudku, aku mendengarnya. Tapi.. bibirku kelu, tidak tau harus bagaimana, tidak tau harus menjawab apa.

Apa yang akan kamu lakukan jika pacarmu menemukanmu dalam kamar mantan pacarmu? Oh, kalian paham maksudku bukan?

Bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan? Apa yang harus aku lakukan?!

"Hei, are you okay?" Aku masih berdiri kaku, menunggu Mas Reyhan yang mulai berjalan mendekat dan menangkup wajahku. Aku tidak begitu mendengar apa yang dikatakannya, karena entah sekarang pikiranku sedang melanglang buana ke mana. Yang jelas, kalau tidak salah diakhir kalimatnya dia bilang, "masih anget." Itu artinya dia sedang membicarakan suhu tubuhku.

"Kamu kenapa, sih?" Tanyanya lagi, kali ini kedua tangannya masing-masing ada di bahuku. Bertengger nyaman di sana.

Aku mengerjapkan mata, berusaha memanggil fokusku kembali. Tapi dia sudah terlanjur pergi jauh, aku benar-benar tidak bisa fokus. Jadi, dengan spontan aku menanyakan pertanyaan yang sedari tadi berputar di kepala, "Kenapa kamu bisa ada di sini?"

Responnya hanya berupa kedua alis yang naik ke atas, kebingungan. Dan aku juga bingung harus bagaimana menjelaskan maksud pertanyaanku. Jadi, aku berusaha mencoba peruntungan, "aku.. em, kita.. kita ada di mana?" Berpura-pura belum memahami keadaan.

Dia tersenyum tipis, lalu matanya berputar, menelisik seisi ruangan. Perutku terasa ikut berputar, takut sekaligus pusing beradu jadi satu.

Aku tau ini bukan salahku, aku pingsan dan bajingan itu membawaku ke kamarnya. Secara teknis aku memang tidak tau apa-apa. Tapi, bagaimana kalau Revan mengatakan yang sebaliknya. Bagaimana kalau dia mengarang cerita yang tidak-tidak, dan bagaimana kalau..

"This is my bedroom, Ra."

Eh, apa tadi katanya?

"Gimana, Mas?"

Mas Reyhan terkekeh, lalu mengacak gemas rambutku. "Ini kamarku, Sayaaang."

Tunggu, tunggu. Aku masih belum paham. Maksudnya, ini.. "kamar Mas Reyhan? Di rumah kamu?"

Dia mengangguk, dan panikku naik ke level yang lebih tinggi lagi. Okay, aku sedikit lega karena ini bukan kamar bajingan itu.

Harusnya aku malu karena sudah ke-geer-an, tapi sumpah tidak ada waktu untuk itu. Berada di kamar Mas Reyhan justru lebih parah dari berada di kamar mantan dan ketahuan sama pacar.

Biar kujelaskan situasinya. Ini adalah kamar Mas Reyhan. Yang artinya aku ada di rumahnya, di rumah Bu Anisa! bosku! Mampus aku kalau sampai ketahuan ada di kamar anaknya.

"Hei, kenapa, sih?" Mas Reyhan bertanya saat aku dengan panik berlari ke arah ranjang, menyambar seragam toko yang tadi pagi masih kegunakan dan sekarang sudah terlipat rapi di sisi ranjang yang tidak kutempati.

Aku bahkan baru sadar kalau pakaianku sudah berubah. Jangan bilang Mas Reyhan sendiri yang mengganti bajuku? Ah, aku akan bertanya siapa yang melakukannya. Tapi nanti saja, sekarang aku harus pergi dulu dari rumah ini. Aku benar-benar tidak tau alasan apa yang akan kuberikan kalau sampai Bu Anisa bertanya nanti.

"Ra, hei, mau kemana?" Tanya Mas Reyhan sambil menahan tanganku. Aku sudah hampir berhasil membuka pintu kamar, by the way, dan mau tidak mau harus berhenti karena cekalan tangannya.

"Mas, tolong, lepas. Aku harus pergi sekarang." Ujarku panik sambil berusaha melepaskan tangannya.

Dia masih menatapku bingung. Dan demi tuhan, aku tidak percaya dia bisa tidak memahami situasiku saat ini.

"Mas, please!" Aku mulai menaikkan suara. Panik bukan main. Dan pacarku yang biasanya memiliki kepekaan tingkat dewa ini tiba-tiba jadi dungu luar biasa.

"Nggak, jelasin dulu. Kenapa?" Dia masih ngotot tidak mau melepaskan tanganku.

Okay, kesabaranku yang tipis sudah habis. "Kamu yang harusnya jelasin, Mas! Maksudmu apa? Kenapa aku di bawa ke sini? Kalau ketahuan Bundamu gimana?"

Mas Reyhan kelihatan kaget, lalu wajahnya berubah bingung, tidak lama air mukanya berubah lagi. Tiba-tiba dia tertawa keras, dan aku semakin bingung.

Aku menatapnya sengit, menuntut penjelasan. Tapi sepertinya dia masih tidak bisa mengendalikan diri karena suara tawanya belum juga reda.

Aku semakin kesal, jadi aku menarik paksa tanganku yang masih dalam genggamannya dan dengan kasar membuka handle pintu. Tapi sekali lagi dia menahanku. "Tunggu, tunggu sebentar." Ujarnya di sela-sela tawa.

"Ini rumahku, sayang. Rumahku sendiri." Jelasnya.

Aku menutup mata. Sial! Sudah berapa kali aku termakan pikiranku sendiri?!

***

Bersambung

Halo! Ada yang nunggu, nggak? Hihi, maaf, ya!

Nyicil dulu seadanya, secepatnya lanjut lagi :)

Thankyouuuu sudah mampiir <3

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang