Indira
"Mantanmu, ya?" Mas Edo bertanya begitu aku turun dari motornya. "Yang di kafe tadi, itu mantan kamu?" Laki-laki itu menjawab kebingungan di mataku.
Aku mengangguk, enggan menutupi apapun. "Kok tau?" Tanyaku.
"Kelihatan kali, Ra. Kamu tiba-tiba jadi kaku banget, wajahmu juga pucat kayak mayat." Kekehnya. "Putusnya pasti nggak baik-baik ya?"
"Kalau baik-baik kan nggak mungkin putus, Mas." Jawabku diplomatis.
"Bener juga, sih." Dia tertawa garing. "Tapi gue yakin kasus kalian beda. Pasti nggak mungkin karena perbedaan prinsip atau sekedar udah nggak cocok." Mas Edo menatapku intens. "Dia selingkuh, ya?"
Aku menatapnya horor. "Enggaklah. Kenapa bisa mikir gitu?"
"Ya habisnya, ekspresimu tadi alay banget, Ra. Kayak orang yang baru pertama kali ketemu mantan aja."
Emang baru ketemu.
"Enggak. Cuma.. aneh nggak sih kalau kita sok akrab sama mantan padahal dia lagi sama ceweknya?"
Dia memicingkan mata. "Jangan bilang kamu gagal move on?" Tuduhnya.
"Enak aja! Enggaklah, Mas. Dia itu mantan pas SMA, udah lama banget. Nggak mungkin aku masih belum bisa move on." Elakku.
"Wow! Nggak nyangka kamu udah pacaran dari SMA. Aku kira kamu cewek polos yang baru berani pacaran pas lulus kuliah." Ejeknya.
Aku mendengus. "Udah, ah. Aku masuk dulu. Ikut nggak?" Tawarku.
"Ya ikut dong. Masih pake ditanya!" Jawabnya sambil berjalan memasuki pekarangan rumah, mendahuluiku.
****
"Kata Edo, kamu habis ketemu mantan jaman SMA. Revan, ya?" Ibu bertanya saat menghampiriku yang duduk melamun di kebun belakang.
Aku tersenyum. "Iya."
"Terus gimana?"
"Gimana apanya?" Aku balik bertanya.
"Bukannya kamu udah ada janji ya sama dia?" Tanya ibu hati-hati.
Aku memang bercerita pada ibu tentang janjiku pada Revan tiga bulan lalu. Sekarang, sama sekali nggak ada yang kusembunyikan dari orang rumah. Kami berkomitmen untuk saling terbuka demi menghindari masalah seperti yang terjadi sebelumnya.
"Dia.. sama cewek, Bu." Aduku.
"Kamu juga sama cowok, kan?"
Aku menatap ibu bingung.
Ibu tersenyum tenang. "Ra, jalan sama cewek atau cowok bukan berarti pasangan, kan? Kamu udah tanya, siapa yang dia bawa?"
Aku menggeleng.
"Nah, harusnya kamu tanya. Kamu nggak boleh nyimpulin semuanya berdasarkan asumsi sendiri." Ibu mengusap rambutku. "Ibu nggak mau kamu menyesal untuk yang kedua kali."
Tiga.. kalau sampai ini tidak sesuai dengan pikiranku, maka aku akan menyesal untuk yang ketiga kali.
"Rara harus gimana, Bu?" Tanyaku.
"Kamu cinta Revan?"
Aku mengerjap. Apa.. aku cinta dia?
"Nggak tau, Bu. Rara bingung."
Ibu masih tersenyum. "Kalau gitu, kenapa dulu kamu memberikan harapan itu buat Revan? Kenapa kamu berjanji untuk bersama dia lagi kalau kamu bahkan nggak tau bagaimana perasaan kamu buat dia?"
Aku nggak tau. Kenapa dulu aku begitu gegabah dan mengucapkan janji itu begitu saja?
"Kamu tau kalau itu jahat banget buat Revan? Dia cinta kamu. Lalu kamu meminta waktu dan berjanji untuk kembali sama dia kalau-kalau kalian dipertemukan tanpa sengaja. Dan saat takdir mempertemukan kalian, kamu justru kabur begitu saja. Coba bayangkan, gimana perasaan kamu kalau jadi Revan?"
![](https://img.wattpad.com/cover/251624444-288-k189226.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...