31. Kesempatan?

2.8K 250 3
                                    

Revan

"Mampir depan bentar dong, Van." Mataku langsung mencari lokasi yang di maksud mama, nama salah satu mall di Surabaya terpampang besar di pinggir jalan raya.

"Ke situ, Ma?" Tanyaku memastikan.

"Iya, mampir bentar ya, mama ke sini nggak bawa apa-apa. Nanti kalau Geo nanya oleh-oleh kan mama nggak enak." Jelasnya.

"Tapi kan udah malem, Ma." Aku melirik kaca di depanku, mendapati bayangan gadis yang duduk tenang di kursi belakang, tepat di samping mama, "Indira harus istirahat, besok kan mau ke rumah sakit lagi pagi-pagi." Aku mencoba menawar, agak sungkan jika harus membuat Indira ikut menunggu mama belanja.

"Iya juga, ya." Jawab mama pasrah.

Mungkin karena mendengar nada tidak rela dari suara mama, Indira akhirnya turut bersuara, "Eh, nggak apa-apa kok, Tante. Indi juga udah lama nggak ke sana."

"Beneran, Ra?" Mama berseru antusias dan segera mendapat anggukan mantap dari Indira. Ah, Indira masih sama, masih suka mengalah.

***

"Ma, nyari apa, sih? Udah sejam lho kita muter-muter dan belum dapat apa-apa." Ujarku setengah kesal saat mama masih belum kunjung menemukan entah-apa-yang-dicari.

Dari tadi aku berusaha sabar mengekori mama yang terus menggandeng tangan Indira, berjalan mengelilingi mall dari lantai satu sampai lantai tiga. Mama terus membawa Indira masuk setiap melihat gerai mainan, tapi sampai sekarang, belum ada satu pun barang yang mama bawa.

Biasanya, mama tidak sepicky ini, apa pun yang kelihatan menarik pasti akan langsung dia beli.

"Nggak tau, bingung mama. Eh, food court ada di lantai lima bukan?" Tanya mama tiba-tiba.

"Iya." Jawabku, lalu memicing curiga, "Mau ngapain? Mama tadi bukannya sudah makan sama Bu Rima?"

Mama tersenyum misterius, "Ya mama memang sudah, tapi kalian kan belum. Jadi, dari pada kalian capek ngikutin mama, mending makan dulu ke atas, nanti mama nyusul kalau udah nemu mainan yang cocok buat Geo."

Benar-benar ibu satu ini, ada-ada saja akalnya. Aku tidak keberatan tentu saja, kesempatan berdua dengan Indira adalah hal paling ku nantikan di dunia, tapi aku juga tidak mau membuatnya semakin tidak nyaman.

"Nggak papa kok Tante, Indira nggak keberatan nemenin Tante nyari mainan buat anaknya Kak Vina," Nah, dengar sendiri. Sebegitu tidak maunya dia berduaan denganku.

"Eh, jangan. Mama masih bingung mau nyari apa, jadi nanti pasti bakalan lama. Kasian kamu kalau harus ikut muter-muter nggak jelas gini. So, lebih baik kamu ke atas, makan sama Revan, terus nanti kabarin mama di mana posisi kalian, ya?" Paksa mama seraya mendorong kami berdua menjauh darinya.

Suasana langsung canggung begitu mama berjalan menjauh, kami saling diam sampai aku melihat Indira melangkah menuju eskalator, dan tanpa membuang waktu aku langsung mengikutinya. Dia tidak protes, artinya dia tidak keberatan, kan?

Sampai dilantai lima, di area food court, Indira tampak kebingungan, kepalanya menengok ke kiri ke kanan mengamati jajaran gerai yang menampilkan berbagai menu makanan. Aku terus diam di belakangnya, menanti dengan sabar apa pun yang dia lakukan.

"Mau makan apa?" Tanyanya tiba-tiba. Eh, dia bertanya padaku, kan?

"Eh, apa?"

Dia tersenyum tipis, seperti menahan geli melihat tingkah bodohku, "Kamu mau makan apa?" Ulangnya. Ya Allah mimpi apa aku semalam?!

"Em, terserah kamu, deh. Aku ikut aja." Aku menjawab cepat, masih belum menyangka Indira akan berbicara sesantai ini.

"Tapi aku bingung, banyak banget pilihannya. Nggak mau bantu milih?" Demi Tuhan, kenapa nggak dari dulu mama menyuruhku membawanya ke food court begini?!

Aku berusaha bersikap normal, jangan sampai dia langsung ilfeel melihat tingkahku yang kelewat excited hanya gara-gara di ajak ngobrol santai begini. "Laper nggak?"

Dia menatapku bingung, lalu mengangguk ragu. Gosh! Pipinya merah.

"Berarti nggak keberatan makan berat malam-malam begini?" Tanyaku pura-pura biasa saja.

"Enggak, kayak nggak tau aku aja. Aku kan.." dia terdiam, seperti menyadari ada yang salah. Dia pasti tidak sengaja berbicara begitu, dan pasti tidak mau membahas masa lalu. Jadi sebelum suasana berubah canggung, aku segera berucap, "Oke, I got it. Di sana ada outlet nasi goreng, kayaknya enak. Ke sana, yuk?"

Dia mengangguk lagi, kali ini membiarkanku berjalan di depan. Aku sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menariknya berjalan di sampingku. Demi Tuhan kami baru saja berbincang dengan normal, jangan sampai tingkahku merusak suasana nyaman ini.

Outlet nasi goreng yang kumaksud tinggal beberapa meter lagi, dari sini aku sudah bisa melihat menu-menu yang mereka tawarkan, tapi kemudian mataku menangkap siluet seseorang yang kukenal, seseorang yang akhir-akhir ini menjadi sedikit lebih akrab denganku, seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah Reyhan, pacar Indira, sedang berdiri di outlet minuman sambil membaca buku menu.

Tapi dia tidak sendiri, tepat di sampingnya ada seorang gadis dengan dress kuning menyala, dengan tangan yang terlihat jelas memeluk lengan laki-laki itu.

Dengan cepat aku membalikkan badan, mencegah Indira melihat apa yang sudah kulihat, tapi karena tiba-tiba berhenti dan tidak memperhatikan keadaan, Indira yang berjalan di belakangku sontak kaget dan menabrak dadaku. Tanganku secara refleks bergerak memeluk pinggangnya, menjaga dia yang hampir terhuyung ke belakang.

Indira mendongakkan kepala, secara otomatis mata kami bertemu, dan langsung saja, dadaku berdebar kencang karena adrenalin yang tiba-tiba terpacu.

God, ini Indira, kekasihku, ada tepat di dalam pelukanku.

Indira sepertinya tersadar lebih dulu, karena dia segera menarik diri dan mengambil jarak dariku. "Kenapa, sih?" Dia bertanya dengan kesal.

"Sorry, sorry. Tadi.." tadi apa, sialan! Alasan apa yang tepat diberikan saat kamu mendadak berhenti berjalan di dalam mall?

Ah, itu dia! "Tadi ada mas-mas OB dorong troli janitor gitu, jadi, ya, aku kasih jalan duluan." Kilahku.

Kening Indira berkerut, seperti tidak mempercayai alasan kelewat ngarang yang kuberikan, tapi kemudian dia hanya bergumam 'Oh' dan langsung berjalan mendahuluiku.

Aku panik, takut dia melihat Reyhan yang sedang bersama entah siapa. Bisa saja itu adik atau sepupunya, tapi bisa juga itu pacarnya yang lain. Jadi aku segera menarik tangan Indira, membuatnya berhenti dan sekali lagi menatapku dengan sebal, "Apa lagi?"

Dia tampak kesal, tapi tangannya tidak menepis tanganku!

"Em, itu.. apa namanya.." apa lagi alasan yang harus kuberi, Tuhaaan? Ah! "Di situ rame banget, keburu laper. Cari outlet nasgor lain, yuk. Kayaknya tadi ada deh." Jelasku sambil memasang ekspresi antara bersalah sekaligus memaksa.

Dia menatapku heran, sepertinya dramaku malam ini sudah diambang batas wajar, "ya udah, di mana?"

Aku tersenyum girang. Segera mengedarkan pandangan mencari tulisan nasi goreng di atas banner-banner yang berjajar, "Oh, itu, Ra!" Sorakku begitu menemukannya. Outlet itu di seberang tiang besar, berlawanan dengan arah kami berjalan, dan sepertinya aman dari jangkauan dua orang tadi.

Kami baru akan berjalan begitu menyadari tanganku masih menggenggam lengannya, jadi aku buru-buru melepaskannya dan meminta Indira berjalan duluan.

Setelah dia berjalan, aku nekat menyamai langkahnya, berjalan sejajar dengan gadis itu. And you know what? Dia sama sekali tidak menyuruhku pindah!

Malam ini benar-benar malamku. Thanks God! And Also thanks to Reyhan. Semoga dia benar-benar selingkuh. Eh!

***

Terima kasih sudah mampiiir :)

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang