Revan
Indira nggak tau berapa banyak waktu yang aku habiskan untuk menunggu pertemuan ini. Dia nggak ngerti seberapa sering aku terbang ke Surabaya di tiap waktu luang sekedar untuk mengunjungi tempat-tempat yang mungkin dia datangi. Perempuan itu nggak paham betapa aku menganggap ucapannya waktu itu adalah janji yang nggak mungkin diingkari.
Indira nggak ngerti sesenang apa aku saat tiba-tiba figurnya muncul seperti mimpi. Dan Indira nggak tau, dia nggak akan pernah paham sehancur apa hatiku saat dengan entengnya memperkenalkan laki-laki lain sebagai kekasih.
Aku mungkin nggak akan menyambut tangan laki-laki itu kalau Eca nggak menyenggol lenganku, "Revan." Kataku pada akhirnya.
"Edo." Balasnya. Tangan laki-laki itu panas. Entah dia menekan tanganku terlalu kuat atau justru aku yang melakukannya.
Dia lalu berkenalan dengan Eca, sedangkan aku kembali menatap Indira yang kelihatan berdiri dengan gelisah.
Aku nggak habis pikir dia akan sejahat ini. Maksudku, waktu itu dia sendiri yang berjanji, kan? Aku bahkan nggak minta. Aku nggak sempat untuk sekedar memohon kesempatan kedua. Tapi dia tiba-tiba menawarkan kesepakatan itu. Dia sendiri yang berjanji. Dia sendiri yang membangun harapan itu di hatiku.
"O.. kay. Kayaknya gue sama Indira harus balik duluan." Edo merangkul bahu Indira. "Cewek gue pasti kecapean sampai nggak bisa di ajak ngobrol gini."
The way Edo bilang 'cewek gue' dengan penuh penekanan benar-benar membuatku kepanasan. Kalau aku nggak ingat bagaimana mama memarahiku setelah memukuli Reyhan di Mall waktu itu, mungkin aku sudah meringsek maju menghancurkan wajah cowok ini juga.
"Nice to meet you two, guys. Kita permisi dulu." Dia lalu berjalan meninggalkan mejaku, dengan masih merangkul Indira dan membawanya berjalan bersama.
Aku nggak tau. Nggak paham lagi. Apa.. aku harus apa? Apa aku harus mengejar Indira sekali lagi? Atau ini justru pertanda kalau takdir nggak punya tulisan tentang kebersamaan kami?
Aku benar-benar nggak ngerti Sekarang, yang bisa kulakukan hanya menatap punggungnya yang kian menjauh, bersama harapanku yang semakin luruh.
****
"Dia, ya?" Suara Eca memecahkan keheningan yang dari tadi melingkupi kami berdua. "Cewek yang bikin lo hampir tiap weekend ke Surabaya." Lanjutnya.
Aku mengangguk sambil membelokkan mobil memasuki gerbang rumah Vina.
"She's beautiful." Katanya kemudian.
Siapa yang bilang enggak? Semua orang yang sudah melihatnya pasti akan membuat kesimpulan yang sama bahkan dipertemuan pertama. Indira memang cantik, sangat cantik.
"Hei, listen." Eca menahan lenganku saat hendak membuka pintu mobil. "Mbak Vina sering cerita tentang kalian. Tentang hubungan kamu sama cewek itu. Jadi, sedikit banyak aku paham gimana perasaan kamu setelah kejadian tadi."
Enggak. Nggak ada yang tau gimana bentuk perasaanku saat ini.
"Daripada cuma diem dan bangun asumsi sendiri, kenapa nggak tanya dia langsung? Apa yang sebenarnya terjadi kadang-kadang nggak separah skenario yang kamu ciptakan sendiri. Mungkin kamu salah paham dan--"
"Salah paham apanya sih, Ca? Kamu nggak denger tadi dia bilang apa? Dia ngenalin cowok itu sebagai pacarnya! Indira sendiri yang bilang gitu, Ca! Mana mungkin ada salah paham."
"Dan kamu percaya?"
Aku tertegun. "Apa yang bisa bikin aku nggak percaya, Ca? Tiga bulan lalu dia nangis kejer waktu Reyhan menikah. Artinya dia cinta Reyhan dan udah lupain aku. Jadi wajar kalau dia move on dari Reyhan dan jatuh cinta sama cowok baru." Aku menelan ludah. "Dari awal.. aku emang nggak punya kesempatan lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiction générale"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...