Aku keluar kamar dengan perasaan setengah-setengah. Setengah kesal, setengah sebal, setengah malu. Campur aduk jadi satu.
Kapan, sih, aku nggak malu-maluin diriku sendiri? Ya walaupun ini hanya Mas Reyhan, yang sudah terlalu biasa melihat tingkah-tingkah anehku, tapi tetap saja rasanya menyebalkan.
Tadi, setelah berhasil menyelesaikan tawanya, makhluk paling labil itu memintaku untuk mandi. Menyegarkan pikiran, biar nggak semerawut seperti wajahku, katanya. Kurang ajar memang, tapi aku tidak kaget, karena ini adalah Mas Reyhan, pacarku yang sedetik bisa menjadi manusia paling penyayang sedunia, tapi sedetik kemudian bisa berubah menjadi serigala yang gagal mencuri bulu domba.
Mataku berputar mencari objek yang sedang digunjing oleh hati dan otakku, tapi tidak ketemu. Entah kemana perginya manusia satu itu.
Akhirnya aku memilih berkeliling, berlagak seolah sedang home tour rumah baru yang akan segera jadi milikku. Eh, tapi kalau mas Reyhan benar-benar akan menikahiku, rumah ini otomatis jadi milikku juga, kan?
Memangnya kamu mau menikah dengan Mas Reyhan, Ra?
Ya maulah. Siapa juga yang nggak mau jadi istrinya cowok ganteng, pinter, keren, pengertian- kalau otaknya lagi bener, dan beruang.
Tapi.. beneran mau, Ra?
Apa, sih? Kenapa hatiku nggak mau percaya sama pikiranku sendiri. Ah, sudahlah.. Nanti kupikirkan lagi. Sekarang aku harus mencari Mas Reyhan dan menanyakan siapa yang sudah mengganti bajuku.
***
"Oke, thanks, Bro."Sayup-sayup suara itu terdengar. Akhirnya, setelah mengelilingi rumah luas ini, aku menemukan apa yang kucari.
Saat Mas Reyhan bilang kami sedang berada di rumahnya sendiri, aku langsung ingat kalau dia memang pernah bilang sudah punya tempat tinggal sendiri. Waktu itu, aku tidak banyak bertanya, hanya berdecak kagum sambil memujinya. Bukannya apa-apa, aku tau dia sedang memberi kode. Cowok dewasa yang sudah mapan tiba-tiba membicarakan masalah properti dengan pasangan pasti ujung-ujungnya akan bahas masa depan, kan?
Aku belum siap untuk itu. Jadi, ya, pura-pura nggak peka saja. Ngomong-ngomong soal rumah, ini benar-benar rumah, bukan apartemen apalagi kamar hotel. Tipikal rumah dua lantai dengan desain minimalis yang memiliki halaman belakang luas, lengkap dengan kolam renang di sebelahnya. Ah, aku benar-benar sedang memacari beruang.
Dan Si Beruang itu ada di sana, berdiri membelakangi pintu sambil menekuri handphone tepat di sebelah kolam.
Kalau nggak salah, tadi suaranya kedengaran baik-baik saja. Seperti sedang berbicaralah dengan salah satu teman baiknya. Kenapa sekarang dia kelihatan murung begitu?
"Mas!" Panggilku berusaha menarik perhatiannya. Dia langsung menoleh, seperti biasa menampilkan senyum luar biasa tampannya.
"Hei, udah mandinya?" Balasnya sambil berjalan ke arahku. Memelukku sejenak sebelum sedikit membangun jarak dan menatap mataku.
"Kamu kenapa?" Tanyaku mengabaikan basa-basinya. Dia terlihat gusar, senyuman di bibirnya seperti tidak sampai ke mata.
"Makan, yuk! Habis itu baru kita ngobrol," dia berbicara sambil menuntunku ke pinggir kolam, di sana ada meja kecil yang di kelilingi empat buah kursi dengan makanan yang sudah tersaji di tengah-tengah.
Tapi melihat ekspresinya membuatku kehilangan nafsu makan, padahal aku belum sempat sarapan sejak pagi. Dan ini sudah menjelang tengah hari.
Karena dia tampak tidak ingin menjelaskan apa pun, aku memutuskan untuk duduk dan melahap makananku, memaksa perutku untuk menerima asupan sementara dadaku terus berdebar kencang. Tiba-tiba firasat buruk menghampiriku, jangan bilang dia baru saja dapat kabar buruk dari rumah sakit?
"Mas, bapak sama ibu nggak papa, kan?
Mas Reyhan menatapku sejenak, lalu kedua ujung bibirnya terangkat, "Ibu aman, udah agak mendingan, kalau bapak masih belum siuman, tapi kondisinya stabil, kata dokter secepatnya beliau pasti sadar," jelasnya.
Aku menghela napas lega. Jujur saja aku belum ingin kembali ke rumah sakit, belum ingin membebani pikiranku dengan masalah yang tidak akan kutemui jalan keluarnya.
"Eh, tapi kamu tau dari mana, Mas?" Aku baru sadar kalau dia belum kenal dengan bapak dan ibu.
Sendok yang dipegang Mas Reyhan berhenti tepat di depan bibirnya, mata laki-laki itu tampak melirikku sekilas sebelum melanjutkan aktifitasnya, dan baru menjawab setelah berhasil menelan makanannya.
"Revan ngabarin barusan," katanya santai.
"Revan?" Ulangku memastikan.
"Yap, Revan. Mantanmu." Jawabnya.
Kok bisa dia santai begitu? Padahal aku sendiri kesulitan menelan makananku.
"Kamu kok bisa, sih, biasa aja sama dia?" Tanyaku ragu.
"Dia siapa?" Dia balik bertanya, dengan nada menggoda.
"Mas!"
Dia memasang ekspresi kaget yang sangat jelas dilebih-lebihkan, "loh, kok ngegas, sih? Kan aku nanyaa.. dia yang kamu maksud itu siapa?"
Aku menghela napas sebal, Mas Reyhan dalam mode ini bisa menjadi makhluk paling menyebalkan sedunia. "Revan. Kok bisa kamu biasa aja sama mantanku?" Jelasku jengah, sekaligus menekankan apa yang tadi dia bilang.
Dia terkekeh, "ya bisalah, Ra. Dia kan mantanmu bukan mantanku."
Astaga, orang ini! Aku sedang berusaha menemukan jalan keluar untuk membuatnya terhindar dari patah hati dan dia malah cengengesan begini.
"Terserah, deh, Mas."
Dia terkekeh lagi, seperti sangat terhibur dengan tingkahku. "Jangan ngambek dong, Sayang!" ujarnya sambil mengulurkan tangan untuk mengacak rambutku.
"Tadi siapa yang ganti bajuku?" Akhirnya aku ingat untuk menanyakan pertanyaan itu.
"Mbak Tini. Kenapa? Berharap aku yang gantiin? Sorry, ya, Mbak, bukan muhrim, jadi jangan mikir yang iya-iya." Katanya dengan nada pongah. Astaga, apa benar dia Mas Reyhan, pacarku yang tadi pagi memeluk sambil menenangkanku di depan ruang rawat ibuku?
***
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/251624444-288-k189226.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
قصص عامة"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...