Revan baru saja kembali dari ruang makan. Cowok tampan itu merebahkan tubuh di ranjang. Pikirannya melayang pada hal yang tadi dikatakan Reta, ibunya.
Kondisi ayahnya benar-benar sedang lemah. Penyakit jantung yang sudah dari lama pria itu derita, entah kenapa sering kambuh akhir-akhir ini.
Reta menyarankan agar dirinya menunda kuliah tahun depan. Sementara menggantikan posisi sang ayah di perusahaan, juga berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Ravina sedang menempuh pendidikan tinggi di Jogjakarta. Tidak mungkin meminta putrinya untuk pulang pergi Jakarta-Jogja jika tiba-tiba terjadi hal yang tak diinginkan. Jadi, satu-satunya harapan adalah Revan.
Cowok itu memikirkan saran ibunya. Tidak, itu lebih tepat dibilang permintaan, dari pada sekedar saran.
Sebenarnya dia tidak masalah. Toh, kuliah di luar negeri adalah ide ayahnya. Dan dia akan lebih dekat dengan Indira jika tetap berada di sini untuk sementara. Jakarta-Surabaya tidak sejauh Indonesia-USA, kan?
Tapi, berada di satu kampus dengan Indira tampaknya menjadi ide bagus. Andai saja, Universitas impian gadis itu ada di Jakarta. Semuanya pasti akan lebih mudah.
Bayangan dirinya dan Indira sedang bercengkerama di halaman kampus mulai berputar di kepalanya. Menunggu atau ditunggu di depan kelas saat salah satu dari mereka selesai lebih dulu tampak menyenangkan. Kemudian, mereka bisa mendiskusikan berbagai hal seperti pasangan pada umumnya. Berdebat, lalu berbaikan lagi karena hal-hal kecil pasti akan jadi rutinitas yang mengasikkan.
Revan menggerakkan badannya. Mengubah posisi menjadi telungkup di atas ranjang. Bayangan-bayangan indah tentang dirinya dan Indira menuntut ilmu di kampus yang sama tampak sangat menggiurkan. Kalau saja-
Drttt.. Drttt..
Revan menolehkan kepala. Mencari benda yang merusak imajinasi indahnya bersama Indira. Dengan kesal, cowok itu meraih ponsel yang ternyata berada tak jauh dari dirinya.
Nama yang tertera dilayar membuat kesalnya langsung pudar. Tanpa menunggu lama, cowok dengan kaos putih itu mengangkat panggilan video dari kekasihnya.
"Ngapain nelpon?" Cowok itu langsung berseru begitu layar ponselnya menampilkan muka bantal kekasihnya. Gadis itu tampak sudah siap tidur.
Indira memutar bola mata mendengar sambutan pertama kekasihnya.
"Ya udah aku matiin." Cewek itu tampak akan memencet tombol merah untuk mengakhiri panggilan mereka saat suara Revan menginterupsi, "baperan amat!" Seringai jail muncul di wajah tampannya.
"Kangen banget, ya? Dua hari lagi kan ketemu, Yang." Ekspresi dan nada bicara cowok itu berubah mendapati wajah keruh sang kekasih.
"Kalau udah kangen banget, besok dari Bandara aku langsung ke tempat kamu, deh." Revan berusaha merayu, namun Indira tampak masih kesal karena ulahnya barusan.
Sial! Dia jadi menyesali sikap jailnya yang sering kali tidak tau tempat.
"Yaang, aku bercanda! Kamu ada masalah, ya? Makanya jadi sensitif gitu," cowok itu menjeda ucapannya, tampak menyadari sesuatu, "oooh.. kamu lagi dapet?"
Indira lagi-lagi hanya memutar bola mata sebal. Tadinya, dia menelpon untuk curhat. Dia ingin menceritakan sesuatu yang baru saja dia perdebatkan dengan kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya tetap kekeh menyekolahkan adiknya di sekolah yang tempatnya lumayan jauh dari rumah, dan Hana harus tinggal di Asrama sekolah yang benar-benar tidak diinginkan adik kecilnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Fiction générale"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...