Indira
Aku terus melangkah ke depan, mengikuti ke mana pun kakiku berjalan. Hatiku berdebar kencang, terus-terusan dilanda bimbang.
Kenapa? Kenapa itu yang kurasakan? Kenapa aku sama sekali tidak mendapat kepuasan?
Aku baru saja membalas apa yang dulu pernah dia lakukan. Seharusnya aku bahagia, kan? Harusnya aku lega!
Tapi kenyataannya, hatiku malah hampa. God, what's wrong with my heart?
Aku menarik napas dalam-dalam. Berusaha menetralkan detak jantung yang masih tak karuan.
"Dia bukan siapa-siapamu lagi, Ra. Kamu memang sudah punya pacar. Jadi, Apa yang kamu lakukan tadi sudah benar. Dan tolong berhenti mencari alasan untuk tetap memikirkan laki-laki itu!"
Aku terus-menerus menanamkan kalimat itu di kepala. Berharap bisa menjadi mantra untuk menyudahi kegundahan yang dari tadi melanda.
***
"RAA!! DIRAAAA!!"
Mataku segera terbuka begitu mendengar teriakan Kinan. Ya, selain sama-sama bekerja di toko Kenanga, kami juga tinggal di atap yang sama. Bukan hanya berdua, ada Amira juga yang pasti saat ini sudah sampai di toko.
"RAAA!!"
Aku menguap lebar sebelum bangkit dengan malas dari ranjangku. Setelah memutar kunci, aku membuka pintu, dan langsung dihadiahi wajah muram Kinan.
Kenapa?
"YA AMPUUN, RAAAA!!" dia berteriak tepat di depan wajahku.
"Apaan sih, Ki! Nggak usah teriak-teriak bisa kali." Ujarku sewot. Ekspresi Kinan tidak berubah, malah memutar tubuhku lalu mengamati dari atas sampai bawah.
Dia menghembuskan napas lega begitu menyelesaikan perbuatannya. "Gue deg-degan banget tau. Lo ngapain coba pakai acara ngunci pintu segala!"
Selama hampir satu tahun tinggal di sini, aku memang tidak pernah mengunci pintu. Saking dekatnya, kami seperti tidak memiliki privasi satu sama lain.
Alasan aku mengunci pintu tadi malam, karena tidak ingin mengganggu Kinan ataupun Amira. Tadi malam tiba-tiba jiwa melankolisku kambuh. Mungkin karena kejadian kemarin, juga karena bayangan menakutkan di masa depan.
Singkatnya, overthinking-ku kembali datang. Bayangan tentang permintaan maaf Revan terus-terusan menghantuiku. Dan jujur, hatiku sedikit goyah. Atau mungkin, dari awal aku memang tidak memiliki pendirian.
Hatiku terus saja terombang-ambing. Gamang antara mempertahankan Mas Reyhan yang begitu tulus mencintaiku, atau kembali pada Revan yang pernah menorehkan luka di hatiku.
Jika aku waras, sudah pasti aku akan berlari ke arah Mas Reyhan dengan senang hati. Nyatanya, aku malah dilema. Mungkin, aku memang tidak waras.
"Woy, malah nglamun lagi!" Kinan berseru sambil menepuk keras pundakku. Aku hanya menatap sebal ke arahnya.
"Lo nggak ngajar?" tanyanya. Mataku langsung melebar, pantas saja dari tadi aku merasa ada yang salah.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku panik sambil lari ke dalam kamar, buru-buru mencari handphone untuk mengecek jam. "Setengah sepuluh." Jawab Kinan begitu sudah memasuki kamarku.
Sial! Kenapa aku bisa telat bangun? Tentu saja bisa! aku baru tidur setengah lima pagi.
Benar, semalam aku kesulitan memejamkan mata. Hatiku terus saja gelisah, dan entah kenapa aku malah tertidur saat pagi menjelang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Ficción General"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...