"Loh, Ra, kok pulang lagi? Bukannya Minggu depan ya harusnya?"Ibu yang kebetulan sedang berada di depan rumah menatapku terkejut, mungkin tidak menduga aku akan pulang hari ini.
"Kangen sama ibu." Jawabku sekenanya, lalu beranjak memeluk ibu erat-erat.
"Baru juga seminggu. Biasanya kan dua Minggu baru pulang." Sahut ibu sambil mengelus lembut rambutku.
Aku nggak tau harus bercerita dari mana. Yang jelas.. ibu sudah memaafkanku. Ibu, ayah dan Hana sudah membuka pintu kedua untukku.
Harusnya aku nggak meragukan mereka, harusnya aku nggak terkungkung oleh ketakutanku sendiri, harusnya.. aku terus mencoba dan bukannya menyerah dipercobaan pertama.
Harusnya, aku nggak meragukan kasih sayang ibu dan ayah.
Tiga bulan lalu, setelah drama di pernikahan Mas Reyhan yang berujung pingsan dan sadar di rumah kakak perempuan Revan, aku benar-benar pulang. Menebalkan tekad untuk mendapat ampun dari orangtuaku bagaimanapun caranya. Aku bahkan sudah bertekad untuk tetap berada di rumah meskipun dianggap nggak ada dan nggak kasat mata.
Nyatanya, lagi-lagi aku termakan bayanganku sendiri.
Sesampainya di rumah, bukan sindiran apalagi caci maki yang kudapat. Melainkan pelukan dan tangisan ibu. Perempuan yang hampir berusia setengah abad itu meraung sambil memelukku.
"Kamu kemana saja, Ra? Dari mana saja? Apa ibu seburuk itu sampai kamu nggak mau nganggap ibu lagi? Sampai selama setahun penuh kamu pergi dan nggak sekalipun ngasih kabar. Apa ibu seburuk itu? Apa kamu nggak lagi menganggap ibu?"
"Ibu minta maaf. Ibu minta maaf karena sudah jahat sama kamu selama ini. Tapi kamu nggak boleh pergi begitu saja tanpa kabar, Ra. Kamu nggak bisa meninggalkan ibu begitu saja."
"Apa kamu nggak ingat sebelum semua drama ini terjadi, ibu adalah perempuan favoritmu? Ibu pernah menjadi orang yang paling kamu sayang, Ra. Bagaimana bisa kamu meninggalkan ibu tanpa pamit sama sekali?"
"Apa ini hukuman untuk ibu? Apa kamu berniat balas dendam atas sikap buruk ibu selama beberapa tahun terakhir?"
Aku merasa jadi anak yang paling durhaka saat itu, saat ibu mendekapku dan mengeluarkan kata-kata penyesalannya. Padahal aku yang salah. Dari awal aku yang egois. Tapi perempuan favoritku itu justru menanggung sakit luar biasa karena merasa gagal menjadi seorang ibu. Akhirnya, aku bersujud di bawah kaki mereka, memohon ampun atas segala kekacauan yang sudah kuciptakan.
Lalu setelah hari itu, secara perlahan, hubungan kami membaik. Kami seperti keluarga sempurna yang nggak pernah terpecah karena keegoisanku. Dan aku nggak bisa berhenti mensyukuri itu.
"Pulang sama Mas Edo lagi?" Pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku. Ibu mengurai pelukan kami lalu melongok ke belakang, tempat seseorang sedang berdiri dengan outfit berkendara super lengkap.
"Halo, Tante." Mas Edo memeluk ibu sejenak. "Iya dong sama Edo. Rara mana bisa sih sehari aja hidup tanpa ngerepotin aku." Kelakarnya.
Aku hanya memutar bola mata, sedangkan ibu tertawa ringan sambil memukul bahunya. Mas Edo memang paling bisa mencairkan suasana.
"Kamu ke Malang cuma buat jemput Indira, Mas?" Tanya ibu.
Mas Edo menggeleng, "Kebetulan aku lagi ketemu teman di sana, Tan. Terus ingat kalau besok weekend, jadi iseng ngajak pulang Indira sekalian. Kirain bakalan nolak, eh taunya malah kesenengan dia." Adunya.
"Walah! Kirain PP Surabaya-Malang cuma buat jemput Indira. Kan ngerepotin banget."
Mas Edo terkekeh, "Untung sayang sih, Tante. Jadi walaupun direpotin setiap detik juga aku pasrah aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...