Sudah tiga hari Mas Reyhan nggak ada kabar. Sejak ibu-ibu pelanggan Toko Kenanga yang mengaku sebagai teman dekat Bu Anisa bilang jika akan ada acara besar di rumah Mas Reyhan, dia nggak pernah muncul di hadapanku, bahkan sama sekali nggak menghubungi aku.Aku tentu sudah berulangkali menghubunginya. Menelpon, mengirim chat WhatsApp, DM, bahkan SMS kalau-kalau dia nggak punya paketan atau apa pun yang mengakibatkan dia sama sekali nggak bisa dihubungi. Tapi semuanya zonk, nggak ada hasil sama sekali.
Bu Anisa juga tidak pernah muncul di toko, dia sudah menyerahkan semua keperluan di sana pada Mbak Kinan, meminta Mbak Kinan menggantikan dirinya untuk sementara waktu.
Saat aku bertanya urusan apa yang membuat Bu Anisa sampai sama sekali tidak bisa ke toko, Mbak Kinan dengan gelagapan menjawab bahwa dia tidak tau apa-apa. Katanya, dia hanya di beri tanggung jawab dan tidak mungkin menolak kehendak bosnya.
Kemarin, sepulang sekolah aku menyempatkan waktu mengunjungi rumah Mas Reyhan, rumah pribadinya. Tapi dia tidak di sana. Tidak ada siapa pun saat aku menggedor gerbangnya. Padahal aku sudah membuang jauh egoku, meninggalkan gengsi dan bersiap mengatakan jika aku siap benar-benar memulai hubungan dengannya, tapi dia tidak ada, menghilang entah kemana.
Jadi, saat pagi ini aku memasuki ruang guru dan nggak menemukan dia di mejanya, aku sama sekali nggak kaget. Hanya sedikit kecewa.
Aku benar-benar ingin bertemu dengannya. Mencari tahu kemana dia pergi, mencari tau kesibukan apa yang membuatnya sama sekali nggak ada waktu untuk sekedar memberiku kabar, dan yang paling penting, aku ingin dia tau kalau hatiku sudah mulai menerimanya.
"Eh, Bu Indi.. sekarang agak siang yaa berangkatnya," pernyataan bernada nyinyir itu membuatku menoleh, aku sudah tau siapa pelakunya, tapi demi kesopanan, aku nggak bisa mengabaikannya.
"Iya, nih, Bu. Tadi pagi orderan ojek online saya nggak ada yang ambil, jadi harus nyari ojek di pangkalan," jawabku sambil memamerkan senyum selebar lima centi.
"Saya maklum kok, Bu, biasanya kan tinggal numpang sama Pak Reyhan, jadi nggak perlu repot-repot nyari ojek." Timpal Bu Nuri tanpa menghilangkan senyum mengejeknya.
Bu Nuri adalah salah satu guru yang paling nggak menyukaiku, entah karena iri atau apa, yang jelas dia selalu mencari kesempatan untuk menindasku. Jadi melihatku yang biasanya begitu diistimewakan oleh Mas Reyhan sekarang harus melakukan apa pun sendiri jelas menjadi kesenangan tersendiri untuknya.
"Hehe, iya, Bu. Orangnya sibuk banget, jadi nggak bisa ngasih saya tumpangan." Aku menjawab sambil melangkah menuju mejaku, berniat menyudahi percakapan perusak mood pagi ini.
"Masa, sih, Bu? Biasanya sesibuk apa pun Pak Reyhan kan nggak pernah membiarkan Bu Indi berangkat atau pulang sendiri,"
Aku hanya meringis lebar menanggapi ejekan tersiratnya, enggan membuat drama di ruangan ini. Guru-guru yang lain memang tampak acuh, tapi aku tau sebenarnya mereka membuka telinga lebar-lebar, bersiap menonton pertunjukan.
"Jadi orang itu mbok ya yang sadar diri."
Aku baru akan membuka laptop saat kalimat itu diucapkan, tanpa pikir panjang aku mengangkat kepala, menatap ke arah meja di baris ke tiga deret dua. Meja Bu Nuri. "Maksudnya gimana, ya, Bu?"
Bu Nuri hanya mengendikkan bahu acuh lalu beralih membelakangiku, merapikan rok lalu duduk manis di kursinya.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk nggak menghampirinya, menanyakan maksud ucapannya sekaligus melabrak mulut pedasnya. Dia sudah keterlaluan, tapi aku nggak bisa melakukan apa-apa.
Aku benar-benar butuh Mas Reyhan. Bukan, bukan untuk membalas sikap kurang ajar Bu Nuri. Aku hanya ingin dia ada di sini, memelukku dan mengatakan kalau omongan sampah siapa pun nggak boleh merusak hariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...