Bisa bicara sebentar? Gue di depan RS
Pesan singkat itu yang membuatku berjalan tergesa ke luar rumah sakit. Aku hanya penasaran, kira-kira apa yang akan dikatakan Reyhan setelah memergokiku memperhatikan adegan romantisnya dengan Indira di kantin tadi.
Setelah semalaman menyaksikan Indira yang hanya duduk melamun di depan kamar inap ibunya tanpa punya keberanian untuk mendekat, pagi-pagi sekali aku sudah harus melihat pemandangan menyakitkan. Di mana Reyhan datang dan Indira segera memeluknya erat. Menumpahkan apa pun yang sejak malam dia tahan.
Padahal ada aku di sana. Duduk di kursi tidak jauh dari tempatnya, meratapi betapa tidak bergunanya aku bagi Indira, membuatku mulai kehilangan kepercayaan diri bahwa masih ada kesempatan untukku kembali dengannya.
"Nggak usah ke sekolah, biar gue yang urus perizinannya." Adalah kalimat pertama yang Reyhan ucapkan begitu aku sampai di hadapannya.
Aku mengangkat alis, menanyakan maksud dari pernyataan laki-laki yang sedang berdiri tepat di samping mobil hitam yang sebelumnya belum pernah kulihat.
"Indira nggak akan mau lihat gue bolos, dan gue nggak bisa biarin dia sendiri di sini. Setidaknya kalau ada lo, gue bisa tenang." Jelasnya.
Sekali lagi aku dibuat penasaran, sebenarnya laki-laki di depanku ini, serius tidak sih, mencintai Indira? Kenapa dia selalu bertingkah seolah membuka jalan untukku.
Aku senang, tentu saja. Tapi bukannya ini aneh? Kalau aku jadi Reyhan, sedetikpun aku nggak akan membiarkan laki-laki mana pun mendekati kekasihku, apa lagi kalau laki-laki itu pernah punya masa lalu dengan Indira dan masih ngotot ingin memperbaiki hubungan. Jelas aku akan mati-matian mengusir pengganggu seperti itu dalam hubunganku.
Tapi kenapa Reyhan malah secuek itu? Dia bertindak seolah tidak peduli kalau-kalau Indira kembali merasakan getaran masalalunya denganku, begitu kontradiktif dengan perlakuannya yang terlihat begitu jelas tidak ingin kehilangan Indira.
Aku jadi benar-benar penasaran, sebenarnya apa yang ada di kepala laki-laki yang sudah mengendarai mobil hitam itu. Dia bahkan asal pergi tanpa menunggu jawabanku.
***
Aku mengedarkan mata ke sekeliling kantin yang masih sepi, jumlah kepala yang ada di sini bahkan bisa dihitung dengan jari. Dan aku menemukannya di sana. Duduk terpekur di tempat yang sama.
Indira tidak sedang makan, tidak juga kelihatan menikmati segelas teh yang ada di hadapannya. Dia hanya diam, dengan mata lurus ke depan. Tampak sendu dan kosong.
Hatiku ikut sakit memikirkan apa yang kemungkinan mengganggu pikirannya. Apalagi kalau bukan kejadian tadi malam? Saat ibunya tiba-tiba memintanya untuk menikah denganku.
Sumpah demi apa pun, hal seperti tadi malam sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapatkan kejutan seperti itu.
Maksudku, setelah apa yang sudah aku lakukan, bukankah cacian atau tamparan adalah hal yang paling layak untuk kudapatkan?
Tapi apaa? Dari pada kedua hal tadi, aku malah mendapat kehormatan dari Bu Rima untuk menikahi putrinya.
Siapa sih yang nggak senang kalau ibu pasanganmu meminta untuk segera menikahi anaknya? Apalagi kalau perempuan itu adalah satu-satunya orang yang ingin kamu jadikan pendamping hidup.
Aku pasti akan langsung sujud syukur kalau saja tidak sadar bagaimana posisiku di hati Indira. Ditambah bagaimana ekspresi perempuan itu saat mendengar pernyataan ibunya.
Rasanya seperti dibawa terbang ke langit ketujuh, lalu dijatuhkan ke dasar bumi dan ditimpa batu-batu. That's hurt, more than hurt!
"Permisi, Mas!" Aku berjingkat mendengar suara di belakangku. Terlalu banyak berpikir membuatku tidak sadar sudah berdiri terlalu lama di depan pintu kantin. Aku tersenyum sungkan ke arah perempuan itu, lalu menyingkir dari sana, memberinya jalan untuk masuk.
Tidak betah hanya memikirkan hal-hal tidak jelas di kepala, aku memutuskan untuk menghampiri Indira. Barangkali kita bisa bicara layaknya dua orang dewasa untuk menyudahi drama-drama tidak penting yang mungkin akan segera tayang di episode kehidupan kami.
"Ra!" Itu adalah panggilan yang kesekian kali. Dan dia baru mengangkat kepala kaget. Seolah baru mendengar suaraku.
Dia mengerjap lama, mungkin berusaha mengumpulkan fokus yang entah tercecer di mana saja.
Kalau dilihat dari dekat begini, wajah Indira tampak begitu buruk. Oh, bukan! Bukan buruk dalam artian buruk. Maksudku, wajahnya benar-benar menjelaskan bahwa dia sedang sangat tidak baik-baik saja. Matanya berkantung dalam, jelas cekung dan hitam. Bibirnya yang terbuka sama sekali tidak menyisakan warna, selain pink pucat. Rambutnya kusut masai. Dan jangan lupakan bajunya, Indi masih mengenakan seragam toko yang sama dengan yang dia pakai saat menumpang mobilku kemarin. Secara keseluruhan, Indira kelihatan kacau. Benar-benar kacau.
Well. Sekacau apa pun penampilannya, Indira tidak pernah kehilangan pesona. Dia selalu berhasil menyemangati kinerja jantungku, membuat desir hangat tiap kali mata kami bertemu.
Indira menghembuskan napas kasar, matanya bergerak malas sebelum kembali memutar kepala membelakangiku. Okay, sepertinya niatku untuk berbicara baik-baik dengannya tidak akan berjalan lancar. Belum apa-apa Indira sudah kesal duluan hanya karena melihat wajahku.
Aku tidak mau menyerah. Jadi aku memutari meja, memposisikan diri untuk duduk tepat di hadapannya. Di kursi yang tadi di tempati Reyhan.
"Kita bisa ngomong pelan-pelan ke ibu, kalau kamu belum siap nikah sama aku." Kataku lugas, bermaksud memberikan alasan kenapa aku dengan lancang duduk di sini.
Melihat ekspresi horor Indira, aku baru sadar kalau mungkin ucapanku barusan sama sekali tidak cocok untuk dijadikan pembukaan. Mungkin aku butuh.. intro?
Ah, persetanlah! Lagi pula aku sudah tidak tahan melihat wajah tertekannya sejak semalam. Seperti apa yang dikatakan ibunya adalah pengumuman bahwa dunia akan segera guling tikar. Memangnya menikah denganku kelihatan seburuk itu?
"Ra, bisa ng-"
"Rev!" Kalimatku terpotong, tidak hanya karena seruan tiba-tiba Indira yang terdengar penuh penekanan, tapi juga karena matanya yang menatapku tajam.
"Kamu sadar nggak sih kalau kehadiranmu sama sekali nggak dibutuhkan?"
Aku menelan ludah. Itu kasar sekali, kan?
"Sadar nggak kalau keberadaan kamu di sini cuma nambah beban?"
Indira hanya sedang emosi, wajar kalau kalimatnya nggak terkontrol dan menyakiti hati.
"Okay, kamu memang nganterin aku kemarin, tapi nggak ada yang minta kamu buat tetap tinggal, kan? Harusnya kamu langsung pergi! Harusnya kamu nggak perlu nunjukin wajahmu itu di depan ibu!"
Matanya berkaca-kaca, tapi dari pada sedih, dia lebih kelihatan marah, "Harusnya kamu nggak usah balik ke hidupku lagi!"
Itu sudah keterlaluan, dari awal dia memaki aku hanya diam saja. Tau kalau dia memang sedang butuh pelampiasan. Tapi yang terakhir tadi benar-benar keterlaluan. Jadi aku segera berdiri, menyebrangi meja dan menarik tubuhnya. Mendekapnya kuat dalam dadaku.
Indira memberontak, tangannya memukul-mukul dadaku. Dia masih terus memaki, tapi suaranya sudah mulai pecah.
"Harusnya kamu nggak usah balik lagi," pukulannya mulai melemah, seiring dengan isakan yang kian kerap terdengar.
Indira mulai pasrah, menangis sendu dalam rengkuhan ku. Aku tidak tau sudah berapa lama hal seperti ini tidak terjadi sejak yang terakhir kali. Di mana aku adalah satu-satunya tempat baginya untuk menumpahkan duka. Di mana aku adalah satu-satunya tempat baginya untuk pulang. Dan dimana aku adalah satu-satunya orang yang dia inginkan.
"Harusnya kita nggak usah ketemu lagi," ujarnya pelan sebelum dadaku berat, tanda bahwa Indira tidak lagi punya kekuatan untuk menyangga tubuhnya. Setelah berjuang untuk tetap terlihat tegar, akhirnya gadis dalam pelukanku ini akhirnya tumbang, kehilangan kesadaran.
***
Bersambuuuuung
Thankyou sudah mampir <3

KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Ficción General"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...