19. Penjelasan Masa Lalu

4.4K 356 2
                                    

Revan

Sudah satu jam lebih aku dan Indira berada di depan ruang operasi. Benturan yang di alami ayah gadis itu mengakibatkan adanya pembekuan darah di kepala. Membuat para dokter harus segera melakukan pembedahan.

Indira masih diam, tubuhnya masih gemetaran, kedua tangannya saling meremas satu sama lain, tampak berusaha meredam kepanikan.

Berbeda dengan tadi, Indira saat ini sudah kembali seperti semula: menghindariku seperti hama.

Mungkin tindakanku --mencium keningnya-- adalah perbuatan yang gegabah, tapi melihat kepasrahannya benar-benar membuatku refleks melakukannya.

Tadi aku senang setengah mati, dia tampak membeku dalam keterkejutannya, kebekuan yang kutafsirkan sebagai penerimaan.

Sayangnya aku salah. Sekembalinya aku dari resepsionis, dia tampak menjaga jarak lagi. Entah bingung atau mungkin tersinggung dengan perlakuanku tadi.

Seperti saat ini, kami duduk di kursi yang sama, tapi dia memberi space satu kursi di antara kami. Jadi aku tidak bisa memeluknya lagi untuk menyalurkan ketenangan yang terlihat sangat dia butuhkan.

Aku menghela napas panjang, meredam keinginan untuk bangkit dan memeluknya. Aku tau dia membutuhkan itu, tapi aku tidak sanggup dengan konsekuensinya. Dia pasti akan menjauh lagi saat pikiran normalnya sudah kembali.

Jadi untuk saat ini, yang bisa kulakukan hanya menemaninya dalam diam. Menunjukkan bahwa aku benar-benar masih sangat peduli padanya.

Aku melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah jam delapan, artinya sudah satu setengah jam para dokter itu melakukan tindakan. Tapi lampu di atas pintu masih menampilkan warna merah, yang artinya belum ada tanda-tanda operasi akan segera usai.

Indira masih sibuk dengan kegiatan meremas tangannya sendiri, sesekali kepalanya mendongak menatap lampu indikasi yang juga menjadi objek perhatianku.

Tidak lama kemudian, derap langkah kaki menggema di koridor yang hampir sepi. Bukan hanya aku, Indira juga tampak mengangkat kepala ke arah sumber suara.

Aku membeku mendapati orang yang paling tidak kuharapkan datang kemari. Kemudian aku menoleh ke arah Indira yang kuharap hanya diam menatapnya.

Harapan yang benar-benar percuma. Karena begitu melihat sosok Reyhan berlari di ujung sana, Indira segera berdiri, turut berlari menghampiri laki-laki itu.

Dadaku kembali sesak melihat Indira yang langsung masuk ke dalam pelukan Reyhan, bahunya bergetar menumpahkan tangis yang dari tadi dia tahan.

Damn! Hatiku benar-benar sakit. Kehadiranku sama sekali tidak berarti bagi Indira.

Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, meredam rasa sakit dan juga emosi yang sedang menjalari tubuh dan hatiku.

Kapan Indira menghubungi bajingan itu?

Aku kembali menatap pemandangan menyakitkan di depanku. Di sana Reyhan masih tampak mengelus rambut Indira yang berada di pelukannya.

Lalu mata kami bertemu, dia tidak terlihat terkejut mendapati aku berada di sini. Mungkin Indira sudah bercerita bahwa dia bersamaku.

Aku melihat Reyhan membisikkan sesuatu di telinga Indira. Kemudian laki-laki itu berjalan dengan tetap memeluknya, membawa gadis itu kembali duduk di tempat semula.

Bedanya, kali ini space kosong itu di tempati oleh Reyhan. Laki-laki sialan itu berada di antara kami.

Di tengah kemelut kemarahanku, sesuatu melintas di benakku.

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang