Indira
"Permisi, Bu!" Aku menoleh mendengar suara diiringi tepukan di bahuku. Mendapati Cindy, salah satu murid berprestasi di sekolah ini, sedang tersenyum sungkan ke arahku.
Aku tersenyum, "Ada apa, Sin? Belum jam istirahat kok sudah di sini?"
"Maaf, Bu. Sudah bel istirahat sekitar sepuluh menit lalu." Aku mengernyit mendengar pernyataan itu.
"Iya ya, Sin? Kok ibu nggak dengar." Aku menjawab sambil melirik jam tanganku. Sudah jam 10.10.
"Ah, iya. Ibu terlalu fokus lihatin bunga mawar sampai nggak sadar kalau sudah waktunya istirahat," aku berusaha menjelaskan agar tidak tampak jelas bahwa aku melamun sendirian dari jam ke-empat tadi. "Ada apa?" Tanyaku lagi.
"Ini Bu, ada titipan dari Pak Reyhan. Beliau titip salam, katanya ada pertemuan dengan dewan sekolah di luar." Ujarnya sambil menyerahkan satu cup minuman, yang kutebak isinya adalah good day freeze, minuman kesukaanku.
Ah, laki-laki itu. Bahkan setelah aku pergi tanpa menghiraukan panggilannya di depan ruang guru tadi, dia sama sekali tidak mengejar dan mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Dia hanya memberiku waktu sendirian, dan sekarang, mengirimkan minuman kesukaanku. Mas Reyhan benar-benar sangat pengertian.
Aku menerima gelas plastik itu, lalu memasang senyum untuk pembawanya. "Terima kasih ya, Sin. Maaf ganggu waktu istirahat kamu." Kataku.
"Sama-sama, Bu. Oh, iya, maaf ya, Bu. Tadi saya lancang menepuk bahu Bu Indi, soalnya saya sudah panggil beberapa kali, tapi ibu tidak merespon." Ujarnya sambil tersenyum sungkan. Lalu menundukkan kepala, sebagai isyarat untuk mengundurkan diri. Setelah aku mengangguk, dia berlalu dari sini.
Ya ampun, bisa-bisanya aku melamun sampai tidak sadar ada yang memanggil!
Aku menghembuskan napas kasar, menyesali keteledoranku. Lalu pandanganku jatuh ke arah cup minuman pemberian mas Reyhan, yang kuletakkan di sebelahku.
Aku sedang berada di taman belakang sekolah. Duduk manis meratapi nasib setelah melarikan diri dari apa yang kulihat tadi.
Banyak siswa lalu lalang menuju kantin, dan mereka semua tampak menunduk sungkan. Mungkin, hal ini sudah berlangsung sejak tadi, tapi aku baru saja menyadari.
Aku meraih cup itu, meminumnya sedikit. Lalu tersenyum kecil. Tebakanku benar, ini good day freeze. Minuman yang biasanya selalu bisa menaikkan mood-ku.
Apa sekarang mood-ku naik?
Aku mencoba mencari jawaban pertanyaan itu, meresapi apa yang sebenarnya sedang kurasakan. Dan ternyata, good day freeze ini kehilangan kekuatan yang biasa dia miliki. Mood-ku masih berantakan. Hatiku tetap bimbang. Mungkin, aku lebih butuh mas Reyhan dari pada minuman pemberiannya.
Tapi aku sedikit lega. Setidaknya, mas Reyhan tidak marah.
Tadi, begitu melihat Revan, pikiranku langsung kacau, sama sekali tidak menyangka jika guru baru itu adalah dia.
Jadi, tanpa menghiraukan panggilan mas Reyhan, dan tanpa peduli pada pandangan penasaran Bu Pita, aku berlalu begitu saja. Mencari tempat untuk menenangkan diri.
Aku tau, aku egois. Pergi begitu saja, seperti yang kulakukan tadi, bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi mas Reyhan. Dia bisa saja berpikir yang tidak-tidak. Misalnya, aku masih mencintai Revan.
Jujur saja, itu memang tidak sepenuhnya salah. Aku pergi, karena bimbang. Aku tidak tau harus bersikap bagaimana di hadapan laki-laki itu. Lagi pula, hatiku juga masih sakit karena kejadian lima tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
Aktuelle Literatur"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...