6. Memori - 2

6.5K 574 45
                                    


"Aku mau pindah ke sana." Indira mendongak cepat. Menatap tepat ke arah Revan yang langsung menundukkan kepala.

"M- maksudnya?"

Indira salah dengan, kan?

Revan mengangkat wajah, menyelami raut sang kekasih yang dilanda kaget sekaligus cemas. Perlahan dia memberanikan diri menggenggam kembali jemari Indira yang baru saja melepas tangannya.

"Dari awal kamu tau, kan, kalau aku bakal kuliah di sana.." Revan menjeda ucapannya, terus mengawasi perubahan ekspresi Indira. "..jadi, besok aku berangkat."

Bibir Indira terbuka, benar-benar kaget mendengar berita yang dibawa cowok di depannya. Semasa SMA, Revan memang pernah bilang, dirinya akan melanjutkan pendidikan di luar negeri. Tapi, "bukannya setahun lalu, kamu bilang, nggak jadi ke sana?"

Revan menunduk lagi, tau betul bahwa semua memang sudah direncanakannya. Satu tahun lalu, dia memang bilang begitu, sengaja tidak mengatakan bahwa dia hanya akan kuliah di sini selama satu tahun, sampai kondisi ayahnya membaik. Setelah itu, dia akan berangkat ke USA, sesuai rencana awal. "Setahun ini, aku memang nggak ke sana, kan?"

Indira membelalakkan mata. Apa maksudnya? Setahun ini? Jadi, dia hanya akan ada di sini selama satu tahun?

Gadis itu melepaskan tangan dari genggaman Revan, "terus, kenapa kamu nggak bilang dari awal?" Indira mulai menaikkan nada bicara. Dadanya bergemuruh mendengar jawaban Revan barusan.

Revan mendongak, hatinya tercubit melihat mata Indira berkaca-kaca. "Yang, kita kan udah biasa LDR. Aku bakalan sering pulang, kok. Kamu nggak usah khawatir!" Cowok itu memegang kedua sisi bahu Indira, berbicara selembut mungkin agar pacarnya mau mengerti.

"Ini bukan masalah LDR, Rev! Ini soal kamu yang nggak bilang semuanya dari awal!" Suara Indira bergetar, gadis itu melepaskan tubuhnya dari rengkuhan Revan, kemudian mengalihkan pandangannya ke kaca mobil.

"Ra, aku bilang, atau enggak, itu nggak bakal ngubah apa pun. karena akhirnya aku akan tetap berangkat ke USA!"

Indira meradang mendengar pernyataan Revan yang seolah tak merasa bersalah sama sekali.

"Tapi kalau kamu bilang, aku pasti lebih milih jauh sama kamu dari awal! Aku bakalan milih LDR dari awal! Aku bakal tetap kuliah di Malang.." Cewek itu kehilangan suara, 

"s- setidaknya, ibu bapak nggak akan marah sama aku. Guru-guru Pahlawan Bangsa nggak akan kecewa sama aku. Dan hidupku nggak akan jadi kayak gini!"

"Maaf, Ra!" Revan kehilangan kata-kata. Pemandangan di depannya benar-benar menghancurkan hatinya. Semua memang salahnya, tapi, waktu tidak akan bisa di putar, kan?

Indira masih tersedu, teringat jelas hari di mana Revan mengajaknya bertemu di sebuah kafe pinggir jalan dekat sekolahnya. Waktu itu, dia berpikir Revan akan berpamitan karena akan segera berangkat ke luar negeri.

Nyatanya, Revan malah menyodorkan amplop berisi berkas pendaftaran yang sudah di isi atas nama Indira. Yang lebih mengejutkan, di dalam situ, sudah ada surat penerimaan dirinya. Bahkan, ada berkas beasiswa yang sudah di acc pihak kampus. Dengan kata lain, namanya sudah terdaftar sebagai mahasiswi baru di Universitas Batavia, Jakarta. Tempatnya menuntut ilmu saat ini.

Bukan hanya terkejut, Indira bahkan tidak bisa berkata-kata saat itu. Kemudian, tanpa diminta, Revan menjelaskan bahwa dia tidak jadi berangkat ke USA. Jadi, laki-laki itu memutuskan untuk kuliah di Universitas Batavia. Karena tidak ingin LDR, Revan turut mendaftarkan nama Indira.

Dari awal, Revan memang suka meminta satu copy setiap data yang digandakan kekasihnya. Tidak heran, jika dia memiliki data lengkap tentang dirinya.

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang