"Menanti sesuatu yang tak tau kapan menjadi milik kita. Harapan yang selalu berkembang namun tak kunjung datang."
🔮🔮🔮
Daisy berjalan masuk ke dalam rumahnya yang megah itu. Mobil sahabatnya sudah berada di garasi, itu berarti Alamanda sudah sampai ke rumahnya. Memang Alamanda sudah menganggap rumah Daisy seperti rumahnya sendiri, begitupun sebaliknya.
Beberapa kali gadis itu menghela nafas kasar, lelahnya kali ini bukan hanya fisik saja akibat pulang dari sekolah, tapi hatinya juga cukup lelah. Menanti sesuatu yang tak tau kapan menjadi miliknya. Harapan yang selalu berkembang namun tak kunjung datang.
"Non, Daisy? Lagi capek ya, non? Naik aja keatas udah ada non Ala. Nanti bibi bawakan makan siang dan cemilan," seru salah satu pembantu rumah tangga keluarga Daisy.
Daisy pun menoleh dan tak lupa dengan senyumnya. Walaupun sedang lelah, badmood, atau kondisi hati yang buruk, Daisy tidak pernah lupa dengan senyumnya yang terpatri cantik di wajahnya itu. "Iya lagi capek, Bi. Yaudah aku keatas dulu. Makasih ya, Bi!"
Daisy kemudian mengambil tasnya dan menyampirkan disebelah bahunya lalu menaikkan satu persatu anak tangga. Daisy memasuki kamarnya yang bernuansa soft pink itu dan melihat Alamanda tengah merebahkan tubuhnya di sofa kamarnya itu.
"Hai, Dai. Lama banget lo sampe rumah, pasti ngobrol sama Briannya seru banget ya sampe lo ngga mau pulang?" ledek Alamanda kemudian menegakkan tubuhnya.
Daisy hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan. "Apaan sih, Al. Jalanan macet, makanya gue lama sampe dirumah. Lo udah makan? Mau makan sekarang? Ini udah lewat jam makan siang,"
Alamanda menggeleng, "Ngga deh. Gue nanti aja, kalo lo mau makan, makan aja duluan. Gue tadi sempet ke supermarket dulu beli cemilan buat nemenin malam kita nanti!" seru gadis itu sembari menunjuk dua kantong plastik besar.
Pantas saja gadis itu tidak ingin makan siang, ternyata cacing-cacing di dalam perutnya sudah diberi cemilan. "Hmm, nanti bibi yang bawain gue makan. Gue mandi dulu ya, gerah!" Daisy kemudian mengambil baju dan handuk.
Alamanda pun memilih untuk mengambil laptop Daisy untuk menonton film, banyak sekali film yang sudah dibayar oleh Daisy. Dan, itu adalah surga dunia untuk Alamanda. Tak lama, Daisy keluar dari kamar mandi.
Gadis itu kemudian melakukan rutinitas setelah mandi di depan cermin. "Dai.." panggil Alamanda kepada Daisy yang fokus membalurkan body lotion ke tangan dan kaki jenjangnya.
"Hmm?" Daisy hanya berdehem untuk menjawab panggilan Alamanda.
"Gue mau nanya serius deh sama lo, tapi sini dulu!" suruh Alamanda, bahkan sekarang gadis itu sudah menutup laptop milik Daisy.
"Nanya apaan sih? Sok serius banget lo," Daisy menutup body lotionnya dan berjalan menuju sofa disamping Alamanda.
"Lo ngomong apaan sama Brian? Kasi tau gue dong, biasanya interaksi apapun sama Brian, lo selalu cerita sama gue. Tapi, sekarang? Bahkan lo dateng aneh banget, ngga ceria kaya biasanya. Brian ngomong sesuatu yang bikin lo sakit hati? Atau malah Brian bilang kalo dia ngga suka lo?" cerocos Alamanda tanpa henti.
"Ngga perlu ada yang gue ceritain ke lo, Ala. Soalnya ngga penting-penting banget. Gue ngga ceria karna lagi capek aja," elak Daisy kemudian memilih makan makanan yang sudah dibawakan oleh pembantunya. Menghiraukan Alamanda yang sudah sangat penasaran.
"Walaupun ngga penting lo harus cerita dong, jangan ada yang ditutup-tutupin, Dai! Gue sama lo sahabatan bukan dari tahun lalu, tapi sejak SD! Gue tau lo kaya gimana, begitupun sebaliknya. Inget, kekurangan lo itu ngga bisa menyembunyikan ekspresi lo!"
Daisy lagi-lagi menghembuskan nafas beratnya, ia memang salah jika bisa menyembunyikan semuanya dari Alamanda. "Brian ngga ada bilang ngga suka sama gue atau nyuruh gue jauhin dia kok. Tapi..." ucap Daisy menggantung semakin membuat Alamanda seperti arwah penasaran.
"Tapi... apa? Ngga usah kaya Gabriel deh yang suka gantungin gue," desis Alamanda tidak suka membuat Daisy terkekeh.
"Dih, lo sama Gabriel kan ngga deket, jadi dia ngga ada gantungin lo. Cuma lo aja yang berharap," jawab Daisy asal.
TUKK!!
Alamanda segera menjitak kening Daisy tidak peduli sang empu sudah meringis kesakitan. "Cepet ceritain! Ngga usah bully gue sampe bikin gue insecure,"
"Baik, kanjeng ratu."
Setelah pulang sekolah...
"Ada apa, Brian? Lo mau ngomong apa? Tumben berdua," Daisy sudah sangat penasaran dengan apa yang pria itu katakan. Mereka sekarang sudah ada di kelas lagi, duduk berdampingan.
Hal itu membuat Daisy gugup setengah mati, sebelumnya mereka tidak pernah duduk berdua seperti ini. Padahal mereka satu SMP, satu SMA dan sekarang satu kelas pula. Memang miris nasib Daisy Adisty.
"Previous, i'm so sorry to bothering you. Jadinya waktu pulang lo lebih lama karna gue ajak ngobrol,"
Daisy menggeleng kecil sembari tersenyum. "It's okay. Ngga masalah kok, lagian gue ngga ada kesibukan apa."
Gabrian manggut-manggut mengerti. "Gue tadi liat lo ngobrol bareng Camellia sama dua sepupunya sebelum Alamanda labrak mereka. Trus, gue sama Gabriel emang lagi nguping sih. Gue denger katanya lo ngikutin Camellia sama dua sepupunya dari lama,"
Daisy mengerutkan dahinya, topik pembicaraan mereka adalah tentang tiga adik kelas itu? Trus apa yang akan ditanyakan oleh Gabrian? "I-iya, gue emang udah follow mereka dari mereka masih di Bali dan followers mereka baru beberapa ribu. Emangnya kenapa?"
Gabrian berdehem kecil, "Ngga papa sih. Gue cuma mau nanya tentang Camellia. Lo kan udah tau dia dari dulu, jadi gue mau tanya aja tentang dia. Mau tau lebih jauh,"
DEGG!!
MY CAMELLIA
Untuk informasi lebih lanjut tentang 'My Camellia' kalian bisa hubungi penulis melalui via sosial media. Mari kita sharing seputar penulis dan novel!
Instagram : @dtaarianii
WhatsApp : 081236865211
KAMU SEDANG MEMBACA
My Camellia
Romance"Kamu Astungkara, aku Amin. Kamu Pura, aku Gereja. Kamu Weda, aku Injil. Bisakah aku menyempurnakan semuanya tanpa ada lagi perbedaan diantara kita walaupun aku tau itu tak mungkin?" "Apa aku bisa menjadikan dirimu milikku, meski aku tau dunia tak...