"Kak, ada apa lagi sih? Gue udah bilang, permintaan konyol lo itu ngga mungkin gue dengerin." Camellia mendapat pesan lagi dari Daisy untuk segera bertemu. Awalnya, gadis itu enggan untuk pergi, tapi Daisy terus saja mengirimkannya pesan hingga menelfonnya.
Tentu saja hal itu membuatnya risih, kini ia akan memperjelas semuanya, agar Daisy tak perlu berharap untuk itu. "Gue kan udah bilang, urusan kita belum selesai."
"Urusan apalagi?"
"Gue selalu ngalah, Li. Apa gue ngga bisa bersikap egois? Coba deh lo tempatin posisi lo di posisi gue. Tapi, lo ngga akan pernah tau rasanya sih, karna seseorang cuma bisa mengerti penderitaan orang lain, jika dia benar-benar ada di posisi orang tersebut."
Camellia benar-benar kehabisan akal menghadapi kakak tingkatnya yang berubah. "Dalam dua tahun ini lo bisa berubah drastis ya, kak?"
"Yang kekal dan abadi di dunia ini itu perubahan, gue bahkan ngga pernah punya sedikit kesempatan. Brian selalu menganggap gue temen, temen sejak SMP. Kita sesama perempuan, pasti lo tau rasanya."
"Kak, kalo lo ada di posisi gue juga gimana? Lo punya pacar, dan lo cinta banget sama pacar lo, bahkan untuk berpikir putus aja engga, apa lo bakal ngelakuin apa yang gue minta untuk putus sama pacar lo? Sebelum lo ngomong, lo seharusnya tau resiko dan konsekuensi untuk diri lo dan diri orang lain." cam Camellia.
"Sekali pun gue memang putus sama Brian, lo emangnya bisa pacaran sama dia? Seperti yang lo bilang, Brian cuma nganggap lo sebagai teman bukan wanita." ucapan Camellia memang menusuk hati Daisy, namun tak dipungkiri semuanya adalah fakta.
Fakta selalu bersifat menyakitkan, kan?
Daisy berusaha bersikap biasa. "Gue tau. Tapi, setidaknya dia ngga terikat hubungan sama siapapun itu. Lo sama dia beda agama kan? Seandainya hubungan kalian bener-bener lanjut ke jenjang serius, Brian tetap berada di Tuhan-Nya, sedangkan lo? Lo mau ninggalin Tuhan lo? Agama lo tekun dan percaya adanya Tuhan kan? Lo selama ini rajin sembahyang, supaya lo bisa diizinin pindah agama?"
BRAKAKK!!
"Jaga ucapan lo ya, kak! Lo ngga berhak untuk sebut Tuhan gue atau pun Tuhan agama lain. Gue selama ini ibadah tulus, dan ngga pernah minta apapun sama beliau. Jadi, lo jangan sok tau untuk itu." Camellia tersulut emosi karna ucapan Daisy.
"Well, maaf. Tapi, untuk apa hubungan ini ada kalo restu Tuhan dan restu orang tua ngga lo dapet? Lo yakin semua berjalan sesuai keinginan lo?"
Kemarahan Camellia sirna begitu saja. Apa maksudnya? Mengapa ia tau soal orang tuanya yang tak setuju? "Lo ngomong apa sih? Apa salahnya sama cinta beda agama? Tuhan itu cuma satu, dan kita semua sama, kita sama-sama diciptakan oleh Tuhan."
"Li, sekali pun kalian bersama, lo ngga pernah lupa bahwa lo ninggalin Tuhan lo demi hamba Tuhan yang lain."
***
"Hallo, Lia. Bunda sama papa dan juga kak El berencana ke Jakarta sebelum keberangkatanmu. Supaya kita bisa antar kamu ke bandara."
"N..ngga usah repot-repot, bun. Kalian bertiga pasti sibuk."
"Ngga papa sayang, kita bisa cuti. Masa iya kamu pergi jauh kita ngga liat."
"Yaudah, terserah bunda."
"Kamu baik-baik aja kan? Kok suaramu serak gitu? Kamu sakit.. atau nangis?"
Pertanyaan bundanya semakin membuat Camellia menangis dalam diam. "Ngga papa, bun. Mungkin karna aku kecapekan aja. Nanti aku telfon lagi."
"Bunda tau kamu bohong, tapi setelah bunda di Jakarta, ceritain semuanya ya? Jangan ada yang ditutup-tutupin. Bunda yakin bunda bisa ngerti kamu."
"I love you, bunda."
***
Tak terasa 10 hari lagi adalah keberangkatan Camellia untuk mengejar cita-citanya dan meninggalkan negara Indonesia untuk sementara waktu. Waktu terasa bergulir sangat cepat, bukan hal yang menyenangkan bagi Camellia. Justru beberapa hari terakhir ia sulit tidur.
Kedua orang tuanya dan kakak laki-lakinya akan datang hari ini, Camellia sudah siap untuk menuju bandara. Dengan pakian casualnya, Camellia mengambil kunci mobil. Kedua saudaranya sedang tidak ada dirumah karna mengurus keberangkatan mereka masing-masing.
Setelah beberapa menit perjalanan menempuh kota Metropolitan, Camellia akhirnya sampai di Bandara. Ia bergegas mencari kedatangan Internasional. Camellia melihat pesawat yang keluarganya tumpangi sudah mendarat.
"Astungkara." Camellia berucap syukur karna dari kejauhan ketiga keluarganya itu berjalan mendekatinya, pesawat mereka mendarat dengan selamat.
"Hai, bunda papa, Kak El!" Camellia dengan antusias menyambut mereka bertiga. Terutama Gabriel yang langsung memeluk adiknya dan mencium wajah adiknya berulang kali.
"Kakak kanget banget sama kamu. Makin cantik aja sih!" seru sang kakak.
"Aku juga kangen, kak El. Tapi, kakak ngga makin ganteng sih di Perth, masih sama aja!" canda Camellia.
"Ih, udah jadi bule ini!"
Amel dan Arazka hanya bisa geleng-geleng melihat kedekatan kakak beradik bak sepasang kekasih. "Bunda sama papa ngga jetlag?"
"Ngga sayang, aman terkendali." ucap sang bunda.
"Ayo kita pulang!" ajak Arazka dengan merangkul Camellia.
***
TOKK TOKK!!
"Dik, bunda boleh masuk?"
Camellia yang berada di kamarnya segera membukakan pintu untuk sang bunda, Amel. "Boleh dong, kok bunda isi nanya sih."
"Kamu lagi apa?" tanya Amel melihat meja belajar Camellia yang cukup berantakan untuk tipe gadis yang sangat mementingkan kebersihan.
"Lagi cek informasi tentang kampus disana aja, bun. Belum aku rapiin mejanya," sahut Camellia sembari merapikan kertas-kertas yang berserakan.
"Persiapannya udah beres? Waktu keberangkatanmu kan sebentar lagi, ada yang perlu bunda bantu?"
"Hmm, sekitar 85% lah, bun. Bunda ngga perlu bantu apa, cukup isi rekening aku." kekeh Camellia membuat sang bunda juga tertawa.
"Kalo itu mah pasti. Ngga kerasa ya Lia yang bunda rasa masih kecil sekarang udah dewasa dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Bunda merasa bersalah karna harus biarin kamu tumbuh tanpa kasih sayang orang tua penuh. Apalagi sekarang kamu juga harus pergi jauh. Bunda dan papa cuma bisa sibuk dengan perusahaan. Bahkan bunda ngga tau gimana perjuanganmu untuk apply tiga universitas bagus. Maaf, nak."
Air mata ibundanya menetes membuat Camellia dengan segera memeluk ibunya. "Bun, jangan pernah bilang itu lagi. Walaupun kita jauh, tapi hati kita deket, bun. Aku juga tau bunda sama papa itu sayang aku, itu udah cukup. Aku masih denger kabar kalian kalo kalian baik-baik aja dan sehat itu udah lebih dari cukup, bun. Tanpa bunda disini bukan berarti aku harus jadi anak berandalan. Aku juga perlu banggain bunda dan papa yang berjuang untuk aku dan kak El juga."
Amel pun mengeratkan pelukannya. "Bunda beruntung punya anak-anak yang dewasa dan open minded. Ngga pernah sedikit pun kamu dan El mengecewakan bunda dan papa."
"Aku juga beruntung jadi anak bunda dan papa." air mata Camellia juga menetes, namun ia tak ingin menampilkannya di depan sang ibu.
"Oh ya sayang, hubunganmu sama Brian? Kamu sudah pikirin perkataan bunda dua tahun lalu?"
Camellia sudah tau ibunya pasti akan membahas ini. "Aku ngga pernah tau hubungan kita akan sampai sekarang. Dan, ternyata perasaan ini semakin besar."
Amel mengelus rambut anaknya, "Ngga ada yang salah dari perbedaan itu, Li. Hanya saja, cintai umat yang sama dengan Tuhan-Mu. Itu lebih baik. Hubungan kalian memang baik-baik saja, bunda tau Brian pria yang sangat baik. Tapi, bersamanya dengan meninggalkan Tuhan-Mu, tidak akan membuat kamu lupa, bahwa kamu telah meninggalkan Tuhan-Mu."
"Dengan perasaanmu yang kian besar untuk Brian, hubungan kalian akan sulit untuk dilepaskan. Jadi, lepaskan sekarang sebelum semuanya semakin sulit."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Camellia
Romance"Kamu Astungkara, aku Amin. Kamu Pura, aku Gereja. Kamu Weda, aku Injil. Bisakah aku menyempurnakan semuanya tanpa ada lagi perbedaan diantara kita walaupun aku tau itu tak mungkin?" "Apa aku bisa menjadikan dirimu milikku, meski aku tau dunia tak...