Camellia - 65. Selamat tinggal, semuanya

41 1 2
                                    

H-H keberangkatan.

"Hati-hati ya disana. Kabarin kalo kamu udah sampai. Ini baru awal kehidupan kamu, Lia. Jadi, kamu harus tetep kuat sama apapun yang akan terjadi kedepannya. Ingat pesan bunda itu." Amel memeluk putri bungsunya, setetes air mata membasahi pipinya itu. Namun, dengan cepat dihapusnya, ia harus tetap kuat dan tegar di depan Camellia.

Amel, sang ibunda sudah mengetahui kabar bahwa Camellia memilih mengakhiri hubungannya dengan Brian. Sedih, tentunya sang ibunda juga sedih harus melarang hubungan beda agama itu. Namun, apa boleh buat? Ia hanya bisa meminta putrinya untuk tetap berada di agama yang sudah ia anut dari nenek moyang mereka.

"Makasih ya bunda, selama ini udah dampingi aku di proses pendewasaanku."

Camellia kemudian beralih ke papanya, Arazka. Beberapa petuah juga disampaikan oleh sang ayah untuk putrinya. Kemudian beralih pada sang kakak, Gabriel. Yang selama ini telah menjaganya bak orang tua kepada anaknya. walaupun ia jauh dari bunda dan papamya, tapi Camellia tidak pernah merasa kesepian.

"Kak El, makasih ya selama ini udah jaga Lia. Sekarang di Paris, ngga ada yang jagain aku." Camellia mati-matian menahan tangis agar orang yang ia sayang tidak ikut sedih, namun rasanya sulit sekali.

Gabriel memeluk adik bungsunya, sangat berat melepas sang adik ke kota besar untuk menggapai cita-citanya itu. "Walaupun kak El ngga bisa ada disamping kamu, tapi doa kakak selalu menyertai kamu, Lia. Kamu tetep semangat. Kembali dengan gelar aktris, ya!"

Camellia tertawa singkat. Kemudian ia menghampiri kedua sepupunya. "Del, Sa. Kalian yang semangat ya di negara tempat kalian kuliah nanti. Jangan lupa tetep kabar-kabaran." Begitulah sekiranya Camellia menarik kopernya menghampiri orang-orang yang akan ia tinggal untuk sementara waktu.

Sembari... melihat sekitaran bandara menunggu kehadiran sosok lelaki yang sampai detik ini masih menghiasi hatinya. Pemberitahuan pesawat yang akan ia tumpangi terdengar. 15 menit lagi gadis itu harus segera masuk untuk melakukan beberapa pengecekan sebelum masuk ke dalam pesawat dan lepas landas.

Namun, pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Apa pria itu melupakan janjinya? Apa pria itu tidak sanggup harus berpisah secara hubungan dan juga jarak? Tapi, bisakah ia hadir sebentar? Hanya untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Kurang lebih begitu yang ada dipikiran Camellia.

"Li? Kamu nunggu Brian?" bisik Gabriel, karna adiknya kentara seperti mencari seseorang.

Camellia hanya diam melihat sekitaran bandara. "Tapi, pesawat sebentar lagi berangkat." ingat Gabriel semakin membuat Camellia gelisah.

Camellia menghela nafas berat, dengan perasaan kecewa ia menarik kopernya. "Aku berangkat, ya." mereka disana melambaikan tangannya pada Camellia yang semakin lama semakin jauh. Gadis itu berulang kali melihat kebelakang berharap Brian datang terlambat.

"Kak Brian ngga dateng?" Ucap Edelweiss.
"Apa ngga siap sama perpisahan mereka?"
"Ya setidaknya dateng, Sa. Walaupun berat, ngucapin say good bye lah minimal."

trringg!! trringgg!

Gabriel mendapat telfon dari Gavin. Menghiraukan celotehan Sakura dan Edelweiss yang berdebat akan ketidakdatangan Brian ke bandara.

"Ya, hallo Vin? Gue lagi di bandara."
"APA? Oke, gue segera kesana!"

Dari kejauhan Camellia sudah memberikan paspor dan segala surat-surat yang perlu di konfirmasi oleh pihak bandara untuk di cek kembali. Ia melihat kakaknya menerima telfon lalu segera lari keluar bandara disusul oleh kedua sepupunya.

Camellia mengernyit bingung, kenapa mereka buru-buru pergi? Padahal sesaat tadi, mereka ingin melihat pesawat yang ia tumpangi lepas landas, baru mereka akan meninggalkan bandara.

Camellia segera masuk dan mencari pesawatnya. Pandangannya kosong namun pikirannya ramai. Pertanyaan demi pertanyaan serta perkiraan muncul di otak Camellia mengenai alasan mengapa Brian tidak ke bandara untuk perpisahan mereka dalam beberapa waktu.

Apa pria itu marah? Marah karna keputusannya untuk memgakhiri hubungan mereka? Tak sadar air matanya menetes perlahan, air mata itu kemudian semakin banyak membanjiri pipi Camellia. Mengingat semua memori yang telah ia habiskan bersama Gabrian. Rasanya semakin tidak ingin menerima fakta bahwa mereka telah berpisah.

Apakah mereka memang tidak bisa bersama? Apa kesedihan ini hanya sementara? Apa ia bisa mendapat pengganti Brian?

Sadar tak ingin menjadi pusat perhatian, gadis itu mempercepat langkahnya agar segera berada di pesawat dan bisa menumpahkan segala kesedihannya.

Karna terlalu cepat, gadis itu menabrak seseorang sehingga koper orang tersebut terjatuh, dengan rasa bersalah gadis itu menunduk. "Maaf, maaf sekali. Saya ngga sengaja karna buru-nuru."

"Oh, ngga apa-apa. Tapi, lain kali hati-hati ya. Singapura airlines 20 menit lagi kok lepas landas." ucap orang itu membuat Camellia menegakkan wajahnya.

Cantik. Batin pria itu.

Merasa raut wajah Camellia yang bingung pria itu menunjuk tiket pesawat yang Lia pegang. "Tujuan kita sama, France."

Camellia kemudian mengangguk pelan. "Sekali lagi saya minta maaf. Permisi,"

○○○

Camellia sudah berada di pesawatnya, masih dengan pikiran berkecamuk, gadis itu mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Brian. Apa sebaiknya ia bertanya? Bimbang, namun ia akhirnya memutuskan untuk menhhubungi Brian agar rasa penasaran tidak menghantuinya.

Camellia : kamu kenapa ngga jadi ke bandara? Karna kita ngga sempet ngucapin selamat tinggal, aku bilang disini aja ya, hehehe. Selamat tinggal, Gabrian Rayn Arion. Makasih karna udah memperindah hidup aku walaupun hanya sementara. Aku bener-bener bersyukur bisa ke Jakarta dan ketemu kamu. Bahagia selalu.

Setelah mengirimkan itu air matanya kembali luruh, jika tau hari ini ia tidak bertemu Brian, maka seharusnya kemarin ia menghabiskan waktu lebih lama di cafe.

Dan, saat itu juga pesawat yang membawa Camellia lepas landas, meninggalkan tanah air, meninggalkan orang-orang yang ia sayang, dan hubungan yang 2 tahun belakangan ini ia jalin bersama pria yang ia kira akan menjadi yang pertama dan terakhirnya.

Ternyata benar, cinta pertama tak selalu berakhir bahagia. Hanya satu yang ia bawa pergi bersamanya, kenangan. Sampai kapanpun, Camellia tidak akan pernah lupa kenangan yang pernah ia toreh di kota itu bersama pria yang bisa mengubah hidupnya.

Selamat tinggal, Indonesia. Selamat tinggal, Brian. Dan, selamat tinggal, semuanya.

"Hai, lo yang tadi ya?" sapa seseorang membuat gadis itu segera menghapus air matanya.

Pria itu mengetahui bahwa Camellia menangis, namun ia tak ingin bertanya soal itu. "Gue cuma mau nyapa aja, maaf kalo ganggu. Nama lo siapa?"

Camellia menjabat tangan pria itu. "Mawar Camellia Garbera. Lo?"

"Agra Aryana. Panggil Agra."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My CamelliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang