Camellia - 58. Daisy yang berbeda

13 2 0
                                    

"Hallo, bun?"
"Iya, kenapa sayang?"
"Apa kabar, bun? Papa sama kak El sehat kan?"
"Sehat, sayang. Kamu gimana?"

"Sehat juga, bun. Aku nelfon karna mau kasih tau kalo aku keterima di tiga universitas yang udah aku daftar."

"Wah, great! Kamu sama Gabriel itu memang pinter dan kebanggaan bunda sama papa. Trus kamu mau ambil yang mana? Dimana pun itu bunda sama papa pasti dukung."

"Aku mau ambil di Paris, bun. Karna aku ngerasa udah cukup belajar bahasa France. Nanti disana tinggal menguasai aja."

"Really? France? It's okay. Kamu tinggal urus keberangkatanmu, nanti setelah itu kasih tau bunda ya kapan berangkatnya, sebelum itu bunda sama papa bakal usahain untuk ke Jakarta."

"Thankyou, bunda. Aku tutup dulu, ya."

"Oke, see you.."

Camellia menutup telfonnya. Tak lama salah satu sepupunya datang ke kamarnya. "Sakura? Kenapa? Masuk sini!" ia melihat sepupunya hanya menengok dibalik pintu.

"Lo jadi ambil dimana, Li?"
"Paris. Lo gimana? Udah ada pengumuman?"
"Udah, gue keterima. Edelweiss juga."

Camellia tampak senang, karna ia tau sepupunya itu juga pintar. "Trus kenapa lo datar gitu? Seharusnya seneng dong, apa perlu kita buat party?"

"Bukan gitu, Li. Gue cuma sedih aja karna kita bertiga harus pisah. Ya, gue tau sih pada akhirnya kita memang bakal pisah karna kita bertiga punya tujuan hidup masing-masing. Cuma rasanya beda aja karna dari kecil kita selalu sama-sama."

Camellia mengerti perasaan sepupunya, begitupun dirinya. Sulit untuk berpisah dengan kedua sepupu yang sudah ia anggap saudara kandung. "Sa, kita pisah untuk sementara kan? Kita pergi untuk kembali. Indonesian is forever our home. 4 tahun itu ngga lama, dan selama 4 tahun itu juga pasti kita bakal liburan ke Indonesia kan?"

"Lo bener, Li. Oh ya, soal hubungan lo sama Brian?"

"Fine. Dia selalu dukung gue dari awal kan setelah dia tau gue bakal lanjutin study ke luar negeri."

"Gue tau itu, tapi lo tau kan tante Amel ngga setuju karna kalian ngga seumat," ucap Sakura pelan.

"Gue ngga tau, Sa. Gue ngga pernah berpikir hubungan kita bakal sampai di dua tahun ini. Dan, setelah dua tahun lamanya, semakin sulit untuk melepaskan."

"Gue ngga bisa bilang apa, Li. Tapi, gue yakin semua hidup ada jalannya masing-masing. Tunggu aja,"

****

Camellia menginjakkan kakinya keluar gedung. Ia bernafas lega satu per satu urusan keberangkatannya akan segera selesai. Ada rasa sedih kala harus meninggalkan negara tercintanya. Tapi, ia juga harus mengejar cita-citanya.

"Camellia?"

Camellia tersadar dari lamunannya. "Kak Daisy? Lo disini juga?"

"Iya, gue baru abis perpanjang paspor. Kalo lo?"

"Iya sama. Gue juga lagu urus paspor untuk keberangkatan gue."

"Lo mau minum coffee? Mau ada yang gue bicarain." ucap Daisy datar. Camellia pun kebingungan karna gadis itu mengajaknya untuk minum bersama dan penasaran dengan apa yang ingin gadis itu bicarakan.

Camellia pun mengangguk dan hanya mengikuti gadis itu dari belakang. Sesampainya di coffeeshop, mereka berdua mencari tempat duduk.

"Pesen apa?"
"Coffee latte."
"Coffee latte satu sama Americano, mba."
"Baik, ditunggu."

Setelah coffee disajikan, Camellia menyeruputnya sedikit. "Hmm, lo mau ngomong apa?" tanya Camellia, karna situasi mereka sangat canggung. Biasanya gadis dihadapannya ini selalu ceria, entah kenapa berubah menjadi dingin.

Apa ada yang serius dengan pembicaraan mereka kali ini?

"Lo tau kan gue suka sama Brian sejak SMP? Dan, sampe sekarang gue masih suka. Apalagi kita berdua satu kampus, walaupun beda fakultas, tapi sesekali gue bisa ketemu dia."

"Lo ngga pernah tau kan perasaan yang ngga pernah berbalas? Gue rasain itu jauh sebelum Brian kenal mendiang Dahlia atau pun lo. Dan, sampe sekarang pun gue ngga punya kesempatan itu. Gue bertanya-tanya, bahkan ini pertanyaan untuk diri gue sendiri selama bertahun-tahun. Apa yang kurang dari gue? Apa gue kurang cantik? Gue kurang pinter? Apa kelebihan yang Dahlia dan lo punya sampe kalian berdua punya kesempatan itu?"

Daisy tampak berusaha untuk tegar, walaupun ia juga sebenarnya lelah. "Lo pasti berpikir apa gue ngga capek suka sama orang yang bahkan sedikit pun ngga pernah berpikir untuk punya perasaan yang sama ke gue. Capek, jujur gue capek. Tapi, gue ngga tau gimana cara berhenti. Dan, setelah bertahun-tahun ini, gue ngga mau berhenti, Li. Gue bakal melanjutkan perasaan ini apapun resikonya."

Camellia mendengar semuanya, namun ia tak tau inti dari percakapan mereka. "M-maksud lo apa, kak? Gue ngga masalah kalo lo masih suka Brian bahkan sampai tua pun. Tapi, lo tau kan kalo Brian pacaran sama gue. Dan, kita udah 2 tahun jalan."

"I know, really know. Gue mau punya kesempatan itu walaupun sebentar, Li. Tolong.."

Perasaan Camellia tak enak. "Kesempatan?"

"Lo putus sama Brian."

Jelas Camellia terkejut, maksud gadis itu apa? Putus? "Kak, gue tetep menghormati lo karna lo pernah jadi kakak kelas gue di SMA, tapi kalo lo berperilaku ngga sopan gini gue ngga bisa tolerir lagi. Lo nyuruh gue untuk putus sama Brian? Hak apa yang lo punya sampe lo berani bilang gitu? Gue tau lo capek, lo frustasi dan ngga tau harus berbuat apa. Tapi, lo ngga bisa paksa keadaan. Apa lo yakin perasaan lo tetep sama? Perasaan yang tulus untuk Brian? Atau selama dua tahun terakhir ini berubah jadi obsesi? Memaksa perasaan itu sama aja kaya obsesi, lo tau itu."

"YA! GUE OBSESI. Gue bukan Daisy yang sama. Yang polos dan terlalu berperasaan. Yang selalu biarin dirinya sakit hati. Daisy Adisty yang dulu udah mati, Li. Dan, sekarang gue mau dapet kesempatan itu. Kesempatan kecil dengan resiko besar. It's okay, gue bisa. Setidaknya gue pengen kalian pisah, dan Brian bukan milik siapa-siapa."

Baru saja Camellia ingin berbicara, ponselnya berbunyi. Dengan rasa marah dihatinya, gadis itu melihat ponselnya, Brian. Nama yang terpampang jelas.

"Hallo?"
"Udah selesai urusan paspornya?"
"Iya udah kok. Kamu dimana?"
"Aku habis kelas, mau aku jemput sekalian?"
"Ngga usah, kamu balik Apartment kan?"
"Iya aku ngga pulang ke rumah dulu. Lebih deket ke Apartment."
"Yaudah, nanti aku mampir kesana. Bye."

PIPPP!!

Daisy tau yang menelfon Camellia adalah Brian. Rasa iri dan cemburu itu selalu ada, ia ingin jadi
posisi Camellia walau hanya sebentar. "Gue balik dulu, soal lo yang nyuruh gue untuk putus, jangan berpikir untuk itu, kak."

"Li, bagi gue urusan kita belum selesai. Gue bakal omongin ini lagi."

"Terserah lo," Camellia segera mengambil tasnya dan pergi meninggalkan Daisy dengan rasa kecewa, marah, dan bingung. Entah apa yang membuatnya marah, seharusnya ia tidak perlu memperdulikan ucapan Daisy yang tiba-tiba.

Apa karna ia selalu berpikir hubungannya dengan Brian akan segera berakhir? Apa karna ia selalu berpikir cinta pertama selalu berakhir menyedihkan? Atau ia tidak rela jika suatu saat Daisy dan Brian benar-benar bersama?

My CamelliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang