Clava menatap kosong kearah danau yang hanya diisi dengan satu bangku dan satu lampu. Sama sekali tak merasa takut. Matanya berkaca-kaca, bahkan sekali kedipan akan meruntuhkan pertahanannya. Perkataan Gabriel di rooftop masih terngiang jelas di telinganya.
Apa bisa ia memutar waktu? Jika bisa, ia memilih untuk tidak meninggalkan Gabriel. Tapi, semua itu tak bisa dia salahkan.
"Clava!"
Clava dengan cepat menghapus air matanya. "Hai. Udah dateng ternyata,"
"Lo udah lama ya nunggu? Sorry gue kelupaan soalnya gue sibuk belajar untuk olimpiade,"
Clava menatap pria di hadapannya ini, tak sedikit pun perasaannya berubah untuk Gabriel Jayn Narazka. Lalu mengapa perasaan pria itu sudah berubah terhadapnya? Apa tidak terlalu egois?
"Clava?" panggil Gabriel karna melihat gadis itu melamun.
"Eh, gue yang seharusnya minta maaf karna udah ganggu lo waktu lo sibuk siapin olimpiade. Tapi, gue denger lo selalu menang olimpiade. Semoga tahun ini lo juga menang. Semangat." ucap Clava dengan senyumnya.
"Ya begitulah. Oh ya, lo mau ngomong soal apa? Kenapa di tempat ini?"
"Karna tempat ini adalah tempat terbaik dalam hidup gue. Lo inget danau ini kan? Selama gue di LA, gue selalu kangen sama tempat ini. Gue selalu bertanya-tanya, apa tempat ini masih sama? Atau mungkin udah berubah? Ternyata masih sama. Bangkunya ada satu, lampunya juga masih satu."
"Hmm, lo bener. Pemandangan disini bagus, gue juga udah lama ngga kesini. Walaupun cuma diterangi satu lampu, ga menutup pemandangannya yang indah,"
"Tempat ini ngga berubah, perasaan gue juga ngga berubah, tapi kenapa perasaan lo berubah?" tanya Clava serius.
Gabriel pun menoleh kearah gadis itu. "Maksud lo?"
"Gue kira setelah gue balik ke Jakarta, gue masih punya kesempatan. Kesempatan untuk bangun hubungan yang baru. Gue berusaha nunggu, walaupun kita ngga bisa sedekat sebelum kita jadian dulu. Gue memang udah punya pikiran kalo lo ngga pengen balik lagi ke gue, dan ternyata gue memang bener. Kesempatan itu memang udah ngga ada. Mungkin sejak dulu."
"Clava.."
"Gab, gue mohon. Sekali aja, gue masih sayang sama lo. Kalo lo belum bisa sayang gue lagi, ngga masalah. Gue akan tunggu, bahkan gue akan berusaha supaya lo bisa suka gue lagi. Terserah lo mau bilang gue murahan dan ngga punya harga diri, tapi gue kaya gini cuma untuk lo, Gab."
Gabriel menghela nafas kasar. "Clava, waktu lo balik ke Jakarta gue kaget sekaligus seneng bisa ketemu lo setelah 2 tahun, dan gue juga seneng liat lo sehat dan bahagia. Tapi, perasaan itu udah pergi dua tahun lalu, Cla. Bersama perginya lo..."
Clava meneteskan air matanya, pertahanannya hancur. "Gue ngga bisa nerima lo balik bukan karna gue marah lo udah tinggalin gue gitu aja. Gue sama sekali ngga marah, karna saat itu keadaan kita memaksa untuk berpisah. Justru gue seneng karna lo ngikutin perkataan orang tua lo untuk pergi bersama mereka. Hal yang paling gampang berubah di dunia ini adalah perasaan manusia, Cla. Begitupun perasaan gue ke lo. Gue harap lo bisa ngerti."
"Indira, apa yang ngga gue punya dari dia?"
Gabriel sempat terkejut karna Clava menyebut nama gadis itu. "Ngga ada. Bagi gue kalian istimewa untuk diri kalian sendiri. Lo pasti bakal ketemu cowo yang tepat nantinya."
Clava menghapus air matanya, "Gab, gue mau tanya satu hal sama lo. Seandainya, saat itu, 2 tahun lalu, gue ngga pergi ninggalin lo. Apa hubungan kita masih ada?"
Gabriel memegang bahu gadis itu. "Mungkin engga. Karna, memang ini udah jalannya. Kita masih bisa deket, tapi sebagai teman. Makasih untuk semuanya, Clava Adiva."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Camellia
Romance"Kamu Astungkara, aku Amin. Kamu Pura, aku Gereja. Kamu Weda, aku Injil. Bisakah aku menyempurnakan semuanya tanpa ada lagi perbedaan diantara kita walaupun aku tau itu tak mungkin?" "Apa aku bisa menjadikan dirimu milikku, meski aku tau dunia tak...