Chapter 50. Hukuman

140 14 2
                                    

Di sebuah lapangan luas, terdapat satu singgasana yang tidak cocok dengan sekitarnya. Di tengah kekacauan dan kehancuran yang sedang terjadi, seorang pria sedang duduk dengan santai sembari memainkan sebuah pedang suci. Ia memakai mahkota dengan beberapa batu mulia yang mempercantik mahkota itu. Jubah bulu berwarna merah dan hitam dikenakannya untuk menutupi seragam SMA. Itu adalah raja iblis, Devan Steviano.

Ada beberapa orang di tanah luas itu. Setidaknya, dua wanita sedang berdiri di belakang Devan sembari bersiaga. Salah satunya mengenakan gaun gotik berwarna merah bercampur hitam dengan sepatu boots, sedangkan yang satunya lagi mengenakan gaun putih dengan sedikit aksen hitam. Mereka berdua sangat cantik hingga memukau siapa saja yang melihatnya. Kecantikan kelas dunia itu tidak diragukan lagi.

Selain dua wanita itu, seorang pria dengan seragam militer berwarna hitam kehijauan sedang berdiri di depan dua tubuh yang berada di tanah. Ia memiliki wajah tampan dengan rambut coklat dan mata hijau. Tubuhnya yang berotot dibalut seragam militer, membuatnya menjadi sangat keren layaknya karakter dalam film aksi. Ia memandang kedua tubuh yang terbaring. Memperhatikan dengan detail setiap bagian dari tubuh kedua orang itu.

Kedua tubuh yang terbaring lemas itu mengenakan zirah yang terbuat dari logam yabg berasal dari dunia ini. Pedang yang mereka pegang patah karena suatu sebab. Zirah di bagian perut mereka juga hancur hingga itu nampaknya juga meretakan tulang-tulang rusuk mereka.

Tidak ada tanda-tanda bergerak. Laki-laki berambut hitam dan wanita berambut merah yang sedang terbaring sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bergerak. Mereka terus tersungkur di tanah seakan sudah mati. Namun, bukan begitulah sebenarnya. Mereka berdua sudah sadar. Tapi karena keadaan saat ini, mereka berdua berpura-pura tidak sadarkan diri. Berharap yang lainnya meninggalkan tanah luas ini.

"Oy! Bangun!" Pria berseragam militer---Feri---menggunakan kakinya untuk menyentuh kedua tubuh yang terbaring itu. Wajahnya nampak kesal bercampur dengan jijik ketika sepatu boots hitam mengkilapnya menyentuh zirah kedua tubuh itu. "Aku tahu kalian sudah bangun. Kalian tidak akan bisa menipuku!"

Dengan nada sombong bercampur jijik itu, Feri menyatakannya dengan sangat santai. Mau bagaimana pun, ia memang mengetahui kalau kedua orang yang sedang terbaring itu sudah sadar. Itu karena Feri bisa melihat langsung melalui aktivitas otak mereka. Gelombang yang dihasilkan otak ketika sedang tidur dan sadar itu berbeda, membuat Feri dapat mengetahuinya. Baginya itu hanyalah sepotong kue.

Karena sudah ketahuan, kedua orang itu mulai bergerak. Mereka berdua bangkit dan duduk di tanag. Wajahnya mereka berdua penuh dengan debu, bahkan bibir si pria robek dan mengeluarkan darah. Ekspresi kesal terpasang di kedua wajah orang itu. Ini tidak seperti yang mereka harapkan. Padahal, tadinya mereka harap untuk terus berpura-pura tidak sadar hingga Feri dan yang lainnya tidak tertarik lagi.

Si pria---Sekan---mendecakan bibirnya karena kesal. Ia memelototi Feri yang memberikan senyuman penuh kesombongan kepadanya. "Cih! Luciel!"

"Oy, oy, oy! Jangan panggil aku dengan nama ketika diriku menjadi malaikat. Kau sudah tahu aku mengubah namaku, bukan? Panggil aku Lucifer atau Feri Lucinatan. Kuizinkan kau memanggilku dengan rasa hormat. Ya, memang begitulah seharusnya," ujar Feri mengoreksi Sekan.

"Apa yang kau inginkan?" tanya si wanita---Rikka---dengan wajah kesal seakan ingin mendaratkan tinjunya ke wajah Feri.

"Lara, kau masih seperti dulu, ya. Masih saja bersikap sinis seperti itu. Apa memang kau diatur dengan sifat seperti itu?" tanya Feri dengan nada nostalgia.

"Lara? Apa maksudmu?" tanya Sekan dengan wajah terkejutnya yang sangat khas.

Ketika mendengar pertanyaan Sekan, Feri langsung tersenyum licik. Ia sekarang mengetahui kalau Sekan tidak tahu fakta bahwa Rikka merupakan reinkarnasi dari Lara. Walau wajah Rikka dan Lara berbeda, ada beberapa ciri khas yang melekat di dirinya. Salah satunya adalah rambut merah indah dan wajahnya yang csntik. Sifatnya yang dingin dan sinis juga masih ada di diri Rikka.

Feri sudah mengetahui itu ketika dirinya bertemu dengan Rikka. Ia melihat kesamaan jiwa terhadap Lara dan Rikka. Itu berarti ketika Lara ingin mati, ia sempat untuk merapalkan mantra reinkarnasi. Membuat Feri tertarik dengan itu. Apalagi sekarang Feri mengetahui kalau Sekan tidak mengetahui fakta itu. Ini akan menjadi sesuatu yang menarik.

"Ara~ kau tidak mengetahui kalau Rikka adalah reinkarnasi adikmu sendiri?" tanya Feri sembari tersenyum licik.

Ada satu hal yang menarik bagi Feri. Yaitu kekuatan Rikka bertambah kuat sebelum ia bereinkarnasi. Padahal, seharusnya seseorang tidak akan bertambah kuat ketika bereinkarnasi. Mereka hanya membawa kekuatan dari kehidupan sebelumnya dan tidak bisa menambahkan kekuatan lagi. Itu adalah salah satu hal yang menarik minat. Lara yang dulunya hanya memiliki potensi serangan seperempat alam semesta, kini ia menjadi Rikka dengan potensi serangan sepertiga alam semesta. Jika Rikka menggunakan sihir [Bintang Pengorbanan], ia akan melewati kekuatan Sekan dan Feri ketika dirinya jatuh.

Sekan langsung menatap Rikka sembari memasang ekspresi bingung dan terkejut. Rikka hanya membalasnya dengan tatapan menyesal dan menundukan kepalanya tanpa menatap mata Sekan. Ia tidak sanggup menatap mata kakaknya itu. Walau kini mereka tidak terikat darah, fakta Sekan adalah kakaknya tidak bisa disingkirkan. Rikka memang diciptakan untuk menjadi kekasih Sekan, tapi karena Sekan tidak menganggapnya sebagai wanita melainkan adik, ia tidak bisa melakukan itu.

"Maaf, Sekan. Apa yang dikatakan Lucifer adalah kenyataan," jawab Rikka menundukan kepalanya. "Aku adalah reinkarnasi Lara."

"Hah? Tidak ... mungkin, bukan?" Kedua mata Sekan membelalak begitu mendengar apa yang dikatakan oleh Rikka. Ia tidak mempercayai fakta kalau Rikka adalah Lara.

'Ini adalah hukuman untukmu, Kak!' Sekan tiba-tiba teringat dengan kalimat Lara. Ia langsung mengetahui kalau ini adalah bagian dari hukumannya. Hanya bisa tertawa dengan putus asa setelah menerima fakta itu. Setelah sekian lama, akhirnya Sekan mengetahui kesalahnnya. Sungguh bodoh dirinya tidak menyadari kesalahan apa yang dirinya perbuat.

"Ini adalah hukuman untukku, bukan? Hukuman karena tidak mengambilmu sebagai istriku?" tanya Sekan tertawa dengan putus asanya.

Rikka yang mendengar Sekan hanya bisa tersenyum pahit. Walau dirinya senang karena Sekan sudah mengetahui kesalahannya, entah mengapa ia juga sedih. Ia memanglah tidak keberatan kalau Sekan menganggap dirinya sebagai adiknya. Namun Tuhan menyiptakan Lara untuk menjadi pendamping Sekan. Jika itu dilanggar, haruslah diberikan hukuman.

"Sudah! Sudah!" Feri menepuk tangannya. Memecahkan keheningan itu. "Aku di sini bukannya ingin melihat atau menghancurkan reuni kalian. Tugasku di sini adalah menyiksa kalian. Jadi, maaf kalau mengganggu."

Sekan hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau tidak menganggu sama sekali."

"Kalau begitu, bisakah kita memulainya?" tanya Sekan tersenyum. Senyumannya itu mengandung teror yang sangat dalam layaknya jurang tanpa ujung. Siapapun yang melihat senyuman itu pastinya akan jatuh dalam keputusasaan yang tidak berujung. Itu adalah salah satu keahlian Feri, Senyuman Keputusasaan.

Sekan dan Rikka berdiri berbarengan seperti mereka sudah merencanakan itu. Zirah yang hancur mereka buang dan mereka berdua hanya mengenakan pakaian biasa. Kaus putih yang ternoda membalut tubuu mereka di balik tubuh itu. Mereka berdua berdiri di depan Feri seakan sudah menetapkan tekad. Apakah itu tindakan bodoh atau bukan, mereka tidak peduli dengan itu. Yang pasti, semuanya berakhir di sini.

"Aku rasa tidak!"

"Hoo! Jadi, kalian melawan, ya?"

Rikka yang tersenyum melebarkan senyumannya hingga memperlihatkan giginya yang berwarna putih. "Feri, mari kita bertanding ulang!"

Mengatakan itu dengan sangat yakin hanya membuat Feri semakin memperdalam senyumannya. Namun, ia langsung menghilangkan senyumannya dan melihat ke Devan. Tugasnya di sini adalah untuk menyiksa Sekan dan Rikka, bukan untuk bertarung. Jika ia bertarung, itu sama saja melanggar perinta. Itu adalah tindakan yang tidak bisa dimaafkan walau dengan menyerahkan kepalanya.

"Bersenang-senanglah!" ujar Devan yang mengerti maksud dari Feri.

Feri yang mendengar apa yang dikatakn tuannya yang agung mulai tersenyum lagi. "Kalau begitu, mari kita mulai!"

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang