Chapter 18. Sarapan

222 33 0
                                    

Matahari datang dari timur, aku cukup hersyukur untuk itu. Aku pikir setelah mendengar ucapan dari Viani kemarin, matahari akan terbit dari barat. Aku juga berpikir kalau nantinya ada asap tebal menyelimuti Bumi. Atau gempa yang melulu lantahkan segalanya. Untungnya, itu semua tidak terjadi. Mungkin aku harus menghilangkan pikiran negatif.

Seperti biasa, ini adalah pembukaan yang klise. Bangun tidur, mandi, mengenakan baju, dan sarapan. Bedanya, aku tidak sarapan sendirian lagi. Ada tambahan tujuh orang di meja makan. Karena meja makan ini mirip meja makan bangsawan, itu mampu menampung sepuluh orang. Empat di selatan, empat di utara, satu di barat, dan satu di timur.

Kali ini, ibu memasak banyak makanan. Tentu saja karena penambahan orang di meja makan. Biasanya, ibu hanya memasak hanya untuk aku, ayah, dan dirinya. Tapi kali ini benar-benar berbeda, aku tidak tahu apa itu bisa kami habisi. Karena ibu benar-benar memasak banyak makanan. Itu mungkin cukup untuk memberi makan lima belas orang.

Aku membalikkan piring berwarma putih yang ada di depanku. Tanganku mengambil sendok nasi dan mengambil nasi. Itu cukup banyak untuk kebanyakan orang sepertiku. Tapi, itu cukup untukku. Aku memang makan banyak. Porsi untuk tiga orang mungkin bisa kuhabisi. Itu mungkin juga kurang untukku. Ya, ini karena efek dari pertumbuhan, sepertinya.

Ketika aku menyendok nasi ke piring, Zebian menatapku dengan tatapan terkejut. Jika Zebian adalah Beelzebub, maka ia menyimbolkan kerakusan. Tapi, ia makan seperti anak balita. Itu tidak cocok untuk gelar yang disandangnya. Itu juga mungkin yang membuatnya terkejut. Aku menyendok banyak nasi di piring. Nasi itu menggunung memenuhi piring. Bahkan, beberapa nasi terjun bebas dari piring dan jatuh ke meja makan.

Suara tertawa kecil terdengar dari ibu. Nampaknya, ia menyadari tatapan terkejut dari Zebian. "Devan emang dari dulu rakus."

Jujur saja, itu membuatku malu. Aku memang tidak menyangkal itu, tapi tetap saja malu. Bagaimanapun, itu adalah aibku. Tidak seharusnya seorang ibu menyebarkan aib anaknya. Tapi, aku akan membiarkannya. Aku tidak mungkin membentak orang yang sudah melahirkanku. Aku bukanlah anak durhaka.

Berbeda dari Zebian yang terkejut, para wanita menatapku dengan tatapan kagum. Mata mereka seakan bersinar menunjukkan kekaguman mereka. Senyuman juga terlukis di bibir mereka. Itu mungkin imut bagi orang lain, tapi tidak bagiku. Itu sedikit menyeramkan. Selama ini aku tidak pernah ditatap dengan penuh kekaguman seperti mereka. Bahkan, orang tuaku tidak pernah menunjukkan kekaguman mereka padaku. Tapi orang asing yang tiba-tiba melayaniku, menunjukkan kekaguman mereka. Apalagi, mereka adalah iblis yang berkedok wanita cantik.

Bagaimana mengatakannya ya, itu tidak lagi seperti kagum. Itu nampak seperti tatapan seorang fans fanatik yang melihat artis kesukaannya sedang berjalan santai di depan rumah fans itu. Fans itu mungkin akan menculik arti yang sedang berjalan santai bersama peliharaannya. Seperti itulah tatapan mereka. Apalagi, mereka semua menggunakan seragam maid.

Tunggu! Kenapa Tania ikutan?

Itu meninggalkan tanda tanya di kepalaku. Aku sama sekali belum membuka rute Tania, namun ia sudah menggunakan pakaian maid seperti yang lain. Itu berarti, Tania melayaniku seperti yang lain. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku tidak peduli. Aku juga tidak ingin dilayani oleh siapapu. Itu karena aku hanyalah seorang siswa SMA yang memiliki kehidupan klise.

Jika ditanya apa mereka melayaniku atau tidak, aku akan menjawabnya dengan mengatakan tidak. Baju maid mereka hanyalah pajangan belaka. Mereka sama sekali tidak melayaniku. Konsep maid yang aku tahu tidaklah mereka terapkan. Atau itu mungkin aku telah menerapkan nilai yang terlalu tinggi terhadap mereka atau tidak, aku sama sekali tidak seperti mereka layani.

Dari yang aku tahu, maid seharusnya mengatur kehidupanku supaya lebih mudah. Misalnya, menyitrakan bajuku atau memasakan sarapan. Tapi, itu tidak dilakukan. Menyitrakan baju aku sendiri yang melakukannya. Sedangkan memasak itu dilakukan oleh ibu. Mereka sama sekali tidak membantu. Setidaknya, bantu ibuku untuk memasak sarapan yang akan kalian makan. Itu juga berlaku untuk makan malam.

Bukan berarti aku ingin dilayani atau tidak, tapi jangan beri harapan palsu. Mereka sudah mengatakan akan menjadi pelayanku. Itu berarti mereka seharusnya membantu diriku. Ya, mungkin aku berharap terlalu tinggi. Seharusnya aku tidak berharap apa-apa pada mereka, itu mungkin akan menjatuhkanku dari langit jika berharap terhadap mereka.

"Ta-tania?" panggilku yang penasaran dengan Tania yang mengenakan seragam main.

Dengan gerakan berkecepatan cahaya, Tania langsung berdiri tegak. Itu adalah sikap sempurna untuk pelayan. "Kenapa, Tuan?"

Eh?

Aku mengembuskan napas. Sudah kuduga, aku tanpa sadar membuka rute Tania. "Kenapa kau memakai seragam maid seperti Desi, Viani, dan Bella?"

"Karena saya melayani anda, Tuan." Itu adalah kata-kata yang sangat tegas.

"Hah?"

Kata-kata itu bukan keluar dari mulutku. Itu keluar dari mulut Feri yang langsung menelan nasi yang ia makan. Jelas sekali ia terkejut. Tania dan Feri adalah kakak adik. Jadi jelas kakaknya terkejut bahwa adiknya melayani seseorang seperti diriku. Aku bisa merasakan itu. Jika aku memiliki adik, maka aku akan terkejut seperti Feri. Sayangnya, aku tidak memiliki adik.

Bukan hanya Feri saja yang terkejut, Firman dan Zebian juga sama terkejutnya. Mereka semua terdiam dengan mulut menganga lebar. Aku bahkan masih bisa melihat nasi yang belum ditelan oleh Zebian di mulutnya. Itu menjijikan.

Satu hal yang membuat aku bingung, yaitu orang tuaku. Mereka sama sekali terkejut atau mempertanyakan para wanita yang melayaniku. Seharusnya orang tua terkejut anaknya memiliki harem tiba-tiba, bukan? Ya, itu orang tuaku yang mau menerima orang asing begitu saja juga mencurigakan. Apa orang tuaku tahu kalau mereka bertujuh adalah iblis?

"Ayah, Ibu. Apa kalian tahu mereka itu siapa?" tanyaku sembari memasukkan sesuap nasi ke mulut.

Jika mereka mengetahui sosok asli tujuh orang itu, aku akan sedikit menerimanya. Kemungkinan ayah dan ibu mempercayai kalau aku adalah Raja Iblis. Jika itu benar, entah aku bisa menerimanya atau tidak. Karena mereka orang tuaku, aku mungkin akan mempercayai kalau diriku adalah Raja Iblis. Jika mereka tidak mempercayainya, aku juga tidak akan mempercayai itu juga.

Aku sangatlah mempercayai orang tuaku. Semua yang mereka katakan adalah kebenaran. Itu bukanlah tanpa alasan. Karena setiap kata dari orang tuaku adalah kebenaran dan itu akan membimbingku menuju lebih baik. Bahkan jika aku disuruh untuk bunuh diri, aku akan melakukannya tanpa ragu. Aku tidan akan menanyakan maksud dari orang tuaku. Itu adalah untuk kebaikan.

Dulu, orang tuaku mengatakan kalau mereka tidak akan mengatakan kebohongan tanpa alasan. Mereka akan melakukan yang terbaik untuk diriku. Aku juga ditanyai bagaimana jika hidupku digunakan sebagai jaminan terhadap orang tuaku, aku langsung menjawabnya kalau mereka harus membunuhku. Aku tidak mau menjadi beban terhadap orang tuaku. Mereka sudah melakukan banyak hal terhadap hidup. Sejak aku kecil hingga saat ini. Sudah seharusnya aku sebagai anak mempercayai mereka.

"Mereka iblis, bukan?"

Sudah kuduga. Mereka mengetahui kalau ketujuh orang itu adalah iblis.

"Jadi, kalian tahu aku siapa?"

Mereka berdua mengangguk. "Devan, kamu itu anak kami dan juga Raja Iblis."

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang