Chapter 22. Pengetahuan Si Serakah (Part 2)

174 23 0
                                    

Untuk Pak Solihin atau Sorizan, memeriksa hampir empat puluh kertas nampaknya adalah hal yang sangatlah mudah. Ia seakan telah mengetahui apa yang ada di kertas itu. Hanya memberi centang dan memberi nilai dalam sekejap. Sungguh hebat ia bisa mengoreksi tiga puluh delapan kertas hanya dalam lima belas menit. Kalau aku melakukan itu, aku mungkin membutuhkan setidaknya dua jam lebih. Tidak, mungkin aku membutuhkan tiga sampai lima jam.

Matematika adalah pelajaran yang berlangsung selama empat jam dalam seminggu. Jika dua jam digunakan untuk ulangan, dua jam lainnya mungkin akan digunakan untuk membahas nilai. Itu adalah yang sering dilakukan guru yang lain. Aku tidak tahu bagaimana Pak Solihin mengajar, jadi aku akan menantikan itu. Aku harap kami tidak langsung belajar hari ini. Walau soal yang kukerjakan sangatlah mudah, kepalaku tetap pusing karena melihat angka di selembar kertas ulangan.

Setelah lima belas menit setelah ulangan, kertas jawabannya dikembalikan. Namun sebelum itu, layaknya tradisi ketika memberikan nilai ulangan, Pak Solihin akan memberitahu nilai yang tertinggi.

"Ekhm!" Itu adalah suara serak yang disengaja oleh Pak Solihin. Ia mencoba mengatur suaranya. "Bapak akan memberitahu orang yang mendapatkan nilai tertinggi. Di sini ada empat orang yang mendapatkan nilai tertinggi."

Ketika Pak Solihin mengatakan itu, jantungku berdetak dengan cepat. Aku khawatir jika namaku tidak disebutkan oleh Pak Solihin. Walau soal yang kukerjakan mudah, tetap saja itu membuat khawatir. Siapa tau ternyata aku  mendapatkan nilai di bawah rata-rata seperti biasa. Itu akan sangat berbahaya karena aku sudah mengatakan hal yang begitu sombong kepada Firman.

Aku menelan ludah tanpa sengaja. Ketika situasi menjadi tegang begini, Pak Solihin malah diam dan memperhatikan muridnya. Seakan ia ingin membangun ketegangan ketika memberitahukan nilai itu. Memasang harapan kepada semua siswa kalau mereka mendapatkan nilai tertinggi. Jika ia menginginkan itu, ia sangatlah berhasil. Aku sudah tegang.

Sialan, Sorizan! Cepetan kasih tahu!

"Kenapa kau khawatir?" tanya Firman yang melihat ke arahku. Ia memutar kepalanya dengan cukup mengerikan. Bukan itu saja, ia juga memasang seringaian yang mengerikan. Benar-benar seperti psikopat. Aku tidak pernah menyangka ia adalah siswa paling pintar di sekolah ini.

Aku menyunggingkan bibir mencoba tersenyum licik. Itu berhasil menurutku. "Tidak. Semuanya seperti yang telah kuperkirakan."

Selama aku hidup, aku selalu mempercayai diriku sendiri. Rasa percaya itu bahkan lebih besar daripada rasa percayaku kepada Tuhan. Karena ketika aku mempercayai diriku sendiri, segalanya akan sesuai dengan keinginanku. Ketika aku membuat suatu rencana, rencana itu tidak pernah gagal. Hingga aku selalu menganggap rencanaku itu memiliki peluang seratus persen. Itu sebenarnya bukan tanpa alasan.

Dua minggu lalu, teman kelasku mencoba meminta saran. Ia ingin menyatakan cinta kepada wanita yang ia cintai. Itu adalah adik kelas dari jurusan IPA. Orang itu bisa dibilang mencintai adik kelas sejak mereka pertama bertemu. Teman kelasku sebagai anggota OSIS dan wanita yang ia cintai sebagai anak baru. Benar-benar kisah cinta yang klise.

Pada akhirnya, aku memberikan dirinya saran. Atau itu lebih bisa dikatakan rencana. Jika kau bertanya apa yang terjadi, aku akan menjawab itu sukses besar. Mereka menjadi sepasang kekasih seminggu yang lalau. Teman kelasku juga menganggapku pahlwan dan memuji rencana yang kubuat. Itu semua karena rencana seratus persenku.

Aku benar-benar orang yang mengerikan ya?

"Jujur saja, aku melakukan kesalahan ketika mengerjakan soal."

"Eh?"

Itu benar-benar membuatku terkejut. Tidak pernah kusangka, jenius seperti Firman, sosok yang mendapatkan nilai seratus di segala mata pelajaran, melakukan kesalahan ketika mengerjakan soal. Padahal, aku yakin kalau dirinya adalah manusia terjenius yang ada. Tidak, ia adalah iblis. Jadi, ia bukan manusia jenius, melainkan iblis terjenius.

"Itu adalah soal yang sangatlah rumit. Entah bagaimana, aku malah memasukan formula yang salah," jawab Firman dengan wajah yang agak ramah. Wajah mengerikannya tadi berubah ketika dirinya mengungkapkan kesalahannya.

Aku tersenyum canggung. Mencoba memberikan tanggapan yang sesuai. "Setiap orang pernah melakukan kesalahan, jadi itu wajar."

Aku tidak mengerti apa yang ia katakan, jadi biarkan saja lah.

Pertanyaan aneh muncul di pikiranku. Jika seluruh ilmuwan yang pernah atau masih hidup melawan kecerdasan Firman, apakah mereka bisa menang? Menurutku itu mustahil. Mau berapapun ilmuwan yang ada, tidak akan ada yang bisa mengalahkan Firman. Firman hampir berada pada tahap Maha Tahu. Dikatakan kalau ia adalah sosok yang paling jenius setelah Tuhan dan Raja Iblis. Itu berarti, aku lebih jenius daripadanya.

Apakah Raja Iblis sudah pada tahap Maha Tahu? Bukankah seharusnya itu tidak mungkin? Maha Tahu itu seharusnya hanyalah milik Tuhan. Benar begitu, bukan?

Aneh menganggap kalau diriku ini Maha Tahu. Aku bahkan tidak tahu tentang diriku sendiri, bagaimana mungkin aku Maha Tahu. Jika aku Maha Tahu, seharusnya aku tahu segalanya tentang alam semesta ini. Aku tahu apa yang terjadi pada dunia ini. Aku seharusnya tahu apa yang akan terjadi. Tapi, aku tidak tahu. Aku tidak tahu apapun.
Memang benar, aku ini bukan Raja Iblis. Aku hanyalah manusia biasa.

Sekali lagi, aku hanyalah siswa SMA yang memiliki kehidupan klise. Itu tidaklah kurang dan tidaklah lebih.

"Viani Thantoro mendapatkan nilai 96, Feri Lucinatan mendapatkan nilai 96 seperti Viani, Firman salah satu, ia mendapatkan nilai 98, dan terakhir mendapatkan nilai 100."

Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Pak Solihin mengundang berbagai respon dari siswa. Kebanyakan dari mereka penasaran siapa yang mendapatkan nilai sempurna itu. Sebagian lagi mengaku kalau itu adalah nilai mereka. Yang melakukan itu bukanlah hanya satu orang, ada lebih tujuh orang yang mengaku kalau nilai sempurna itu miliki mereka.

Kehebohan itu memuncak ketika sebuah senyuman terlukis di bibir Pak Solihin. Itu adalah senyuman yang menggambarkan kelicikan dan niat jahat lainnya. Seakan ia menganggap kalau yang mendapatkan nilai seratus itu melakukan hal yang curang.

Semuanya sesuai dengan perkiraanku sampai nilai dari Firman.

Aku sudah menduga kalau Firman hanya akan salah satu. Sebelum aku menduga itu, aku mengira kalau Firman akan mendapatkan nilai sempurna. Tapi setelah memasukkan berbagai hal keperkiraanku berdasarkan perkataan Viani, mungkin Firman akan melakukan kesalahan saat tes. Yang terjadi seperti yang kuperkirakan. Bahkan, nilai yang didapat oleh Viani dan Feri sudah kuperkirakaan sebelumnya.

Ketika suasana semakin memuncak karena kehebohan itu, Pak Solihin mengangkat tangannya. Seluruh kelas langsung terdiam. Mereka semua membungkam mulut dan mendengarkan siapa yang mendapatkan nilai itu. Semua orang yang ada di ruangan ini penasaran dengan sosok orang yang bisa mengerjakan soal rumit itu. Soal yang bahkan bisa membuat Firman melakukan kesalahn. Sosok itu pasti sangatlah jenius.

Sekali lagi, senyuman terlihat di bibir Pak Solihin. Kali ini, itu adalah senyuman yang ramah. "Yang mendapatkan nilai seratus adalah Devan Steviano."

Bagaimana Mungkin Aku Adalah Raja Iblis?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang