Epilog

570 60 36
                                    

"Belum tau."

Anna mengerutkan keningnya dalam, lalu memiringkan tubuh menatap Abil yang berada di belakangnya, sedang mendorong punggungnya dengan lembut di ayunan.

"Kata Kak Anisa kamu mau kuliah tahun ini. Masa belum tau pengen jadi apa?"

Abil mengangkat bahunya singkat, "selama ini juga gak pernah mikir."

"Terus kenapa ambil jurusan IPS?"

Karena kamu.

Pengennya, sih, jawab begitu. Tapi, Abil menahan diri dan hanya menyahut dengan, "ya gitu. Kamu sendiri? Mau jadi apa?" Lebih baik mengubah topik pembicaraan. Abil juga malu kalau orang tahu dia belum punya cita-cita yang pasti.

"Aku juga belum tau," jawab si dara, kembali meluruskan badan menghadap ke depan dan menikmati belaian angin yang melewati tubuhnya. "Tapi, kita beda. Aku gak tau mau jadi apa karena emang bego belajar, sedangkan kamu gak tau karena bisa semua. Jelas beda, dong."

"Kamu gak bego, Anna."

"Cuma tolol aja."

"Enggak, kok," balas Abil tanpa berhenti mendorong ayunan yang diduduki gadis itu, "jangan ngerendahin diri kamu sendiri, An."

"Bukan ngerendahin. Realistis doang." Anna memejamkan mata dan kenangan kembali berputar di kepalanya; bukan pada saat ibunya merendahkan dan meragukan dirinya, melainkan pada saat Abil yang rela menghabiskan waktu serta tenaganya untuk membantunya belajar hingga dia bisa masuk kelas unggulan. Lagi-lagi, Anna hanya bisa berterima kasih pada Abil.

"Tapi kamu bakal tetap nerima aku apa adanya, kan? Gak bakal pergi karena otakku kurang pintar?"

"Emangnya kamu bakal ngebiarin aku pergi?"

"Enggak. Kamu stuck sama aku sampai tua peyot."

Abil terkekeh pelan. Dia mendorong ayunannya menjadi sedikit lebih kencang, membuat Anna berteriak tertahan sebelum tertawa lebar, "kamu, ih. Kalau aku jatuh gimana?"

"Aku tangkap."

"Kalau telat?"

"Enggak bakal. Percaya sama aku," meski sudah mengatakan itu, Abil tetap memelankan dorongannya. Hanya saja, sebelum melambat, sendal jepit yang dipakai Anna terlepas dari kaki kanannya dan mendarat terbalik di atas tanah.

"Aku aja," kata Abil sembari berjalan memutar ke depan Anna. Diambilnya sendal itu dan berlutut di depan si gadis, memasangkannya dengan penuh kehati-hatian.

Mau tak mau, Anna jadi tertawa samar. Dia teringat ke salah satu adegan di film yang pernah dia nonton.

"Kamu lagi niru Pangeran Kit?"

"Kit?"

"Di film Cinderella. Dia memasang sepatu kaca Cinderella yang lepas waktu main ayunan."

"Aku belum nonton."

Anna mengangguk. Dia melingkarkan tangannya di leher Abil yang satu kakinya masih berlutut. Anna menatap manik Abil dengan lembut, menemukan kalau warna coklat itu sanggup membuatnya tenggelam dan tersesat---yang entah bagaimana rasanya justru menenangkan. Bola matanya berpendar hangat.

Jemarinya yang berada di belakang kepala cowok itu bergerak pelan, menyentuh ujung-ujung rambutnya sembari menikmati pemandangan bagaimana helaian hitam legam itu berkibar diterpa angin.

"Aku seneng. Kamu bikin aku merasa kalau aku itu Cinderella."

"Kamu pengen jadi Cinderella?"

"Iya. Semua cewek pengen jadi Cinderella."

In Every HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang