Bab 32

255 53 20
                                    

(Masa depan Jeje)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Masa depan Jeje)

▪️▫️▪️

"Semua perjuangan itu sebanding dengan senyumannya."

-----

"Leo? Nama yang bagus."

Anna tersenyum. Senyuman cantik yang menjadi kerinduan pemuda itu. Abil yang memperkenalkan diri sebagai Leo menatapnya agak lama. Ada dorongan untuk menarik tangan yang masih dijabatnya itu, lantas memeluk dengan begitu erat. Dia ingin melepas rindu, menangis di depan gadis itu, memarahinya atas perbuatannya, dan mengatakan bahwa dia akan selalu berharga baginya. Kalau perlu, Abil akan mengikat tangan mereka berdua; tidak mau melonggarkan pegangannya lagi seperti malam itu agar Anna tidak pergi darinya.

Namun... binar yang terpancar dengan begitu ceria dari mata gadis itu meruntuhkan menara keinginan yang dimilikinya.

Anna bahagia. Bahagia sekali.

"E-eum, maaf nih ya, bukannya gak suka atau gimana---err... Tangannya bisa dilepas?"

Pandangan mata Abil menurun pada tautan tangan mereka. Dengan berat hati, dia menarik tangannya dan diletakkan ke atas sandaran kursi roda. Pemuda itu berjuang keras mengendalikan ekspresi wajahnya hingga sukses menipu Anna; dia terlihat datar dan cuek, kendati hati begitu peduli.

"Hehe..." Anna tertawa tak enak, dia bahkan menyentuh tengkuknya yang sedikit meremang karena malu. Dia pikir, mungkin saja dianya yang terlalu berpikir macam-macam hanya karena dijabat sedikit lama. "O-oh iya, kamu sendiri aja di sini? Bapak yang waktu itu nyariin kamu mana?" Tanyanya sebagai pengalih perhatian. Kepalanya menoleh ke sekeliling untuk mencari tahu, tapi pada akhirnya kembali menatap Abil.

"Makan."

Kalau Abil boleh jujur, untuk menjawab itu saja sudah membuat dadanya memberat dan napasnya sedikit tersendat. Kalau bukan karena dia yang dapat menahan diri, mungkin Anna akan mendengar suaranya yang bergetar hebat.

Anna menganggukkan kepalanya, "tapi... kamu ditinggal sendiri?"

Abil hanya melenggut. Dia tidak mampu mengeluarkan kalimat kalau dia sebenarnya belum bisa makan makanan yang biasa dan bapaknya merasa tak enak mampu menikmati hidangan itu sementara Abil tidak.

"Kapan baliknya?"

Kali ini, Abil hanya mengendikkan bahunya pelan. Anna tetap tersenyum, tidak merasa tersinggung dengan kelakuan Abil yang tampak tak ingin bicara dengannya. Selanjutnya, Anna bilang, "saya temanin kalau begitu!" Sembari mendudukkan diri di kursi panjang, di ujung dan paling dekat dengan Abil.

"Kalau boleh tahu, kaki kamu kenapa? Ah, maaf kalau menyinggung. Kalau gak mau jawab, gak papa kok."

Abil tidak menoleh pada Anna. Pandangannya lurus ke depan, mengabaikan tatapan ingin tahu dari gadis di sampingnya itu. Well, tidak sepenuhnya mengabaikan karena sebenarnya dia hanya tidak tahu harus menjawab apa.

In Every HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang