Bab 45

290 44 13
                                        

▪️▫️▪️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

▪️▫️▪️

"Bahagia buat gue, ya?"

-----

Abil tidak pernah membayangkan segalanya akan menjadi serumit ini. Dia pikir semua akan baik-baik saja pada akhirnya, tapi ternyata dia salah besar. Seharusnya dia bisa mencegah semuanya dari awal, menghancurkan sangkar yang mengurung Anna selama ini. Kalau saja dia lebih berani menunjukkan perasaan bahwa dia ingin melindungi Anna, mungkin saja gadis itu tidak terjerat belenggu luka.

"Le?" Panggilan kakaknya terdengar samar memasuki telinga, beserta decitan pintu terbuka dan langkah kaki yang mendekat. Sedikit banyak dia bisa merasakan tangan kakaknya mendarat di kening, mendesah panjang sebelum menarik kembali tangannya. Anisa duduk di pinggir kasur, memeras handuk kecil dalam baskom berisi air dan meletakkannya di dahi adiknya itu.

"Kak...?"

Abil terlihat berusaha membuka matanya, tapi rasanya terlalu berat dan kepalanya semakin pening.

"Ssttt, gak usah bangun dulu. Kamu masih demam." Anisa menepuk-nepuk pelan pundak Abil. "Kayaknya sebentar lagi demamnya bakal turun. Kamu seriusan gak mau ke rumah sakit aja?"

Abil menggeleng. Dia pikir ke rumah sakit hanya akan membuang-buang uang untuk demam biasa seperti ini. Lagipula, setelah beristirahat sebentar Abil akan segera sembuh.

Anisa mengangguk, menyerah atas keras kepala adiknya dan beranjak supaya Abil bisa tidur kembali. Namun, selepas pintu sudah ditutup, Abil justru tidak bisa tidur. Dia khawatir dengan Anna. Terlalu khawatir sampai sakit seperti ini; terlalu lama di luar semalaman selekas mendengar pertunangan Anna dengan Gibran.

"Gue tunangan sama Gibran."

Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, seperti gema yang berniat mengejeknya; memperdengarkan bisikan-bisikan merendahkan yang melukai hatinya. Lantas pandangannya mulai kehilangan fokus kala Anna tetap tersenyum---senyum yang menyakitkan.

"An?"

Abil tidak perlu berbalik untuk tahu suara di balik tirai di belakang adalah milik Gibran. Dia juga tahu Gibran dan Anna berhak untuk berbicara empat mata. Namun, dia tetap menahan tangan Anna yang berjalan melewati tubuhnya.

"Anna," pelan, dia memanggil nama itu dengan lirih.

Anna menarik napas panjang, terdengar bergetar dan hampir putus-putus. Dia segera mendongak kecil, menemukan mata Abil dan saling menatap. Kali ini tangannya yang bebas diletakkan di atas genggaman Abil, terasa dingin saat menyapu punggung tangannya. Lagi-lagi Anna tersenyum. Namun Abil paham, senyuman itu berbanding terbalik dengan elusan di tangannya dan tatapan matanya yang meminta pertolongan.

"Bahagia buat gue, ya?"

"An?" Suara Gibran kembali terdengar, membuat memutus tatapan mereka.

In Every HeartacheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang